Sedang Membaca
“Slow Food, Slow Living, Slow Sex…. Selow Wae…”
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

“Slow Food, Slow Living, Slow Sex…. Selow Wae…”

Gagasan bike to work yang muncul berahun-tahun lalu pada perkembangannya menjadi bukan semata-mata gagasan, tetapi satu kampanye, gerakan, bahkan komunitas. Narasi yang dibangun kira-kita semacam ini: berkendara secara sehat, kurangi polusi,  transportasi ramah lingkungan, dan berolahraga sambil bekerja (maksudnya berolahraga menuju ke tempat kerja). Saya sendiri melihat gagasan itu sebagai gerakan perlambatan, slow riding, meski –tentu saja–para pesepeda itu kayuhannya kenceng-kenceng juga …..

Gerakan perlambatan sudah lama muncul sebagai antitesis dari upaya percepatan (yang sering kita dengar dalam urusan ekonomi). Saya ingat ketika liputan kegiatan luar lapangan (side event) dalam hajatan Olimpiade London 2012. Saya menyambangi acara yang dihelat satu komunitas di London bagian…. (lupa). Di ruangan itu digelar berbagai permaian tradisional seperti lomba bakiak beregu atau jalan kaki dengan sandal jepit yang diberi beban sangat berat. Gagasan acara ini adalah semacam “memasuki duni yang melambat”, ketika di lokasi lain para atlet memburu medali sebagai yang tercepat. Permainan lain di antaranya makan di kolam bola, mewarnai dinding, dan mendengarkan musik. Take your time, enjoy your life…

Untuk lomba bakiak beregu, pemenangnya adalah regu yang finis paling akhir, tapi harus tetap berjalan tidak boleh berhenti. Yang terjadi, hampir semua peserta gigih ingin menjadi yang tercepat sampai finis. Satu dari tiga orang dalam grup mengingatkan untuk pelan, tapi dua lainnya tidak mendengar. Begitulah, mau lambat saja susah. Imbauan “biar lambat asal selamat” kini makin tidak laku,  diganti dengan “harus cepat asal tetap selamat” atau “lebih cepat lebih baik”.

Orang kerap  bilang, dunia berputar makin cepat. Begitulah persepsi yang kita amini. Waktu yang sejatinya berjalan konstan dan setia, sesetia jarum jam di dinding rumah kita, menjadi terkesan menyuruh kita untuk cepat…cepat…cepat…  Kehidupan sosial makin kompleks. Perkembangan teknologi informasi, salah satunya, menciptakan budaya ketergesaan atau kesegeraan (tentu bukan salah teknologinya).

Kita tidak bisa lagi menunggu informasi. Peralatan komunikasi seperti telepon seluler tidak pernah jauh dari koneksi internet. Ketika kita tidur, “mitra” kita menerima surat elektronik dari seluruh penjuru dunia, transfer dana masuk ke rekening bank (alhamdulillah), artikel dari media masuk ke  dalam aplikasi, dan pesan dari kerabat muncul di medsos.

Baca juga:  Bagaimana Ekspresi Ulama Sunda Mencintai Nabi?

Apa yang terjadi di dunia yang kita tinggali ini bukan  lagi budaya serba cepat namun budaya ketergesaan yang di dalamnya menciptakan celah antara ruang dan waktu, kata sosiolog dari James Cook University Australia, Nick Osbaldiston dalam Culture of the Slow: Social Deceleration in an Accelerated World (2013). Waktu tidak sekadar dimampatkan tapi bahkan melampaui batas.

Dunia media dan entertainmen menjadi satu jalan paling enak untuk menggerakkan muatan. Pakar media dan marketing dari Universitas Columbia Michael J Wolf dalam  The Entertainment Economy: How Mega-Media Forces Are Transforming Our Lives (2003), menggambarkan betapa media dan hiburan telah bergerak secara masif hingga menjadi roda penggerak ekonomi global.  Di mana pun di belahan dunia, semua bisnis berebut konsumen,  dan untuk itu marketing pun harus entertaining, penuh unsur hiburan.  There is no business without show business.  Kita bisa melihat betapa dunia berlomba untuk membuat sebuah informasi menjadi penuh hiburan. Semuanya itu guna merebut pasar, merebut konsumen, audiens, pembaca, pendengar, penonton, dengan cepat.

Deselerasi, otentisitas

Pada saat demikian, orang ingin kembali lagi ke masa lalu ketika manusia tidak diatur oleh waktu, ketika dunia berjalan pelan. Akselerasi menghadirkan deselerasi. Percepatan melahirkan perlambatan. Warga dunia (gak semua sih) mendambakan sesuatu yang santai, pelan, tapi bukan lamban atau dormant.

Lalu muncul gerakan slow food sebagai lawan dari fast food, untuk mengkritisi menjamurnya makanan cepat saji yang menggerus makna kuliner dalam sepiring makanan (yang memuat sejarah, tuturan, filosofi, dll). You eat what you are, kata antrolopog dari Boston University, Charles Lindholm (2013). Kita berhak memilih makanan kita, mengunyahnya dengan penuh penghayatan. Dalam gerakan slow food, cita rasa kemudian dibudayakan dan otentisitas dipentingkan.

Slow living mencakup lebih banyak hal, yang praktiknya lantas diartikan menjadi memasak, menyulam, berjalan, berkebun, dan meditasi (Osbaldiston, 2013). Akan tetapi, kecuali meditasi, bukankah semua kegiatan itu bisa dilakukan dengan cepat? Gerakan slow living memang bukan semata-mata dilihat dalam kegiatan praksis, namun pada konsep atau cara pandang untuk menanamkan etika dalam keseharian. Turunannya bisa banyak, seperti slow fashion, slow sex, hingga slow sensuality. Penjabarannya tentu Anda sudah tahu, bukan? 🙂

Baca juga:  Kami Orang-orang Desa dan Raibnya Hari Kemerdekaan

Orang Jawa bilang, selow wae….  aku selo… (santai saja, saya punya waktu)

Wacana slow living itu salah satunya digerakkan oleh komunitas seperti bike to work seperti yang saya singgung di paragraf pertama. Ada lagi yang lain, yaitu komunitas vespa gembel yang berjalan merambat di jalan-jalan protokol, yang sering nyebelin pengguna kendaraan lain yang sedang tergesa-gesa karena telat berangkat itu. Gerakan vespa gembel ini, menurut mereka, lebih bertujuan untuk melawan kemapanan. “Hai kamu yang tiap hari makan enak, baju bagus, mobil mewah, gue lawan lu dengan kegembelan gue,” kira-kira begitulah.

Tradisi, slow living

Slow living sejatinya bisa kita temukan di dalam tradisi-tradisi nusantara, yang umumnya tradisi lisan (diwariskan secara lisan). Hidup kembali bersama tradisi adalah sebuah cara perlambatan yang sebetulnya berlangsung alami tanpa rekayasa, apalagi jika tradisi itu masih hidup dan menghidupi masyarakat pendukungnya. Seni pertunjukan atau ritual tertentu dalam satu masyarakat betul-betul dihayati dan dilakukan tanpa buru-buru. Banyak tradisi berupa seni pertunjukan yang dilakukan tidak hanya dalam hitungan menit tapi berjam-jam  tapi bahkan berhari-hari.

Pertunjukan randai, Randai Minang atau Randai Kuantan, misalnya, dilakukan selama semalam suntuk (dari malam hingga dini hari),  dan bisa dilanjutkan malam hari berikutnya. Satu cerita Randai Minang bisa menghabiskan waktu satu hingga lima jam (Ratnawati, 2017). Durasi yang lama itu tidak membuat pelaku dan penontonnya bosan, karena kesenian randai sangat dinamis,  dimainkan oleh beberapa orang dalam antrian berkelompok atau beregu, ada cerita di dalamnya, ada musik, ada gerakan, dan teriakan tukang goreh atau pemimpin randai. Cerita randai selain memuat pesan pendidikan juga berisi cerita klasik Minangkabau yang mengandung nilai sejarah.

Baca juga:  Fikih Tradisi: Siraman 7 Sumur Bukan Klenik dan Tidak Syirik

Adalah hal biasa jika satu ritual tertentu dilakukan selama berhari-hari, seperti pembacaan kitab syarafal anam untuk merayakan kelahiran, pernikahan, bahkan kematian di Buton Sulawesi Tenggara. Kitab syarafal anam yang isinya adalah syair-syair pujian dan doa yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW itu melebur mulus dengan tradisi setempat, menjadi lantunan syair dengan nada tertentu diiringi rebana-rebana besar dan di depannya tersaji aneka rupa kuliner khas Buton. Warga setempat menyebutnya maulido (dari kata maulid yang artinya kelahiran). Ketika saya menyaksikan maulido dua tahun lalu di Bau-bau, durasi telah diperpendek dari biasanya berhari-hari (hingga delapan hari) menjadi hanya sehari.

Mari kita hayati syair kabanti dalam bahasa Wolio berikut ini:

Oinciamo opu Manga pewauna/ Apamembali bari-baria batua/ sii saangu kabanti oni Wolio/ Ikarangina Abdul Rahim…… Oineiamo faqiri makodosana/ ajaahili ikatumpuna opuna/ Sakiaiya agaafili mingkuna/ Inda saangu amalana malapena.

Artinya:

Dialah Tuhan yang menciptakan kita/ Menciptakan seluruh hamba/ Ini sebuah kabanti Wolio/ Yang dikarang Abdul Rahim…….  Dialah fakir yang berhutang/ jahil dari perintah Tuhannya/ Sifatnya senantiasa bejat/ tidak ada sesuatu amalnya yang baik.

Kabanti tentu tidak asing lagi bagi para pegiat tradisi, ada yang bersumber dari naskah tertulis dan ada pula tradisi lisan. Kabanti kendati makin tidak popular namun masih menjadi pegangan masyarakat Buton. Syair di atas adalah bait pembuka kabanti berjudul Pakeana Arifu atau pakaiannya orang yang arif, yang dikarang Syaih Haji Abdul Rahim pada Abad ke-19, yang kemudian dituliskan. Naskah yang kutip adalah salinan, yang ditulis oleh Lambalangi pada tahun 80-an dengan aksara Arab-Melayu (pegon). Kabanti Pakeana Arifu tersebut berisi petuah mengenai jalan kebaikan.

Begitulah betapa tradisi dengan nilai-nilai kearifan di dalamnya menuntun kita untuk menunduk, tidak tergesa, menghayati, menekur jalan yang telah kita tempuh sekadar menepis rasa gelisah (seperti kata lagu). Di dunia yang serba membutuhkan respon cepat ini, apa salahnya untuk mundur sebentar, atau memperlambat langkah, agar tidak mudah larut. Selow wae……

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top