Sedang Membaca
Parokialisme Keagamaan, Fragmentasi Umat, dan Tanggung Jawab Kita
Yanwar Pribadi
Penulis Kolom

Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan penulis buku Islam, State and Society in Indonesia: Local Politics in Madura

Parokialisme Keagamaan, Fragmentasi Umat, dan Tanggung Jawab Kita

Pemilihan presiden (Pilpres) 2019 memunculkan beragam fenomena politik, termasuk politik identitas muslim, yang sangat gaduh dan mengkhawatirkan. Misalnya, sebuah survei dari PoliticaWave menyebutkan bahwa serbuan hoaks semakin membesar pada Pilpres 2019 dibandingkan Pilpres 2014. Lembaga tersebut memantau adanya beberapa hoaks dengan percakapan terbesar di media sosial, yaitu, di antaranya, isu tentang kebangkitan PKI, Presiden Joko Widodo anti Islam, dan kriminalisasi ulama (Detik News, 7 Februari 2019).

Fenomena politik identitas muslim ini sering kali memunculkan dimensi-dimensi parokialisme keagamaan dan terciptanya fragmentasi umat yang menciptakan kekhawatiran bagi kebinekaan Indonesia.

Pertanyaannya adalah, apakah ini pertanda bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam proses konsolidasi demokrasi, ataukah ini hanya sekadar riak-riak dalam politik elektoral? Bagaimana sebaiknya umat muslim menyikapi fenomena ini?

Parokialisme Keagamaan dan Fragmentasi Umat
Sejak runtuhnya Orde Baru, di Indonesia semakin terlihat keterjalinan yang rumit antara kesalehan, populisme Islam, Islamisme, dan komodifikasi agama. Pergeseran persepsi dan praktik keagamaan lazim terjadi di kalangan muslim kelas menengah perkotaan, suatu kelompok yang eksistensi dan sepak terjangnya mungkin paling dinamis di Indonesia saat ini.

Dalam konteks populisme Islam dan islamisme, misalnya, mereka cenderung mengikuti ide-ide populis yang cenderung delusional yang dibangun dari perasaan ketidakamanan dan ketidakpuasan, seperti mengidentifikasi dan mengutuk musuh kolektif, yaitu, misalnya, orang-orang kaya non-muslim keturunan Tionghoa, atau negara-negara Barat yang selalu dianggap memiliki niat untuk menghancurkan Islam, dan juga kekuatan politik non-muslim lainnya.

Dalam konteks kesalehan dan komodifikasi agama, mereka cenderung mengkonsumsi komoditas-komoditas “suci” dan juga menggemari ritual-ritual keagamaan populer, seperti umrah, pengajian-pengajian komunitas yang eksklusif, dan konsumsi produk-produk mode, kosmetik, buku, musik, serta produk-produk konsumtif lainnya.

Keterjalinan tersebut sering kali melibatkan fenomena kontestasi antara pendukung varian-varian Islam Indonesia dan pada akhirnya menghasilkan fragmentasi umat. Artinya, hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa di Indonesia hubungan antara Islam dan aspek-aspek sosial-politik lainnya yang melibatkan proses demokratisasi, politik identitas, dan penciptaan masyarakat madani, telah menjadi lebih kompleks dari sebelumnya.

Baca juga:  Absennya Kewargaan (Citizenship) di Pemilu Pasca Orde Baru?

Kondisi-kondisi tersebut, menurut saya, menunjukkan beragam hal. Salah satunya adalah menguatnya bentuk-bentuk parokialisme keagamaan, yaitu suatu keadaan pikiran, di mana seseorang atau kelompok masyarakat hanya fokus pada bagian kecil dari suatu ide-ide, pemikiran, masalah atau isu-isu keagamaan daripada melihatnya dalam konteksnya yang lebih luas dan yang mungkin dipahami berbeda oleh orang atau kelompok masyarakat yang lain.

Parokialisme keagamaan ini memiliki dampak yang cukup luas bagi kehidupan keagamaan umat, yaitu, misalnya, terciptanya fragmentasi umat, di mana banyak kelompok-kelompok muslim memiliki pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik keagamaan masing-masing yang berbeda satu sama lain, dan mempermasalahkan perbedaan-perbedaan tersebut.

Kelompok-kelompok muslim kelas menengah perkotaan yang menjadi bagian terpenting dalam terciptanya kondisi ini gemar mengklaim identitas mereka sebagai yang paling tepat, dan mempromosikannya sebagai identitas sosial-budaya yang ideal bagi seluruh bangsa Indonesia.

Mereka pada umumnya bersifat damai, dalam arti bahwa mereka tidak dengan jalan kekerasan secara langsung berusaha mengubah Indonesia menjadi medan perang terbuka antara muslim dan non-muslim atau antara sesama muslim tetapi yang berbeda pandangan keagamaan.

Namun, mereka sering menggunakan cara-cara yang tidak toleran dalam mempromosikan dan menyebarkan pemahaman mereka sendiri tentang Islam, termasuk dalam Pilpres 2019 ini. Tindakan intoleran ini seringkali pada akhirnya menyebabkan ketegangan sosial-keagamaan.

Oleh karena itu, selain menunjukkan dimensi yang damai dan moderat, menurut Vedi Hadiz (2016: 14), Islam di Indonesia juga memperlihatkan potensi munculnya kekerasan agama dan intoleransi dalam demokrasi.

Kini, kebangkitan muslim kelas menengah perkotaan dan desakan untuk mempromosikan Islam yang “sesungguhnya” menurut kelompok-kelompok tertentu semakin terlihat menguat dan nyata.

Baca juga:  Masjid Demak dan Impian Politik Teokrasi

Tanggung Jawab Bersama
Secara umum, mayoritas Muslim kelas menengah perkotaan yang ditengarai menjadi salah satu pendukung kuat dalam penyebaran hoaks pada Pilpres 2019, terlihat mapan secara ekonomi.

Namun, mereka sebenarnya memiliki masalah dalam hal identitas. Ada perasaan tidak aman karena kehidupan mereka semakin individualis. Singkatnya, status sosial-ekonomi mereka telah meningkat tetapi ada bagian dari kehidupan mereka yang juga terancam.

Muslim yang baru ‘dilahirkan kembali’ ini menjadikan agama sebagai ikatan hidup bersama. Bagi mereka, agama menawarkan rasa aman, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Agama dapat menjadi tempat untuk mengikat diri dalam komunitas. Karena yang dibutuhkan adalah ikatan bersama, maka agama sering kali lebih diartikan sebagai identitas.

Aktivitas-aktivitas keagamaan komunal yang menawarkan tema-tema kesalehan dipandang sebagai tempat perlindungan yang sempurna karena mereka menawarkan apa yang hilang di masa kecil mereka: misi islami yang benar untuk menjadi seorang muslim yang “sesungguhnya”.

Melalui pengamatan terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan di beberapa masjid, lembaga pendidikan Islam, dan lembaga-lembaga keislaman lainnya (Pribadi, forthcoming), saya melihat bahwa upaya muslim kelas menengah perkotaan di Indonesia untuk terus membangun dan juga sekaligus mempertahankan identitas Islam mereka telah menghasilkan kondisi di mana sekarang Islam benar-benar tertanam dalam medan budaya, sosial, politik, dan ekonomi dalam kehidupan mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Azyumardi Azra dalam konteks yang lebih luas, “agama dan keyakinan adalah bagian penting dari budaya nasional dan kehidupan sehari-hari di Indonesia” (Azra 2005: 1).

Saat ini, identitas sosial-keagamaan mereka telah terakumulasi dalam kekuatan yang menghadirkan tantangan sosial-politik-budaya bagi negara dalam mengelola politik nasional dan lokal, termasuk dalam Pilpres 2019.

Upaya negara Indonesia untuk mengkonsolidasikan kekuatan negara ke seluruh lapisan masyarakat pada umumnya didasarkan pada gagasan bahwa komunalitas dalam komunitas yang lebih besar memerlukan penciptaan warga negara yang secara sosial-politik homogen.

Baca juga:  Living Al-Qur'an dan Pesan Kemanusiaan (2): Masa Khulafaur Rasyidin

Namun, di Indonesia pasca Orde Baru, masyarakat tidak hanya menjadi penerima pasif dari kebijakan negara saja. Proses menciptakan warga negara seperti itu secara bersamaan menghasilkan perjuangan khusus masyarakat dalam politik identitas.

Di dan melalui aktivitas-aktivitas keagamaan, kelompok-kelompok muslim ini telah memainkan peran penting dalam memperkuat politik identitas muslim di Indonesia. Secara umum, di Indonesia, Islam telah berperan besar dalam membentuk landasan dalam hubungan antara agama dan politik; antara negara dan masyarakat; dan antara konflik dan akomodasi (Pribadi, 2018).

Perbedaan-perbedaan ekspresi keislaman di Indonesia saat ini memang tidak dapat dihindari. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut tidak harus dimaknai sebagai pembeda yang memisahkan. Oleh karena itu, sudah sangat wajar jika kita harus secara bersama-sama melaksanakan tugas kita sebagai warga negara untuk terus mengelola beragam perbedaan—tidak untuk mempersatukannya—pandangan keagamaan dan meyakini bahwa perbedaan adalah kekuatan kita bersama.

Dalam konteks yang lebih luas, beragam perbedaan tersebut harus kita kelola untuk menghasilkan produk-produk demokratisasi dan desentralisasi yang produktif, yang bukan hanya berbentuk riak-riak politik elektoral yang gaduh. Produk-produk tersebut antara lain adalah munculnya hak-hak kewargaan (citizenship), representasi yang berimbang dalam keterwakilan di ruang publik, dan partisipasi publik yang positif dalam mewarnai proses demokrasi di tingkat lokal dan nasional.

Pilpres 2019 ini tentu saja harus menjadi barometer tumbuhnya konsolidasi demokratis di Indonesia karena posisinya yang sentral dan strategis dalam perkembangan demokrasi di Indonesia yang akan datang

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top