Alumni Pesantren Krapyak, Jogjakarta Sekarang Ketua Program Studi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Budaya Sedekah Laut dalam Tinjauan Hadis

Belum lama ini, kembali jagat media diramaikan oleh pembubaran persiapan tradisi sedekah laut di Pantai Baru, Bantul oleh gerombolan kriminal berbaju agama.

Salah satu media online mewartakan, sambil mengobrak-abrik lokasi, sekelompok orang tersebut mengatakan bahwa tradisi sedekah laut syirik dan bertentangan dengan agama. Kelompok ini sempat memasang sebuah spanduk di sekitar lokasi. Spanduk itu bertuliskan “Kami menolak semua kesyirikan berbalut budaya, sedekah laut atau selainnya”.

Sedemikian khawatir mereka terhadap kemusyrikan umat Islam, padahal Nabi Muhammad Saw, sosok yang paling bertanggung jawab terhadap keimanan dan kemusyrikan umatnya, sama sekali tidak mengkhawatirkannya!

“…dan sungguh Aku, demi Allah! sama sekali tidak mengkhawatirkan kalian berbuat syirik sepeninggalku. Akan tetapi aku khawatir kalian akan saling memperebutkan dunia. (HR. Al-Bukhari dari ‘Uqbah b. ‘Amir)

Tradisi sedekah laut dapat bermakna ungkapan terima kasih manusia kepada makhluk Allah yang berjasa membantu para nelayan memperoleh rejeki dari Allah. Masih kuat ingatan saya tentang nasihat Gurunda Maulana Habib Luthfi yang mengajarkan murid-muridnya untuk berakhlak kepada Allah atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita. Salah satu akhlak yang beliau ajarkan adalah memuliakan rejeki yang kita terima dengan cara berterima kasih kepada setiap yang berperan sampainya rejeki itu kepada kita.

Baca juga:  Diaspora Santri (6): Strategi Diplomasi Islam Nusantara (Pengalaman Tribakti PCINU Belanda)

Berterima kasihlah kepada kedua orangtua atas nikmat lahir dan hidup menjadi hamba Allah dan umat Nabi Muhammad. Berterima kasih lah kepada guru-guru kita atas anugerah ilmu yang kita dapatkan. Berterima kasihlah kepada petani, kuli panggul, pedagang beras, dst. Atas nikmat setiap butir nasi yang kita makan setiap hari. Berterima kasih lah kepada Laut dan ikan-ikan, atas nikmat mengonsumsi sumber protein yang menyehatkan. (Awas kalau nggak makan ikan, akan ditenggelamkan Bu Susi!)

Sudahkah kita berterima kasih? Ah sudahlah…

Kedua, tradisi sedekah laut juga dapat dimaknai berbagi kepada sesama makhluk Allah; sesama manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan jin sekalipun. Di dalam sebuah hadis sahih Nabi melarang sahabatnya (termasuk kita, umatnya) untuk beristinja (setelah buang air) dengan kotoran dan tulang.

Kata Nabi, itu (tulang dan kotoran) adalah makanan saudaramu, jin. (HR. Al-Tirmidzi dari sahabat Ibn ‘Umar). Perhatikan bagaimana Nabi tidak hanya mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada sesama manusia, tapi juga memperhatikan makanan makhluk lain. (Ajaibnya, hari ini banyak makanan duri lunak, tulang lunak, dsb. terus jin makan apa dong…)

Sudahkah kita berbagi?

Akhir kalam, tindakan pembubaran persiapan sedekah laut dan kegiatan-kegiatan lainya yang dianggap kesyirikan hanya dilakukan oleh orang-orang yang yang merasa paling benar, mendaku diri mereka sebagai orang-orang yang paling paham agama, mendapatkan mandat untuk memberantas kemusyrikan, dan berlagak menjadi “polisi” syariat.

Baca juga:  Filosofi Santri dan Hari Santri: Ngaji, Muji, dan Bakti

Pamulang, 15 Oktober 2018

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top