Sedang Membaca
Kafe Sunyi, Kedai Kopi Penuh Empati

Saya mendefinisikan diri saya sebagai seorang yang gemar membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarana saya untuk mengabadikan berbagai hal. Menulis juga melatih saya untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah. Tulisan saya seperti puisi, opini, dan feature pernah dimuat di berbagai media massa. Di antaranya di Detik, Kompas, Suara Merdeka, Wawasan, Tribun Jateng, Bangka Pos, Bali Pos, Radar Lampung, Malang Voice, dan Koran Sindo. Telah menerbitkan dua buku di Ellunar Publisher, Kumpulan Puisi Berjudul Racau dan Kumpulan Opini di Media Massa Berjudul Gelisah Membuah

Kafe Sunyi, Kedai Kopi Penuh Empati

Mata saya berkaca-kaca saat menginjakkan kaki di kedai kopi Sunyi, yang berlokasi di Fatmawati, Jakarta Selatan. Akhirnya impian saya untuk mengunjungi kedai kopi yang dibicarakan para penggiat Instagram terwujud. Kedai kopi ini telah banyak diulas oleh pengunjung lalu disebarkan di media sosial. Juga telah kerap diliput oleh banyak media. 

Kedai kopi tersebut memang pantas mendapatkan eksposur sebesar itu. Pasalnya, kedai kopi ini tak sekadar aneka menu kopi yang sedap disruput. Kedai yang bisa dijangkau menggunakan MRT dari stasiun Fatmawati ini, menawarkan keunikan lain.

Selain bisa menyesap ketenangan dan harum semerbak biji kopi yang diracik, pengunjung yang datang bisa menyaksikan misi mulia yang sedang dijalankan pemilik kafe ini. 

Sang pemilik sengaja memberdayakan sesama kita yang tuna rungu. Tanpa sadar, melihat itu membuat saya terdiam sambil menahan air mata haru yang sebenarnya sulit untuk dibendung. 

Tenang, di sini para pelayan tetap ramah menyajikan pesanan yang kita mau. Mereka pun sigap memberi bantuan ketika kita tidak tahu menu mana yang harus dipilih. Mereka akan langsung memberikan rekomendasi menu favorit yang sering dipesan pembeli. 

Para pelayan dan pengunjung di sana tidak mengalami kendala berarti. Kami saling berbaur. Di sana pun sering dijadikan tempat nongkrong anak muda yang berpendengaran normal atau pun mereka yang mengalami gangguan lemah pendengaran. Semuanya asyik menikmati waktu di kedai kopi ini. 

Sungguh langkah yang patut diapresiasi. Karena selama ini, para penyandang difabilitas masih dipandang sebelah mata. Dianggap tidak mampu menghasilkan produktifitas yang setara dengan mereka yang normal. Padahal, para difabilitas ini seringkali justru memiliki semangat dan etos kerja yang lebih tinggi. Daya juang mereka tak mudah digempur oleh tantangan yang menghadang. 

Baca juga:  Kafe Basabasi, dari Kuliah Tasawuf Milenial hingga Pengembangan Ekonomi

Kemandirian mereka teruji karena tidak mudah hidup sebagai difabilitas di Indonesia. Seperti yang kita tahu, infrastruktur yang tersedia belum bisa dibilang ramah difabilitas.

Kita, misalnya, masih sering menemukan trotoar tanpa ubin berpola yang bisa memandu mereka yang tuna netra dalam berjalan. Informasi yang disampaikan di tempat umum juga masih ada yang tidak disertakan papan tulisan yang bisa dibaca oleh mereka yang punya gangguan di indra pendengar. 

Jadi, kehadiran kafe yang memberdayakan pekerja tuna rungu adalah langkah nyata untuk mengentaskan mereka dari ketergantungan dengan orang lain. Setidaknya, mereka tidak sepenuhnya bergantung dengan orang terdekat untuk biaya hidup. Ada pemasukan yang didapat dan bisa menggerakkan roda kehidupan. 

Kunjungan saya ke Kafe Sunyi masih menyisakan keteduhan yang membekas di benak ini. Ketakjuban dan kelegaan saya makin bertambah ketika membaca unggahan viral di Twitter. Unggahan yang ramai dan dibanjiri komentar positif tersebut rupanya berasal dari gambar yang memuat kebijakan baru outlet Burger King di Bali.

Restoran cepat saji ini mulai menerapkan peraturan teranyar yang mendukung para kaum difabilitas untuk berdaya. Tempat itu mempersilakan para kaum difabilitas untuk bergabung sebagai karyawan di sana.

Pihak perusahaan juga menempelkan pemberitahuan yang menginformasikan ke pengunjung untuk berkompromi dengan layanan terbaru mereka. Pengunjung diminta memahami cara kerja kaum difabilitas. Misalnya jika berhadapan dengan pelayan yang menyandang tuna rungu, maka pengunjung diharapkan mau menuliskan atau menunjuk menu yang diinginkan. Dan sikap lainnya agar kedua belah pihak saling kompromi. 

Baca juga:  Bicara Kota, Mengangkat Manusia

Tentu saja, langkah tempat makan itu menuai banyak pujian positif. Khalayak luas merespons dan mengapresiasi keputusan tersebut. Kami pun berharap, langkah ini bisa ditiru dan diperluas oleh para penggiat bisnis lainnya. 

Karena kami percaya, keterbatasan bukan kekurangan. Justru keterbatasan adalah pelecut untuk lebih berkarya. Jadi, jangan anggap remeh kemampuan para disabilitas. 

Karena, sudah banyak sosok disabilitas yang menorehkan prestasi di berbagai bidang. Kiprah mereka mulai diakui dan dipertimbangkan. Contohnya, kisah sukses Surya Sahetapy dan Angkie Yudistia. Surya Sahetapy berhasil menamatkan pendidikan hingga jalur kuliah di luar negeri. Ia terus berjuang dan menyuarakan dengan lantang agar pemerintah lebih memperhatikan kaum tuli macam dia. Anak pasangan Dewi Yull dan Ray Sahetapy ini kerap terpilih dan diundang menjadi perwakilan Indonesia di kancah internasional.  Ia pun menggagas berbagai wadah untuk menggerakkan kaum tuli lebih berdaya. Kiprahnya tak usah diragukan lagi. 

Ada pula Angkie Yudistia yang meluncurkan sebuah gebrakan yakni membangun perusahaan penyedia tenaga kerja khusus difabilitas. Perusahannya digandeng Gojek, sehingga para pekerja disalurkan menjadi mitra Go-Life. 

Semua langkah baik ini mestinya bisa membuka mata pemerintah bahwa lapangan kerja yang terserap harusnya tidak lagi eksklusif. Para penyandang difabilitas menuntut dibukanya inklusifitas seperti yang tertuang dalam UU No. 8 tahun 2016 yang menyatakan bahwa perusahaan wajib menyediakan kuota 1-2 persen pekerja di kantor adalah penyandang difabilitas. Jika perusahaan kesulitan memenuhi itu, mungkin bisa meminta bantuan perusahaan yang dirintis Angkie Yudistia. 

Baca juga:  Konsep ketuhanan Orang Alifuru (?)

Jika sudah diberdayakan, yang patut diedukasi adalah karyawan lain. Mereka harus diberikan sosialisasi untuk tidak merisak para pekerja difabilitas. Misalnya, jangan membanding-bandingkan kondisi fisik seseorang. Jangan pula merundung dengan penyebutan yang mencederai misalnya, memanggil pekerja difabilitas berdasar jenis difabel yang mereka alami. Panggilah sesuai nama dan jangan nilai seseorang dari fisiknya. Lihat dari kemampuan. 

Dan beremptilah karena para difabel lebih nyaman disebut difabel bukan disabel. Karena mereka masih bisa berkarya. 

Sudah banyak bukti bahwa difabel bisa berkarya. Ini juga bisa kita saksikan saat pergelaran Asian Para Games. Para atlet menunjukkan kegigihan mereka dalam ajang pertandingan olahraga yang pada tahun ke-3, Jakarta menjadi tuan rumah. 

Semoga, para difabel bisa segera mendapatkan banyak ruang di sektor pekerjaan. Jangan ada lagi pemberitaan yang tentang seorang difabel dijegal langkahnya untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), padahal memiliki kompetensi yang memadai. Jika perusahaan swasta sudah terbuka dengan pegawai difabel, semestinya instansi pemerintah dan lembaga BUMN mau menerima para difabel. Yang lebih penting, institusi pendidikan juga jangan pilih kasih dengan calon mahasiswa yang difabel. Bukalah peluang untuk para difabel mendapatkan ilmu dari lembaga pendidikan formal. Jika memang ada jurusan tertentu yang memang tidak diperuntukkan untuk para difabel, sertakan alasan logis. Misalnya menyangkut keselamatan diri. Jika kaum difabel memaksa untuk terjun ke jurusan itu, dikhawatirkan malah akan berbahaya. 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top