Sedang Membaca
Renaisans Islam Kosmopolitan
Raha Bistara
Penulis Kolom

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.

Renaisans Islam Kosmopolitan

Istilah “Renaisans Islam” nampaknya layak perlu diperdebatkan, dan hal ini akan mengantarkan kita pada satu pengertian mengenai proses kultural yang dialami peradaban Islam pada abad ke-10 M. Karena seyogyanya dalam tradisi Barat renaisans berati menemukan kembali sesuatu yang “hilang”, tidak sesuatu yang “ditemukan” dalam tradisi Islam. Nampaknya tidak mungkin bagi kita, saya terutama untuk melakukan perbandingan secara detail antara Renaisans Islam di satu pihak dan Renaisans Barat di pihak yang lain.

Sebenarnya, dalam batas-batas tertentu, khususnya dalam beberapa aspek pokok, Renaisans Islam memiliki kesamaan dengan Renaisans yang terjadi di Barat. Keduanya sangat menekankan aspek ilmu pengetahuan dan Filsafat Yunani kuno, dengan menggunakan pengecualian Renaisans Italia (Barat) yang lebih mengfokuskan pada kajian literer dan retorik atas warisan tersebut. Bahkan dalam masa ini energi mereka lebih banyak dicurahkan dalam bidang seni dan arsitektur, serta dalam gaya berpakaian secara umum dan itu tidak terjadi dalam Renaisans Islam.

Renaisans Islam yang rentang waktunya amat panjang dapat dikatakan telah berlangsung dari abad ke- 9 M sampai pada abad ke-10 M yang sering disebut sebagai puncak Intemediate Civilization of Islam, menyaksikan munculnya kelas menengah yang makmur dan berpengaruh serta memiliki keinginan yang kuat ditambah fasilitas yang lengkap dalam menggapai ilmu pengetahuan dan strata sosial. Bagi Kraemer pada masa ini, para penguasa dan pejabat negara merupakan patron yang menaruh minat besar terhadap pengetahuan, memanjakan para filosof, ilmuwan, dan sastrawan di istana mereka yang megah (Joel L. Kraemer, 2003:27).

Baca juga:  Syekh Zakariya al-Anshari dalam Diri Gus Ulil Abshar Abdalla

Pada fase ini juga terdapat perkembangan perniagaan begitu cepat sampai meluas melampaui daerah perbatasan Kerajaan Islam, ditambah dengan pertumbuhan urbanisasi memberikan fasilitas komunikasi bagi masyarakat yang memiliki latar belakang beragam. Baghdad menjadi dasar bagi kerajaan besar yang membentang dari Spanyol dan Islam. Masyarakat Islam dikenal oleh pemikir Barat belakangan sebagai masyarakat yang bersifat kosmopolitan dibandingkan dengan masyarakat Yunani dan Romawi yang pernah ada. Puncaknya dicapai pada paruh ke dua abad ke-10 di bawah pimpinan Dinasti Buwaihiyah.

Paruh kedua abad ke-10 dinaungi oleh tokoh-tokoh ternama seperti al-Farabi (w. 950), Ibn Sina (w.1037), yang popularitasnya mencapai ke Eropa pada abad pertengahan. Pada masa ini juga terdapat pemikir Islam bersifat epigon yang popularitasnya hanya seputar wilayahnya sendiri semacam: Yahya ibn Adi, Isa ibn Zura, al-Hasan ibn Suwar, Abu Sulaiman al-Sijistani, Abu Ali ibn Miskawaih, dan Abu Hasan al-Amiri. Semua nama-nama tadi terkenal bahu-membahu menjadi satu tidak ada yang saling mengunggulkan satu dengan yang lain.

Dengan begitu ini merupakan satu citra Renaisans Islam yang melahirkan banyak pemikir besar walaupun popularitasnya hanya sebatas wilayah teritorial mereka. Namun, tujuan mereka bukanlah mencari popularitas tapi mereka ingin menghidupkan kembali warisan filsafat Yunani kuno sebagai pembentukan pikiran dan karakter. Yang lebih penting lagi adalah ciri utama Renaisans Islam dibandingkan dengan Renaisans Barat adalah minat intelektual mereka tidak terikat pada pandangan filsafat tertentu.

Arsitek utama dalam Renaisans Islam pada zaman ini adalah filosof Kristen Yahya ibn Adi dan murid-muridnya yang dibagi dalam dua kelompok penting. Kelompok pertama murid-murid Ibn Adi yang beragama Kristen untuk meneruskan tradisi (Kristen) dalam menerjemahkan, menyunting, dan mengomentari teks-teks secara cermat yang berasal dari Hunain ibn Ishaq. Mereka antara lain Abu Ali ibn Ishaq ibn Zura, Abu al-Khair al-Hasan, Ibn Suwar ibn al-Khammar, dan Abu Ali bin al-Samh. Kelompok ini yang nantinya membentuk aliran filsafat Kristen Bagdad.

Baca juga:  Gerakan Islam di Tanah Banjar

Sedangkan untuk kelompok kedua adalah sarjana-sarjana muslim, antara lain Isa ibn Ali, Abu Sulaiman al-Sijistani, dan Abu Hayyan al-Tauhidi. Kita ketahui bersama bahwa Muhammad ibn Ishaq ibn Al-Warraq yang lebih dikenal dengan Ibn Al-Nadim seorang bibliografis, memiliki hubungan yang begitu dekat dengan Ibn Adi dan alirannya. Bahkan Abu Hayyan al-Tauhidi menggambarkan bagaimana kehidupan kultural pada masa ini mengenai atmosfer intelektual pada masa itu bersifat kosmopolitan. Orang-orang muslim, Kristen, Yahudi, Sahian, dan Mazdae hidup bersama dalam mempelajari warisan kuno.

Ibn Adi dan murid-muridnya mengoreksi dan menemukan kembali terjemahan-terjemahan sebelumnya dan menambahkan milik mereka, memperbincangkan persoalan-persoalan teks dan terminologi serta menyibukkan diri dalam spekulasi filosofis. Hubungan agama dan filsafat cenderung menjadi kegiatan intelektual mereka yang utama. Sungguh, kegiatan semacam ini adalah kegiatan yang langka dan jarang sekali ditemukan dalam perkumpulan ilmiah pada masa modern sekarang ini, terutama di dunia Timur Islam.

Kosmopolitanisme

Perkumpulan-perkumpulan ilmiah pada saat itu sangat variatif, tidak melihat etnis, suku, agama, dan wilayah geografis. Bahkan, ketika mereka sudah masuk dalam kelompok ilmiah yang lebih bersifat variatif, mereka akan memiliki loyalitas yang lebih tinggi kepada semua kelompok dibandingkan dengan kelompoknya sendiri. Akan tetapi, bersamaan dengan kecenderungan kosmopolitan ini. Mereka cenderung memelihara ikatan formal terhadap komunitas-komunitas agama masing-masing.

Baca juga:  Harmonisasi Pesantren Menuju Birokrasi

Bagi John Freely cendekiawan yang datang ke Baghdad dan Basra membawa serta beragam aliran kepercayaan dan ide-ide, dengan begitu terjadilah campuran berbagai disiplin ilmu dalam rebusan sup intelektual yang dididihkan di Baghdad di zaman Harun al-Rasyid beserta penasehatnya Yahya al-Barmaki, memicu bangkitnya Renaisans Islam yang bersifat kosmopolitan (John Freely, 2010: 101). Dengan begitu peradaban ini akan memicu setiap individu untuk menemukan ke-diri-annya dalam gemerlap hingar bingar ilmu pengetahuan.

Dorongan individualisme yang kreatif dan jangkauan yang meliputi kosmopolitanisme, secara tak terelakan bertabrakan dengan norma-norma, adat-istiadat sosial, dan keagamaan. Kebutuhan untuk mengakomodasi tuntunan norma-norma sosial yang berlaku telah mendorong munculnya sikap kepura-puraan. Masyarakat Islam tradisional pada waktu itu menuntut konformitas kelompok yang tinggi. Sebagai norma-norma kelompok yang telah diakui dari hukum agama, konformitas terbut juga menuntut ketaatan terhadap hukum ini.

Kita dapat mengasumsikan bahwa sikap pura-pura atau bersandiwara juga merupakan satu bentuk perlindungan diri yang lazim di dalam istana para penguasa. Ada banyak lapisan dan aspek batin yang tersembunyi dari jiwa yang tidak dapat terlihat dari luar, dan proses penyikapannya memerlukan penguraian lapisan dan beragam yang menutupi inti jiwa paling dalam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top