Sedang Membaca
Bicara Kota, Mengangkat Manusia
Setyaningsih
Penulis Kolom

Esais dan Penulis buku "Bermula Buku, Berakhir Telepon" (2016).

Bicara Kota, Mengangkat Manusia

Kota-kota mendapat julukan: ramah anak, hijau, kreatif, atau pintar. Kita biasa menemukan indikasi lewat kehadiran ruang publik memadahi, keteraturan tata ruang, atau sekadar kata-kata jargon belum mewujud. Tahun 2018, ada tiga kota di Indonesia ditahbiskan sebagai kota paling toleran oleh Setara Institute. Mereka adalah Singkawang, Salatiga, dan Pematang Siantar. Setara Institute melihat indikasi toleransi kota dari regulasi pemerintah mengatur kebebasan beragama.

Di pemberitaan, memang tidak ada ilustrasi yang mengantar kita pada pengolahan harmoni hidup bersama. Tapi kita mungkin bisa membayangkan toleransi sebagai jamuan besar nan semarak dan menyenangkan di tengah keragaman etnis dan agama. Regulasi pemerintah akan tampak sia-sia saja tanpa kesudahbiasaan masyarakat melakukan hajat hidup bersama. Perbedaan adalah kepastian. Kedamaian dan kebahagiaan bisa dijelang.

Saya mengingat cerita yang disampaikan oleh pengasuh Langgar Soeka Batja Klaten, M. Milkhan, di Bilik Literasi sekitar pertengahan tahun lalu usai melakukan perjalanan-dialog keragaman ke Amerika.

Milkhan mendapat undangan makan di Minnesota dari Pak Joko, seorang Indonesia dan dosen gamelan. Milkhan masih tampak takjub mengulang cerita Pak Joko. Selama puluhan tahun tinggal dan menjadi warga negara Amerika, Pak Joko mengaku jarang bertemu dengan orang Islam.

Namun, cukup mudah bertemu cara hidup “islami” di Minnesota. Salah satunya dilihat dari tata hidup keseharian, seperti rumah-rumah yang memilih tidak dipagari, halaman depan belakang nan asri, dan mobil-mobil terparkir di tepi jalan tanpa rasa takut mengalami tindak kejahatan. (Baca: Fikih Lingkungan: Sepeda Listrik)

Baca juga:  Living Al-Qur'an dan Pesan Kemanusiaan (7): Ideologi Negara

Kota telah memberi rasa aman sebenarnya lewat tindak personal, tapi berdampak pada komunalitas bertempat tinggal. Secara tidak langsung, orang-orang sudah saling memaklumatkan hidup dalam harmoni. Sebisa mungkin melipat konflik menjadi sekecil-kecilnya sebagai rangsangan menjadi religius atau toleran. Semua melebur dalam satu rasa sama sebagai manusia. Hidup bersesama tanpa superioritas identitas dalam agama tertentu.

Kita tentu mengingat perjalanan kocak sekaligus menyentuh dari Eric Weiner, koresponden asing untuk National Public Radio (NPR) dan mantan reporter The New York Times, lewat buku The Geography of Bliss (2014). Weiner mengunjungi beberapa kota-kota di pelbagai negara untuk “menemukan” kebahagiaan. Rute dilalui Weiner mempertemukannya dengan orang-orang dari pelbagai latar dan kehidupan.

Indikator kebahagiaan bisa dijamin oleh kemapanan ekonomi atau seberapa maju serta modern negara. Semua tetap bertaut dengan masalah sosial, religiusitas, dan kultural manusianya. Seperti di India, jelas tidak terbantahkan betapa semrawut dan miskinnya jika dibandingkan dengan Swiss yang teratur, indah, maju, bersih, tapi memiliki angka bunuh diri cukup tinggi.

Di Kalkuta, India, Weiner melihat segala bentuk pembalikan. Pemukiman kumuh, kemacetan lalu lintas, atau kebisingan suara mesin, justru bisa membawa kebahagiaan ganjil. Weiner menemukan rasa antara merindukan nuansa keramaian sekaligus kesal karena keruwetan. India mengacaukan diri Weiner sebagai seorang Amerika yang terbiasa dengan ambisi dan kerja sangat keras sebagai bentuk pencapaian diri.

Di sinilah, ada spiritualitas hidup yang tinggi sekaligus usaha diajukan oleh orang-orang miskin. Kemiskinan justru menjadi basis spiritualitas, menghubungkan diri dengan Tuhan sekaligus menentukan tingkat kebahagiaan. Personal manusia tetap menentukan kadar kebermaknaan tempat.

Kita tahu, pada tahun 2008, intelektual dan pemikir agama Karen Armstrong mendapat penghargaan dari Technology, Entertainment, Design (TED). Karena menyerukan Charter for Compassion (Piala Belas Kasih) sebagai ajakan global pada kedamaian. Agama bukan sumber konflik. Intinya, “Jangan memberlakukan orang lain seperti kita tidak mau diperlakukan” (Tempo, 14 Juli 2013). Gagasan ini lebih lengkap diejawantahkan Karen lewat buku yang juga sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan, Compassion, 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih (2012).

Baca juga:  Kota Islam (18): Jejak Komunitas Kristen Armenia di Hamedan

Kekerasan kemanusiaan yang melanda dunia menguatkan gagasan hidup belas kasih. Karen membawa tata cara pelbagai agama dan laku hidup para orang suci sebagai pengingatan kembali. Gagasan tidak lahir begitu saja sebagai tren gerakan:

“Salah satu tugas utama zaman kita ini tak lain adalah membangun sebuah komunitas global yang di dalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati; namun agama, yang seharusnya memberi kontribusi besar, justru dianggap bagian dari masalah. Semua agama berikukuh bahwa belas kasih merupakan penguji spiritual sejati dan itu membawa kita ke dalam hubungan dengan zat transenden yang kita sebuat Allah, Brahma, Nirwana, dan Dao.”

Charter for Compassion ini ditanggapi, salah satunya dengan program pemerintah menjadikan kota sebagai Kota Welas Asih. Namun, hal ini dijalankan dengan salah tanggap karena yang “dibangun” oleh pemerintah bukan inti kehidupan penuh kasih, religius, dan moral.

Pemerintah lebih sibuk membangun infrastruktur atau membuat plakat besar di beberapa titik bertulis “Kota Welas Asih.” Gagasan pun jadi sekadar jargon. Membangun jiwa manusianya dengan kesadaran dan pembiasaan jelas tidak bisa sekejap saja.

Tempat-tempat menjadi berarti karena kuasa manusia menciptakan ingatan dengan segala tindakan. Kita masih di perjalanan mewujudkan hal itu, menciptakan tempat yang baik untuk kita hidup(i) bersama.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top