Sedang Membaca
Sabilus Salikin (108): Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (3)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (108): Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (3)

Pada akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibn ‘Arabi akhirnya tiba di Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwan pun sering menemuinya. Di antara mereka adalah Abû Syuja’ al-Imam al-Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan cerdas bernama Nizam. Gadis ini memunculkan inspirasi pada diri Ibn ‘Arabi sehingga lahirlah karyanya terjemahan al-Asywaq (Futuhat al-Makkiyah, juz 1, halaman: 5, al-Risalah al-Wujadiyyah, halaman: 8).

Selama dua tahun di Makkah (1202–1204), Ibn ‘Arabi sibuk dalam penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah Misykat al-Anwar, Ḥilyat al-Abdal, Ruḥ al-Quds, dan Taj al-Rasa’il. Namun karyanya yang paling monumental adalah Futuhat al-Makkiyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan langsung dari Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece ini berawal dari peristiwa saat ia bertawaf di Ka’bah, tempat ia bertemu dengan sosok pemuda misterius yang memberinya pengetahuan tentang makna esoterik dari Alquran .

Di samping itu, sebuah visi tentang nabi Muḥammad melengkapi perjalanan rohaninya menuju puncak, yakni sebagai penutup kewalian. Pada periode Makkah ini juga terjadi pertemuan antara dia dengan Syaikh Majd al-Dîn Ishâq bin Yûsuf dari Anatolia (daerah Rum). Syaikh ini adalah seorang tokoh spiritual penting yang menjadi penasihat Raja di Istana Saljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari Ṣadr al-Dîn al-Qûnawî, salah seorang tokoh kunci di antara murid-murid Syaikh al-Akbar (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 8).

Baca juga:  Inilah Kitab Ziarah Makam Para Nabi dan Wali Karya Syaikh Abdul Ghani An-Nabulusi

Pada tahun 1204 (601 H.) Ibn ‘Arabi meninggalkan Makkah menuju Baghdad dan tinggal selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Selama tinggal di sini ia berhasil menyelesaikan tiga karya, yaitu Tanazzulât al-Mawṣiliyyah, al-Jalâl wa al-Jamâl, dan Kunh mâ lâ budda li al-Murîd Minhu.

Dari Mosul, selama tahun 1205 (602 H.) mereka (Ibn ‘Arabi dan Habasyî) berangkat ke Utara melalui Dyarbakir dan Malatya sampai Konya. Pada tahun ini Ibn ‘Arabi menyusun Risâlat al-Anwâr (Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya berhubungan dengan Awhad al-Dîn al-Kirmânî, seorang guru spiritual dari Iran.

Pada tahun 1206 Ibn ‘Arabi menuju ke Yerussalem lalu Hebron di sini berhasil menulis Kitab al-Yaqîn dan menunaikan ibadah haji di Makkah pada bulan Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali berada di Kairo, berkumpul bersama sahabat lama Ibn ‘Arabi dari Andalusia, yaitu al-Khayyâṭ dan al-Mawrûrî (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 8-9).

Akan tetapi sayangnya lingkungan di Kairo tidak simpati pada Ibn ‘Arabi, karena ajaran-ajarannya dianggap menyimpang dan dituduh melakukan bid’ah. Mereka merasa tertekan dengan keadaan ini, pada akhir tahun 1207 Ibn ‘Arabi kembali ke Makkah untuk melanjutkan belajar Ḥadis dan juga mengunjungi keluarga Abû Syujâ’ bin Rustâm.

Setelah tinggal di Makkah sekitar satu tahun lalu berjalan lagi ke Utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya pada tahun 1210 (607 H.) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan orang-orang di sana.

Baca juga:  Guruku Orang-Orang dari Pesantren Dikoleksi 100 Perpustakaan di Jepang

Pada tahun 1212 (609 H.) Ibn ‘Arabi kembali mengunjungi Baghdad. Di sana dia bertemu dengan guru sufi terkenal Syihâb al-Dîn ‘Umar al-Suhrawardî, pengarang kitab ‘Awîrif al-Ma’ârif ( 539-632 H./1145-1238 M). Pada periode antara 1213-1221 Ibn ‘Arabi berkelana lagi ke Aleppo,  Makkah, Anatolia, Malatya dan kembali ke Aleppo lagi.

Sewaktu tinggal di Malatya Ibn ‘Arabi sempat menulis Iṣṭilâhât al-Shûfiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majd al-Dîn Ishâq wafat dan Ibn ‘Arabi mengambil tugas membesarkan dan mendidik putera Majd al-Dîn, Ṣadr al-Dîn Qûnawî yang saat itu berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa lama kemudian sahabatnya al-Habasyî juga wafat.

Pada tahun 1223 (620 H) Ibn ‘Arabi menetap di Damaskus hingga akhir hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan yang panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya.

Pada saat itu ia amat terkenal dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus al-Malik al-‘Adl menawarinya untuk tinggal di istana. Di sini Ibn ‘Arabi merampungkan karya besarnya Futuhât al-Makkiyyah dan juga Fushûṣ al-Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu menyelesaikan puisinya Dîwân al-Akbar. Adapun Ṣadr al-Dîn al-Qûnawî yang telah dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama dengan Awhad al-Dîn Kirmânî, sahabat Ibn ‘Arabi sekaligus guru Qûnawî.

Baca juga:  Keterlibatan Kaum Tarekat di Dunia Politik

Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’ul Tsani 638 H) dalam usia 76 tahun. Qaḍi ketua di Damaskus dan dua orang murid Ibn ‘Arabi melakukan upacara pemakamannya (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 9, al-Adab al-Sufi fi al-Maghrib wa al-Andalus fi ‘Ahdi al-Muwahhidin, halaman: 87, Syadzarât al-Dzahab, juz 5, halaman: 190, Futûhât al-Makkiyah, juz 1, halaman: 13).

Tentang istri-istrinya yang dapat diketahui ada tiga orang. Pertama,  Maryam, yang dinikahinya di Sevilla dan disebutnya sebanyak dua kali dalam Futûhât al-Makkiyyah, juz 2, halaman: 278, dan juz 3, halaman: 235.

Kedua, Fâṭimah binti Yûnus bin Yûsuf. Ia putri seorang syarif di Makkah, ibunda dari Imâd al-Dîn (Futûhât al-Makkiyah, juz 4, halaman: 554).

Ketiga, seorang wanita yang tidak diketahui namanya, putri seorang kaḍi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus (Futûhât al-Makiyyah, juz 4, halaman: 559). Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibn ‘Arabi) tidak diketahui namanya serta bagaimana nasibnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top