Sedang Membaca
The Insult: Membuka Kembali Luka Sejarah Lebanon
Mohammad Pandu
Penulis Kolom

Aktif di Komunitas Santri Gus Dur. Belum lama lulus kuliah di salah satu kampus negeri di Jogja. Bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas.

The Insult: Membuka Kembali Luka Sejarah Lebanon

Apa yang Anda bayangkan tatkala melihat sebuah konflik kecil antara mandor bangunan dan montir setempat? Barangkali cuma berakhir adu mulut lalu selesai. Ziad Doueiri tidak bisa menerima itu. Sang sutradara menyajikan cerita yang lain di filmya, The Insult (2017).

Entah beruntung atau malah buntung, Lebanon bisa melahirkan seorang sutradara semacam Ziad Doueiri. Di satu sisi, Ziad adalah satu-satunya sutradara yang mampu membawa nama Lebanon bertengger dalam daftar nominasi bergengsi Oscar, setelah negaranya berkali-kali gagal mengajukan 13 filmnya ke Oscar sejak tahun 1978.

Tapi di sisi lain, Ziad juga seorang pencerita yang suka bermain api. Atas nama kemurnian sebuah karya, sutradara yang telah menghabiskan dua puluh tahun terakhir hidupnya di Lebanon itu gemar sekali mengangkat isu-isu sensitif di masyarakat: konflik identitas. The Insult adalah salah satunya.

The Insult dimulai dari perintah balai kota untuk memperbaiki seluruh pelanggaran gedung yang ada di Beirut. Sang manajer (Talal El Jurdi) lalu mempekerjakan Yasser Salameh (Kamel El Basha) untuk memandori proyek tersebut.
Di sinilah ia bertemu Tony Hanna (Adel Karam) yang tidak terima jika pipa saluran pembuangan di rumahnya diperbaiki. Perseteruan mereka kemudian membawa kita dalam sidang panas yang menguras emosi.

Tony Hanna si montir setempat dan Yasser Salameh si mandor bangunan, pada dasarnya sudah saling membenci sebelum mereka bertemu. Tony adalah pengikut Partai Kristen Lebanon yang fanatik. Ia bergabung ke partai lebih karena alasan pengabdian agama ketimbang semangat ideologis. Tony dengan setia menghadiri demonstrasi politik dan menonton video pidato Bachir Gemayel, pemimpin milisi Kristen yang gencar mengampanyekan pengusiran imigran Palestina dari tanah Lebanon.

Baca juga:  Gaya Hidup Santri (4): Tirakat

Sialnya, Yasser adalah seorang Muslim Palestina. Tony sudah mengenalnya sejak pertama mendengar aksesnnya saat mereka saling bicara dengan tatapan sinis. Meskipun Yasser telah tinggal di Beirut selama beberapa dekade, status hukumnya masih belum jelas. Ia tinggal bersama istrinya, Manal Salameh (Christine Choueiri) di lingkungan yang masih diklasifikasikan sebagai kamp pengungsi.

Kebencian di antara mereka bukan sepenuhnya karena konservatisme agama seperti yang terjadi di Indonesia atau Myanmar, atau xenofobia seperti di Eropa Barat dan AS. Lebanon mempunyai cerita sendiri yang melatari sejarah masa lalu dua entitas ini.

Dalam drama adegan persidangan di film ini, cerita-cerita tentang kekejaman masa lalu dimunculkan kembali satu per satu: cerita tentang Perang Sipil Lebanon. Selama persidangan semua menjadi jelas, bahwa sesungguhnya konflik ini bukan disebabkan pipa saluran pembuangan, melainkan luka masa lalu yang masih dipelihara dan menemukan momentumnya.

Wajdi Wehbe (Camille Salameh) adalah pengacara Kristen terkenal yang mengambil kasus Tony. Ia dengan ingatan Perang Sipil Lebanon, terkejut mengetahui bahwa Tony lahir di Damour pada tahun 1970 dan melarikan diri dari desanya saat berusia enam tahun sebagai pengungsi pembantaian Damour.

Sebelum terjadi Perang Sipil Lebanon di tahun 1975, Damour adalah desa yang tenang, sederhana, dan damai. Penduduknya yang mayoritas Kristen hidup sejahtera dengan bertani pisang. Tapi setelah perang pecah, Damour jatuh ke tangan kaum Muslim dan militan sayap kiri yang dibantu unit Organisasi Pembebasan Palestina.

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (1): Lika-liku Sutradara dari Negeri Para Mullah

Tony memiliki memori kebencian kepada Muslim sekaligus Palestina yang keduanya ada dalam diri Yasser. Sedangkan Yasser sendiri juga memiliki trauma saat menjadi pemuda pengungsi Palestina dalam kecamuk Perang Sipil Yordania, yang menewaskan lebih dari 3.000 orang termasuk para warga sipil. Baik Tony maupun Yasser sebenarnya adalah korban dari egonya sendiri yang tidak mampu atau enggan mereka enyahkan.

Film yang ditulis oleh Ziad Doueiri bersama Joelle Touma ini juga mengajak kita melihat situasi di mana perempuan dengan sisi femininnya sering kali menjadi pendingin suasana. Seperti Manal Salameh dan Shirine Hanna (Rita Hayek) yang terus-terusan membujuk suaminya untuk mengakhiri perseteruan dengan mengalah. Meski menjadi es di tengah panas terik konflik, pada akhirnya para istri itu meleleh juga karena panas yang tak kunjung berakhir bisa didinginkan.

Lebih jauh lagi, film ini menunjukkan pada kita bahwa kebencian tidak serta merta surut ketika pertempuran berhenti. Meski perang tersebut resmi berakhir pada tahun 1990, masih banyak orang Lebanon yang mempertahankan kenangan hitam itu untuk dijadikan cindera mata yang bisa disimpan dan dimunculkan kapan saja.

Terlepas dari bias Ziad Doueiri yang dibesarkan dalam keluarga sayap kiri Lebanon yang pro-Palestina, The Insult saya kira cukup menawarkan studi yang berimbang antara dua komponen identitas sekaligus, yaitu pesan rekonsiliasi antara Muslim dan Kristen, juga antara nasionalis Lebanon dan imigran Palestina.

Baca juga:  Nasi Liwet, Sambal Terasi, Ikan Asin, dan Riwayat Gus Dur

Seperti dikatakan Amin Maalouf dalam bukunya, Les Identités Meurtrières (1996), bahwa identitas tidak bisa disekat-sekat. Manusia hanya mempunyai satu identitas yang terdiri dari banyak komponen dalam sebuah paduan yang unik.

Pun dengan rekonsiliasi konflik antara Tony dan Yasser, agama dan kebangsaan hanyalah komponen dari kesatuan identitas mereka yang tidak bisa dilepaskan.

Atas isu sensitif yang digarap Doueiri ini, The Insult mendapat boikot di beberapa negara Arab, termasuk Yordania dan Palestina. Tak hanya pertama ini, film Doueiri sebelumnya, The Attack (2012) juga pernah ditolak mentah-mentah di 22 negara, termasuk negaranya sendiri, karena melakukan pengambilan gambar di Israel.

Meski begitu, saya memberi apresiasi besar atas keberanian dan kejujuran film ini. Sepanjang perjalanan saya mengamati film-film Lebanon, The Insult adalah yang terbaik selain Where Do We Go Now? (2011) garapan Nadine Labaki.

The Insult menjadi film pertama dari Lebanon yang dinominasikan untuk kategori film berbahasa asing dalam daftar nominasi Oscar. Film berbahasa Arab ini juga diputar di kompetisi utama Festival Film Internasional Venesia ke-74. Di Venesia, Kamel El Basha memenangkan Piala Volpi untuk Aktor Terbaik atas perannya sebagai Yasser.
Saya bersaksi, The Insult memang pantas mendapatkannya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top