Sedang Membaca
Simbolisasi Agama dan Kegelisahan Kita
Neng Yanti Khozana
Penulis Kolom

Antropolog dari Monash University Australia. Staf pengajar di ISBI Bandung, dan peminat masalah-masalah kebudayaan. Tinggal di Bandung.

Simbolisasi Agama dan Kegelisahan Kita

Belakangan ini saya kerap gelisah. Kegelisahan yang saya kira juga dirasakan oleh banyak orang. Mendapati pondasi kehidupan sosial kita yang semakin rapuh. Apa sebab?

Kita semakin mudah menyalahkan orang yang berbeda dengan kita. Kita semakin mudah tersulut amarah dan bertikai. Perang kata-kata disertai ujaran-ujaran kebencian menjadi menu sehari-hari.

Di jalan raya, orang semakin tidak sabaran. Kepekaan dan kepedulian sosial semakin menipis. Di sekolah dan kampus, anak-anak semakin malas membaca. Sementara, bentangan dunia tanpa batas berada dalam genggaman mereka. Jutaan informasi tanpa filter terus membanjiri kehidupan sehari-hari. Orang tua mana yang tak gamang dengan situasi ini?

Ironi dan kontradiksi memang selalu menemukan ruang dalam dunia yang semakin hari semakin menyatu, tanpa sekat. Jarak dan ruang semakin mengecil dan menyempit. Waktu dan tindakan pun semakin pendek dan singkat.

Yasraf A. Piliang (2004) menyebutnya “dunia yang dilipat”, yakni sebuah dunia ketika segala sesuatu bergerak amat cepat, segala hal dapat dilakukan secara bersama-sama dalam waktu yang serba singkat. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat hidup kita semakin efisien dan efektif.

Dalam dunia yang dilipat, segala sesuatu menjadi mini, kecil dalam berbagai dimensi, waktu, maupun bentuknya. Realitas dihadirkan melalui berbagai media: gambar, foto, televisi, video, dan internet.

Pada beberapa bagian, kita gagap menghadapinya. Seringkali kita tertipu oleh realitas yang dihadirkan itu karena ketidakmampuan kita memfilter serbuan realitas semu yang hadir di hadapan kita, setiap hari.

Pendangkalan Agama

Berkebudayaan, termasuk di dalamnya beragama, telah melampaui batas-batas yang kita pahami selama ini. Kita bisa mengetahui berbagai peristiwa di dunia pada saat yang bersamaan ketika peristiwa itu terjadi, tanpa perlu menunggu, sedetik pun.

Setiap hari, setiap waktu, rangkaian kata-kata mutiara, doa, petikan ayat-ayat, nukilan hadis, fatwa ulama, motivasi, dan sejenisnya terus mengalir masuk melalui handphone kita, menyerbu kesadaran yang hampa tanpa berkesempatan merefleksikannya.

Baca juga:  Kiai Ghufron Faqih dan Jejaring Tebuireng di Surabaya

Ketika di belahan dunia lain, manusia sibuk mengembangkan teknologi yang super canggih, mempersiapkan diri mengoloni planet lain, kita masih saja ‘berebut’ surga, bergunjing soal-soal menyangkut khilafiyah (sesuatu yang menjadi perdebatan di kalangan ulama), serta menghakimi sesama saudara sendiri.

Belum lagi meningkatnya perilaku kriminal, korup, yang juga menyertakan simbol-simbol agama. Oknum anggota dewan melakukan korupsi dengan kode-kode agama, pengusaha yang hobi hidup mewah menyelewengkan dana umrah yang jumlahnya fantastis, bukan lagi milyaran tetapi menyentuh angka trilyun.

Sementara, masyarakat mengumpulkan dana tersebut serupiah demi serupiah dengan keringat bercucuran. Belum lagi para pelaku kejahatan yang menghadiri ruang-ruang persidangan dengan berbalut pakaian yang menjadi simbol kesalehan, jilbab dan baju panjang, untuk menutupi rasa malu.

Apakah ini berarti telah terjadi pendangkalan pemahaman agama sedemikian rupa sehingga kita lebih peduli kepada simbol di permukaan, dan melupakan kedalaman, esensi, nilai yang harusnya terefleksikan dalam perilaku sehari-hari?

Ketika simbol-simbol agama menguat dalam kehidupan sosial kita, bersamaan dengan kerasnya pertarungan politik identitas dalam satu dekade belakangan ini, tiba-tiba kita juga dihadapkan pada berbagai ironi itu.

Akibatnya, agama lebih bersifat simbolik ketimbang esensial. Hal ini menemukan siginifikansinya ketika masyarakat Indonesia adalah masyarakat simbolik. Perayaan simbol itu hampir memenuhi seluruh ruang kehidupan kita.

Bagi orang Indonesia, tiap tahapan kehidupan itu perlu dirayakan secara simbolik.

Simbol menjadi sebuah keniscayaan. Simbol-simbol itu menjelma dalam berbagai upacara dan ritual. Simbol itu tentu saja tidak sekedar permukaan. Ia memiliki kedalaman dan kaya akan makna. Ia menjadi representasi atas nilai, karakter, sikap dan pandangan hidup kita.

Tetapi, saat ini, banyak orang, karena keterbatasan pemahamannya serta tuntutan dunia yang berubah dengan cepat, merayakan simbol tak lebih hanya bersifat permukaan saja, hanya mengejar status sosial belaka.

Tidak ada lagi kedalaman, apalagi upaya untuk mempelajari dan memahami makna-makna di dalamnya.

Fragmen-fragmen

Dalam dunia yang berubah demikian cepat itu, budaya instan pun terus tumbuh menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Baca juga:  Kiai Sahal dalam Kacamata "Seorang Antropolog"

Pada kenyatannya, kemudahan dan kecepatan selalu berpasangan biner dengan kedangkalan.

Begitu mudahnya kita mengakses pengetahuan, tentang apa saja. Mesin pencari raksasa, Google, telah mendefinisikan ulang cara-cara kita memeroleh pengetahuan. Tugas-tugas pelajaran di sekolah hingga kampus, mencari pemecahan atas problem-problem sosial dan agama, memahami berbagai pengetahuan, mencari solusi atas masalah kehidupan sehari-hari, semua dapat diperoleh dengan bantuan Google. Ilmu pengetahuan tiba-tiba mengalami transformasi sedemikian rupa.

Dalam beberapa situasi, ilmu pengetahuan telah berubah layaknya makanan instan, dapat disajikan dengan cepat di hadapan kita, sesuai pesanan dan kebutuhan.

Lalu, apa yang terjadi jika pengetahuan diperoleh secara instan? Apa yang terjadi jika kita belajar agama secara instan?

Tidak ada lagi buku agama yang dibaca, tidak ada lagi kitab-kitab yang dipelajari dengan hati-hati. Tidak ada lagi malam-malam yang panjang untuk membaca ribuan halaman buku, untuk merenungi dan mencerna kedalaman ilmu. Semua ada dalam genggaman, kita hanya perlu perangkat canggih berupa hp atau tablet/komputer/laptop.

Apa akibatnya? Ada banyak fragmen, potongan-potongan informasi yang tidak bersambung. Ilmu pengetahuan berubah menjadi serpihan-serpihan, layaknya pecahan kaca.

Di lain waktu, ia menjadi potongan-potongan puzzle yang membingungkan. Jika tidak berhati-hati dapat berbahaya dan melukai kita. Seringkali realitas yang dihadirkan meski berpotensi abu-abu kebenarannya, kita tetap saja menganggapnya benar.

Bagi masyarakat kota yang serba sibuk, belajar agama melalui media internet atau medsos menjadi semacam solusi atas keterikatannya terhadap ruang dan waktu yang amat sempit.

Di sisi lain, belajar hanya melalui teknologi semata, tanpa guru, bisa berbahaya karena tidak adanya dialog, hanya monolog, komunikasi satu arah. Pemahaman agama pun layaknya potongan-potongan puzzle. Sayangnya, sebagian kita, karena keterbatasan pengetahuan, menganggap potongan-potongan puzzle itu sebagai gambar yang utuh.

Baca juga:  Bencana Alam di Mata Habib Luthfi

Lebih berbahaya lagi, jika kita memaksakan keyakinan kita tentang potongan puzzle sebagai gambar yang utuh itu kepada orang lain, bahkan kepada mereka yang justru memiliki gambar utuh.

Maka, yang akan terjadi adalah sikap-sikap yang terus-menerus menyalahkan orang lain karena ia hanya memiliki kebenaran yang terbatas, berupa potongan-potongan kecil.

Kuncinya adalah belajar

Untuk mengubah sikap yang demikian, kuncinya adalah memperbaiki cara kita belajar. Jadikan media seperti Google sebagai alat bantu, bukan sumber utama.

Jangan biarkan anak-anak kita belajar pada sumber yang keliru. Kirim anak-anak kita kepada guru yang mumpuni keilmuannya, tempat yang memungkinkan terjadinya sebuah dialog, agar bisa berdiskusi secara baik kenapa sesuatu itu haram, kenapa sesuatu itu boleh, kenapa sesuatu itu harus atau wajib dilakukan.

Bukankah guru dan kiai kita mengatakan, “ilmu di dunia ini tak lebih dari setetes air di lautan dari ilmu Tuhan?” Maka, rasanya tak layak dengan ilmu yang setetes itu kita lalu menghakimi dan menyalahkan cara beragama orang lain.

Sebuah makolah lama di pesantren, yang dinyanyikan oleh para santri pemula saat memulai belajar, bercerita tentang syarat mencari ilmu:

“Syarat mencari ilmu itu ada enam: kecerdasan, semangat, kesabaran, biaya yang cukup, petunjuk guru, dan waktu yang lama.”

Belajar itu butuh waktu, belajar itu perlu guru, belajar itu perlu kesabaran. Dari keenam syarat itu, berapa unsur yang tersisa ketika kita hanya belajar secara instan melalui medsos atau internet? Berapa banyak anak-anak kita membaca buku tiap harinya? Wallahua’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Inilah juga yg kurasakan Teh,
    Terimakasih sdh mewakili perasaan sekian bnyk orang terutama kawan2 seperjuangan di pesantren. Ingin rasanya menulis, mengungkapkan hal serupa, tapi apa daya saya tak pandai merangkai kata.
    Teruslah menulis Teh Neng..
    Salam semangat Ramadhan 1439 H.

Komentari

Scroll To Top