Sedang Membaca
Maulid Tanpa Qiyam di Rawa Pening
Nor Lutfi Fais
Penulis Kolom

Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang yang juga alumni pondok MUS. Kini sedang mendalami kajian rasm usmani. Pendidikan: Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo Semarang Domisili: Pondok Ngaliyan Asri K-11 Sosmed: Fais Zumna Ustuchty (facebook), fais zumna (twitter)

Maulid Tanpa Qiyam di Rawa Pening

Membaca Aqidah Al Awam (1)

Tak ada kaidah baku dalam ritual pembacaan maulid. Entah itu Diba’, Al-Barzanji, atau bacaan maulid yang lain, semua tergantung kepada qari’ (pembaca). Karena menukil dari Gus Baha’, maulid merupakan buku sejarah yang ditulis dengan bahasa Arab.

Masih di sekitar kawasan Rawa Pening, kali ini tepatnya di Dusun Muncul, Desa Rowoboni, Kabupaten Semarang, saya bakal menghabiskan awal bulan Mulud. Dusun Muncul merupakan satu dari dusun-dusun di Desa Rowoboni yang menjadi destinasi wisata wajib. Pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan eksotis rawa berbukit serta aneka tempat wisata air seperti Muncul Waterpark, Muncul River Tubing dan lain sebagainya.

Sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin dan muslimat di mana pun berada untuk merayakan hari lahirnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul pungkasan. Kelahirannya di hari ke-12 dari bulan Rabi’ul Awal ini bahkan telah dirayakan dua belas hari sebelumnya. Artinya, semua umat Islam akan hanyut dalam pujian dan bacaan sejarah Rasulnya itu selama dua belas hari muput.

Sekilas tak ada perbedaan majelis maulid yang diadakan di Dusun Muncul. Warga yang berkeinginan menghadiri akan datang ke Masjid atau Musala sekitar. Mereka yang telah datang kemudian duduk melingkar di serambi atau di dalam dengan pemisahan antara jamaah laki-laki dan perempuan secara alami, begitu juga dengan golongan orang tua, remaja dan anak-anak.

Baca juga:  Komunitas Kristen di Iran Merayakan Natal 6 Januari

Usai dianggap cukup, seorang laki-laki sesepuh desa yang juga menjadi imam masjid kemudian hadlarah, berkirim Al-Fatihah kepada Rasul Saw., para wali dan beberapa ahli kubur yang dianggap penting, seperti cikal-bakal desa. Baru setelah itu pembacaan maulid pun dimulai.

Semula Mbah Imam tadi memulai dengan kasidah Muhammadun basyarun la ka al-basyari. Lambat laun, pendengaran saya mulai terganggu dengan sesuatu yang lain, aneh tapi terkesan menarik. Setelah mendengar lebih lama saya mulai ngeh bahwa nadzam ‘Aqidah al-‘Awam-lah yang dibaca. Menarik. Dimana bait yang lazimnya dipergunakan sebagai bahan ajar ilmu teologi anak-anak diniyyah justru dibaca dan dapat diikuti oleh semua yang hadir saat itu, di aula masjid dusun.

Memang tidak semua baitnya dibaca, hanya beberapa potong yang memiliki kaitan dengan momen maulid malam itu. Sayangnya, saya tidak mendengar dari mana Mbah Imam membaca bait itu, hanya bait terakhir yang beliau baca sebagai penutup, ‘alaihim al-shalatu wa al-salamu * wa alihim ma damat al-ayyamu.

Lagu demi lagu terus dilantunkan hingga sampai pada teks yang tidak berisi syair atau pada bagian natsar. Satu per satu yang hadir membaca cerita dan kisah yang tersaji bergantian secara idarah, yaitu membaca dengan meneruskan apa yang telah pembaca sebelumnya baca, judul per judul.

Baca juga:  Layla-Majnun, Mualaf, Sufi hingga Eric Clapton

Yang menarik lagi, setiap mencapai tanda waqaf bacaan. Mustami’in yang ada dengan kompak, seolah mengikuti sebuah panduan dan instruksi, bersama-sama mengucapkan, “Allah”. Ini cukup berbeda dari kebanyakan tradisi muludan yang ada, dimana setiap berhenti (atau juga di tengah-tengah bacaan) selain qari’ akan membaca sholawat, bagaimana pun redaksinya, Allahumma shalli ‘alaih, Shallallahu ‘alaih atau yang lainnya.

Maulid yang dibaca adalah Diba’, waktu menunjukkan masuknya salat Isya’, namun pembacaan baru memasuki judul keenam, dimana riwayat sahabat ‘Abbas diceritakan. Tapi justru Mbah Imam memberi instruksi untuk segera mengakhiri maulid malam itu, “Al-Fatihah..!”

Usut punya usut, ternyata tradisi pembacaan maulid di sana dibaca sedapatnya, tidak mburu khatam. “Wah ini jadi semacam maulid ber-episode, atau bahkan serial maulid.” pikir saya.

Di hari berikutnya, pembacaan dimulai dengan lagu sebagaimana biasa, kali ini tidak dengan bait ‘Aqidah al-‘Awam dan dilanjutkan dengan riwayat dari ‘Abbas radliyallahu ‘anhu. Giliran ibu-ibu yang mendominasi. Lengkingan suaranya memecah keheningan sawah-sawah malam itu. Sesekali anak-anak meminta jatah giliran membaca, bergantian.

Sampailah di puncak cerita, dimana seluruh alam semesta berguncang, tanda Rasul akhir zaman telah datang. Saya telah bermanuver, mengambil ancang-ancang, tapi apa yang terjadi? Warga tetap dalam posisi duduk dan melanjutkan pembacaan cerita. Secepatnya saya bergerak seolah membenarkan posisi duduk, menutupi rasa malu karena hendak berdiri beberapa saat yang lalu.

Baca juga:  Sejarah Lahirnya Budaya Siwalima, Hakikat Persatuan ala Maluku

Pria paruh baya yang duduk di sebelah langsung saya interogasi. “Lho tidak ada mahall al-qiyam Pak ya?”

“O, tidak ada Mas. Berdirinya besok kalau malam terakhir, tanggal 12.” jawab beliau.

Sesuai dengan tradisi yang diwarisi masyarakat dari sesepuh, berdiri saat mahall al-qiyam hanya dilakukan saat malam terakhir. Filosofinya, karena berdiri itu menghormati Rasul Saw., dan itu akan dilakukan disaat beliau dilahirkan, yaitu tepat pada malam tanggal 12 Rabi’ul Awal.

Hal ini jelas terkesan aneh bagi saya, namun justru unik dan menarik karena dibalik itu menyimpan arti yang begitu dalam. Dimana sakralnya ritual berdiri sebagai penghormatan terhadap Rasul Saw. benar-benar dilakukan di momen yang tepat.

Awalnya saya mencoba mengaitkan beberapa perbedaan ritual maulid yang dilakukan di Dusun Muncul ini. Mulai dari pembacaan bait ‘Aqidah al-‘Awam yang menceritakan nabi dan rasul secara keseluruhan. Lantas bacaan ‘Allah-Allah’ dan bukan sholawat serta ketiadaan mahall al-qiyam yang kesemuanya menurut saya, “Saat Rasul Saw. tidak menjadi tokoh utama justru di perayaan hari lahir beliau”, namun justru di balik filosofi ketiadaan mahall al-qiyam itu saya menemukan arti bahwa masyarakat sekitar sangat menghormati Rasul Saw., dengan hanya berdiri di hari terakhir. Allahumma shalli wa sallim ‘alaih.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top