Sedang Membaca
Khataman Faishal al-Tafriqah: Memutus Mata Rantai Pengkafiran

Mahasiswa sekaligus Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Khataman Faishal al-Tafriqah: Memutus Mata Rantai Pengkafiran

Ulil Abshar

Kita tahu bahwa ajaran paling inti (pokok) dalam kitab Faishal al-Tafriqah adalah definisi kafir dan iman. Berikutnya yang pokok adalah tidak bolehnya secara gampang mengumbar tuduhan kafir kepada siapapun. Dalam hal ini, kita harus menjaga lisan dari orang-orang yang ahlul al-kiblah (orang yang shalat menghadap kiblat).

Itu artinya, kata Gus Ulil, jika orang sudah bersyahadat dan shalat menghadap kiblat, maka kita tak boleh sembarangan menyebut dan menuduhnya kafir. Sekalipun mereka tidak berada dalam satu golongan dan satu mazhab dengan kita.

Bagian pokok yang tak kalah pentingnya juga adalah tentang luasnya rahmat Allah swt. Berkat keluasan rahmatnya, jangan sampai kita menimbang ukur rahmat Allah berdasarkan standart timbangan manusia. Saking luasnya, di gambarkan orang masuk surga tanpa hisab memang sedikit, akan tetapi orang yang masuk neraka (dan abadi di dalamnya) juga sedikit. Persis seperti kurva normal bahwa sebagian besar orang berada di tengah yang pada akhirnya masuk surga.

Gus Ulil menegaskan, sebenarnya jika ringkas kesimpulan kitab Faishal al-Tafriqah ada dua. Pertama mengajarkan toleransi, dan kedua mengajarkan optimisme. Semua orang itu sebagian besar akhirnya masuk surga. Lebih dari itu, kitab ini juga sebagai penangkal terhadap sebagian orang-orang yang mengesankan seolah-olah masuk itu sangat sulit, sehingga yang masuk hanya dia dan golongannya.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (64): Ramadhan Syahru al-‘Itqi min an-Nar

Penting di catat, sejauh itu menyangkut urusan fiqh maka tidak boleh saling mengkafirkan (dan tidak menjadi kafir). Misalnya, pengikut Mazhab Syafi’i mengkafirkan Mazhab Maliki, maka Mazhab Syafi’i tidak menjadi kafir hanya karena demikian (urusan fiqh maksudnya), sekalipun salah. Karena itu, pengikut Mazhab Maliki yang di kafirkan tidak perlu membalasnya.

Inilah hujjah dan toleransi kuat versi al-Ghazali. Mengapa demikian? Sekiranya pengikut Mazhab Maliki membalas pengikut Mazhab Syafi’i dengan pengkafiran juga, maka yang terjadi adalah lingkaran setan. Intinya, jika di kafirkan maka tak perlu membalas dengan mengkafirkan juga, melainkan cukup dengan kritik (mengingatkan) bahwa “kamu salah dengan posisi seperti itu”.

Demikian juga tak bisa dianggap kafir dengan pengikut Mazhab Hambali karena menetapkan adanya arah bagi Allah swt. Memang, sebagian pengikut Mazhab Hambali berpendapat bahwa Allah berada pada suatu arah. Misalnya dalam al-Qur’an Allah di gambarkan berada di atas Arasy. Pendapat-pendapat seperti ini tak membuatnya menjadi kafir, meskipun pendapat seperti ini menurut akidah asy’ariyah yang di anut NU kurang pas, akan tetapi hal ini tak membuatnya kafir.

Lalu bagaimana dengan sabda Rasulullah saw: “Jika ada orang menuduh kawannya kafir, maka dia jadi kafir.” Makna hadits yang sebenarnya, jika si penuduh betul tahu bahwa yang di tuduh adalah benar-benar orang muslim dan beriman kepada Allah swt., kemudian ia anggap kafir, maka yang jadi kafir sekarang adalah si penuduh. Dan dalam hal ini, yang di tuduh boleh menganggap kafir si penuduh.

Baca juga:  Ibu dan Imajinasi Sains

Berbeda dengan orang Syiah yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali lebih berhak jadi imam setelah Kanjeng Nabi. Umpamanya, ada orang Syiah menganggap orang Sunni berbeda pendapat dalam imamah menurut dia kafir, maka orang Sunni tidak boleh mengkafirkan sebaliknya. Kenapa? Karena orang Syiah memang berkeyakinan bahwa orang Sunni yang berbeda pendapat ini kafir. Dan, tindakan Syiah seperti ini tak menjadikan pengikut Sunni kafir. Wallahu a’lam bisshawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top