Sedang Membaca
Anak-anak Kita di Bulan Puasa
Setyaningsih
Penulis Kolom

Esais dan Penulis buku "Bermula Buku, Berakhir Telepon" (2016).

Anak-anak Kita di Bulan Puasa

Anak-anak hadir sebagai tokoh paling bergembira dan bekerja keras dalam hari-hari suci Ramadan. Di pelbagai peristiwa Ramadan, mereka tidak langsung menghayati bulan sebagai waktu-waktu sakral meraup pahala, menambah volume keimanan, melipatkan kebaikan, atau berlomba menjadi paling dekat dengan Tuhan.

Kegembiraan beramadan sering mengarah pada permainan, pertemanan, bebunyian khas, makanan, dan tradisi kampung yang hanya ada ketika Ramadan saja. Anak-anak adalah tokoh yang menyimpan biografi berpuasa untuk pengingatan dan riwayat.

Saat kita menyimak buku kumpulan memoar Kembali ke Jati Diri, Ramadhan dan Tradisi Pulang Kampung dalam Masyarakat Muslim Urban (2013) oleh tim redaksi Lies Marcoes, Roland Gunawan, Mukti Ali el-Qum, memoar berpuasa tidak mengingkari masa kanak yang semarak. 0Di buku inilah, kita mendapat pengembalian waktu oleh para intelektual dan tokoh Muslim Indonesia. Ada di antaranya Dawam Rahardjo, Azyumardi Azra, Sinta Nuriyah Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Musdah Mulia, Nono A. Makarim, Jamal D. Rahman dan lain-lain yang kembali ke masa lalu demi mengalami masa menjadi anak.

Kita cerap salah satunya pengakuan Jalaluddin Rakhmat yang mengingat camilan dari raga kakek, “Satu hal yang paling mengesankan waktu saya masih kecil adalah menjelang maghrib kakek saya memberikan penganan khusus kepada anak-anak kecil. Setiap sore, menjelang maghrib, anak-anak sudah berkumpul di sekitar rumah kakek sambil bermain.

Baca juga:  Jaringan Santri Syaikhona Kholil Bangkalan di Bumi Pasundan

Bila sudah tiba waktunya, kira-kira setengah jam sebelum buka puasa, mereka termasuk saya juga, antri untuk mendapatkan penganan dari kakek. Karena itulah yang menjadi cita-cita sejak saat itu; pada saat besar nanti saya ingin membagi-bagikan makanan untuk buka puasa.” Pengalaman Jalaluddin kecil ini tentu terjadi di desa saat anak-anak mudah berbaur dan meriuh. Seperti wajib bahwa setiap pengalaman masa kecil selalu saja mengakar di kampung.

Ramadan menceritakan camilan pembuka puasa. Makanan bisa jadi hanya dibuat khusus saat puasa. Kita bayangkan senja justru semakin memberikan energi bagi raga untuk bergerak. Anak-anak serasa menyongsong keberhasilan selama seharian menahan diri dari aneka makanan. Kita tentu mengingat saat anak-anak pernah berambisi menandon makanan untuk dimakan di kala buka puasa. Makanan tidak selalu bernasib baik karena perut terlalu cepat kenyang.

Riwayat menyenangkan dan jenaka milik Muhammad Rajab berjudul Semasa Kecil di Kampung, Anak Danau Singkarak (2011) justru membawa pengingatan pedih saat puasa. Kita cerap, “Sekali, bulan Puasa, saya hampir tidak kuat meneruskan puasa sampai magrib. Jam 4 petang mata saya berkunang-kunang, tak tertahan lapar. Akan berbuka saya takut kepada Ayah: tidak diperbolehkannya. Juga nasi belum masak. Biarpun nasi masak, tidak akan diberikan oleh Ibu.”

Baca juga:  Pendidikan Seni, Anak-Anak Kita, Gus Dur hingga AL-Ghazali

Di bencana lapar yang sebenarnya bersifat sosial ini, Rajab kecil tergoda oleh pisang raja manis di atas rak kita bapaknya. Dua jam menuju bedug, terkalahkan oleh lambaian pisang.

Tindakan Rajab ketahuan ibu tiri dan diadukan kepada bapak. Sakit, sebagai hukuman Rajab diikat ke tonggak dan baru dilepaskan pukul 8 malam. Puasa tidak selalu berbuah manis. Pahit hukuman seperti pengingatan pada kekurangteguhan diri menghadapi godaan makanan. Risalah agama memang mafhum diajarkan di masa kanak dengan atau tanpa hukuman. Keberhasilan mendidik anak serupa penebusan moral menjadi orangtua.

Biang Suara

Di luar makanan pembawa ke pusaran konflik dan harmoni, Arham Kendari di buku Pada Suatu Hari, Komik Curhat Generasi 80-90an (2015) justru memilih menjadi biang suara di bulan Ramadan.

Berlatar di kota kecil Kendari, tidak cukup suara ragawi anak mewakili semarak kegembiraan. Suara harus berasal dari perangkat mainan yang kemungkinan hanya dibunyikan pada saat Ramadan. Suara religius dari lantunan azan, mendaras Alquran, atau kultum pemuka agama, toleran berjajar dengan suara mainan, salah satunya petasan.

Arham bercerita, “Pulang Taraweh, kami membunyikan meriam bambu bersahut-sahutan. Ada juga yang meledakkan benda ini di jalanan. Petasan yang terbuat dari busi motor, diisi bubuk korek api dan diberi rumbai-rumbai dari tali plastik. Malam Ramadan haruslah bising sebagai penobatan waktu khusus.

Baca juga:  Energi Nuklir dan Perang

Siang hari, suara raga anak-anak yang bermain kembali mendominasi seolah puasa tidak juga berarti puasa tawa atau suara, “Siang harinya kami banyak menghabiskan waktu bermain di masjid sambil “ngabuburit”, meski sebenarnya aku dan teman-teman seusiaku belum wajib berpuasa penuh.”

Masa kanak terlewati dengan keberhasilan merayakan Ramadan sebagai bulan bertuah. Perigi ingatan masa kanak berpuasa jelas tidak mudah dikosongkan dengan ingatan lain yang mungkin lebih mentereng.

Ketika anak-anak ini dewasa, berpindah kota, dan akhirnya merasakan perubahan suasana Ramadan secara sosial serta kultural, mereka masih akan mampu mengingat lagi Ramadan yang dulu. Ramadan yang sungguh-sungguh melekat di raga kanak.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top