Rifan Nashir
Penulis Kolom

Tinggal di Pesantren Tambakberas, Jombang

Saya dan Kitab ar-Risalatul Qusairiyah

Saya dan Kitab ar-Risalatul Qusairiyah

Kitab ar-Risalatul Qusairiyah ini salah satu dedengkotnya kitab-kitab tasawuf. Penulisnya, Imam al-Qusairy, menaja kitab ini saat masa-masa kejayaan Islam sedang puncaknya, yakni di era kekhalifahan Abasiyah, tahun 300 H.

Masa itu, kerajaan dan masyarakat sedang mengunggul-unggulkan dan menggalakan ilmu pengetahuan, dan tidak lupa banyak orang kaya dan pejabat hidup gaya hidup berlebihan, yang tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman. Kondisi seperti itulah yang menjadi latar sang imam menulis.

Beliau menilai mereka terlalu berlebihan, banyak lupa terhadap subtansi dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Tetapi di sisi lain, beliau tidak mengingkari kemajuan-kemajuan waktu itu. Beliau hanya cemas, kenapa orang “mabuk” dan berlebihan dalam hidup dan begitu mendewakan ilmu pengetahuan.

Abdul karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thohah bin Muhammad al-Qusyairi, begitu nama lengkap sang imam yang lahir di Naisabur, Khurasan (Iran) pada bulan Rabi`ul Awwal 376 H atau Jul 986 M. Beliau hidup sekitar 90 tahun, dan menghabiskan sebahagian masa hidupnya di Naisabur, kampung halamannya, hingga wafat juga di Naisabur juga pada 16 Rabi`ul Akhir 465 H, atau sekitar 1074 M. selain karya yang sedang saya sampaikan ini, beliau mengarang 20an kitab, di antara yang terkenal adalah berjudul Lath’aiful Isyarat, kitab tafsir dari sudut pandang kesufian. Semoga saya punya waktu membahasnya.

Baca juga:  Perintah Bercita-cita dalam Syi’ir Ngudi Susila Karya Kiai Bisri

Beliau mengarang kitab ar-Risalatul Qusairiyah untuk memjembatani orang yang membaca agar melakukan ibadah hanya secara zahir saja melainkan mencari tau subtansi dari ibadah. Kitab ini juga dikarang pada masa-masa awal munculnya kelompok tarekat.

Pandangan ini kemudian dilanjutkan oleh Imam al-Ghazali dengan kitab Ihya Ulumuddin. Sama dengan pendahulunya, al-Ghazali juga merasa resah dengan  kondisi saat itu yang mabuk dan sibuk dengan duniawiyah. Kitab ini menyajikan gambaran mengenai sifat-sifat terpuji dan subtansinya. Beliau menyajikan riwayat-riwayat dari para guru-gurunya. Secara sederhananya kitab ini memberi gambaran melaksanakan syariah dari sudut pandang Hakikat.

Saya agak terlat membaca kitab ini. Saya pertama membaca saat tahun ketiga di Mesir. Saya belajar di Al-Azhar tahun 2006. 2008 saya baru pinjam al-Qusairiyah pada teman. Pulang dari Mesir tahun 2011. Belakangan, di kampung di Jombang, saya mengulang membaca sendiri. Tapi sebelum ke Mesir, saya sudah dengar-dengar kitab tersebut dari Kiai Wahid Zuhdi Grobogan dan juga saya Kiai Jamal paman saya. Kedua kiai ini punya minat yang tinggi terhadap ilmu tasawuf, hidup ala sufi, dan banyak memberi ceramah-ceramah berisi hikmah. Contohnya yang sering diungkapkan adalah Salah Ibrahim bin Adham, sufi agung yang memang banyak ditulis di kitab ini.

Baca juga:  Literasi di Pesantren: Kitab Kuning di Tengah Gelombang Digital

Saya sekali, sampai sekarang, saya belum pernah ngaji kitab ini secara langsung kepada guru. Saya menilai kitab itu akan lebih bermakna dan lebih asik jika membacanya didampingi oleh guru, yang kaya pembacaannya.

Saya menekankan guru, karena Imam al-Qusairi sangat takdim pada guru-gurunya. Misalnya beliau menulis begini, ”Tidak pernah sekalipun saya sowan kepada guru saya kecuali saya dalam keadaan puasa dan suci dari hadas, itu adalah bentuk Ikramku kepada guru.”

Dari situ beliau tergambar bahwa kitab ini dipenuhi dengan riwayat beliau dari gurunya, bahkan banyak sekali didalam kitab ini menggunakan redaksi “guru saya berkata”.

Penyajian kitab ini juga menarik dan runtut yaitu dengan terlebih dahulu menyitir ayat kemudian hadis-hadis nabi baru kemudian beliau menjelaskan dengan menyandarkan pendapatnya para gurunya. Ini seperti tafsir-tafsir dengan metode bir riwayah. Kita juga dapat membacanya dengan secara gradakan (loncat-loncat, tidak urut).

Guru adalah kunci. Guru seperti telah saya sampaikan di atas, hari ini, harus menjadi perhatian khusus. Ini terkait dengan maraknya orang merasa telah tuntas belajar sendiri. Belajar sendiri, otodidak, baik dari buku-buku ataupun dari tulisan-tulisan di internet, pasti bermanfaat dan dianjurkan, tapi tidak boleh merasa puas. Seperti belajar peta, jika tidak mengerti, kok belajar sendiri, bisa tak menentu arah. Semoga bermanfaat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top