Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Apa yang Dilakukan Salman Al-Farisi Saat Gadis Pujaannya Dinikahi Abu Darda’?

Salah satu sahabat nabi yang terkenal sampai sekarang adalah Salman al-Farisi, seorang imigran dari Persia. Salah satu peristiwa yang menjadikannya dikenal banyak umat Islam ialah ide briliannya dalam perang Ahzab.

Sebagai salah satu orang yang berasal dari Persia, Salman memiliki pengalaman perang yang berbeda dengan orang Arab. Salah satu strategi yang diadopsi dari tanah kelahirannya adalah khandaq atau jurang buatan yang dibuat mengelilingi kota Madinah.

Stategi pembuatan khandaq tersebut disetujui oleh Nabi Muhammad Saw. Berkat strategi yang ditawarkan oleh Salman, umat Islam pun memenangkan peperangan.

Kisah khandaq sudah sangat terkenal. Dalam tiap buku sejarah Islam, peran Salman dalam perang Ahzab selalu dituturkan. Tapi adakah kisah Salman yang lain yang layak untuk diketahui? Tentu sangat banyak. Salah satunya tertulis dalam kitab Shifat al-Shafwah karya Ibnu al-Jauzi

Disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi bahwa kala itu, Salman. bermaksud menikahi seorang perempuan dari Bani Laits. la meminta Abu Dardá, sahabatnya yang juga keluarga perempuan itu, untuk meminangkannya.

“Kang Abu Darda’, bisakah kau membantuku?” tanya Salman.

“Ada masalah apa, Kang Salman sahabatku? Tentu saja aku akan menolongmu jika aku mampu,” ucap Abu Darda’.

“Aku ingin melamar seseorang, Kang. Dia kerabatmu. Tolong sampaikan niatku kepada keluarganya ya.”

Baca juga:  17 Hikmah Musibah Covid-19 Menurut Syekh Izzuddin bin Abdissalam

Abu Darda pun pergi menemui keluarga perempuan tersebut. Abu Darda bercerita kepada mereka tentang keutamaan Salman sebagai sahabat senior yang lebih dulu masuk Islam. Setelah itu, ia utarakan maksud kedatangannya untuk meminang anak perempuan mereka untuk Salman.

Di luar dugaan, keluarga perempuan tersebut malah berkata demikian, “Ngapunten. Maaf. Kami tidak akan menikahkan anak perempuan kami kepada Salman.”

“Mengapa? Bukankah Kang Salman itu orang baik. Sahabat senior yang diakui keilmuan dan keshalihannya.”

“Bukan begitu, Nak Abu Darda’. Kami sudah lama ingin menikahkan anak kami dengan orang lain.”

“Baiklah kalau begitu. Mohon maaf. Kalau boleh tahu, siapakah orang yang akan dinikahkah dengan anak perempuanmu?”

“Kami sudah lama berharap menikahkannya dengan sampean! Ya, denganmu!”

Mendengar penjelasan dari pihak orang tua perempuan tersebut, Abu Darda’ bingung. Antara senang dan sedih. Senang karena akan menikah dan sedih karena tak bisa memenuhi permintaan sahabatnya.

Dia pun menemui Salman dan menjelaskan hasil perjumpaan dengan keluarga perempuan. Sebelumnya, dia sudah melaksanakan akad nikah.

Di hadapan Salman, Abu Darda menceritakan semua, “Mohon maaf, Kang. Sesuatu telah terjadi, tapi aku malu menceritakannya kepadamu.”

Salman menatap heran lalu berkata, “Loh. Ada apa, Kang Abu Darda?”

Baca juga:  Sabilus Salikin (22): Istilah-istilah dalam Tasawuf

“Begini, Kang. Kemarin aku sudah datang ke keluarga perempuan yang panjenengan inginkan. Namun ternyata pihak keluarganya berkehendak lain. Ternyata mereka sudah merencanakan untuk menjodohkan anaknya denganku. Jadi gadis itu sudah kunikahi, Kang. Maaf. Sebenarnya aku sungkan padamu.”

Mendengar cerita itu, Salman tak marah. Ia merelakan gadis itu. Dia mengatakan, “Mestinya aku yang lebih malu, Kang. Kok beraninya diriku ini meminang seorang perempuan yang ternyata sudah Allah takdirkan untukmu.”

Setelah peristiwa itu, Salman dan Abu Darda berteman sebagaimana biasa. Tidak ada dendam satu sama lain. Betapa mulianya kedua sahabat Kanjeng Nabi tersebut. Mengapa mereka bisa demikian?

Ajaran Islamlah yang menunjukkan cara mengatur hati yang benar. Islam mengajarkan untuk berbuat sesuatu didasarkan untuk mencari ridha Allah.

Jika yang dicari tidak menjadi miliknya, maka itu semata-mata Allah tidak menakdirkannya.

Nah, jika kita mengalami peristiwa sebagaimana dialami Salman al-Farisi dan Abu Darda’, maka tirulah sikap kesantunan dan keikhlasan beliau berdua dalam menerima takdir. Jangan neko-neko!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
6
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top