Sedang Membaca
Pidato Lengkap Kiai Afifuddin Muhajir (2): Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushūsh dan Maqāshid)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Pidato Lengkap Kiai Afifuddin Muhajir (2): Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushūsh dan Maqāshid)

Pengukuhan Gelar Doktor (HC) kepada KH. Afifuddin Muhajir dari kampus UIN Walisongo Semarang.

Sekilas tentang Maqāshid al-Syarī‘ah

Melalui penelitian induktif atas sejumlah nashsh partikular (juz’iyyāt) Alquran-Hadis, berikut hukum, ‘illat, dan ħikmah-nya, ulama sampai pada simpulan universal: bahwa di balik syariat Islam yang berkarakter komprehensif (syumūl), sempurna, serta relevan untuk setiap ruang dan waktu, terdapat makna-makna yang hendak diwujudkan oleh Syāri‘. Makna-makna ini kemudian diistilahkan dengan Maqāshid al-Syarī‘ah, Maqāshid al- Syāri‘, atau al-Maqāshid al-Syar‘iyyah.

Selain itu, maqāshid al-syarī‘ah juga dirumuskan dari nashsh-nashsh yang mendedahkan prinsip-prinsip fundamental syariat atau asas-asas universal. Prinsip taysīr (memberikan kemudahan) diperoleh dari firman “يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر/

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Prinsip takhfīf (dispensasi dan kelonggaran) dari firman Allah “يريد الله أن يخفف عنكم/ Allah hendak memberikan keringan kepadamu.” Asas menolak kesulitan dan kesukaran diambil dari firman “وما جعل عليكم في الدين من حرج/dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu di dalam agama.” Asas menolak kemudaratan (daf‘ al-dharar) diambil dari sabda “لا ضرر ولا ضرار/ Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya maupun yang membahayakan orang lain.” Begitu juga dengan asas perlindungan kehormatan kemanusiaan yang disimpulkan dari firman“ولقد كرمنا بني آدم/Dan sungguh telah kami muliakan anak-cucu Adam.”

Prinsip penegakan keadilan dipahami dari firman “لقد أرسلنا رسلنا بالبينت وأنزلنا معهم الكتب والميزان ليقوم الناس بالقسط/Sungguh, Kami telah

mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.” Prinsip kesejahteraan dan keamanan

/فليعبدوا رب هذا البيت الذي أطعمهم من جوع وآمنهم من خوفdiambil dari firman “

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah)” “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.” Prinsip pemerataan ekonomi dikutip dari firman “كي لا يكون دولة بين الاغنيآء منكم/Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu .”  Prinsip kesejahteraan fakir-miskin melalui zakat fitrah diperoleh dari sabda “أغنوهم عن سؤال هذا اليوم/Cukupkanlah (kebutuhan) mereka agar tidak meminta-minta di hari ini (hari raya).”

Imam al-Haramain merumuskan ungkapan yang merangkum cakupan maqāshid al-syarī‘ah, yaitu “الأغراض الدفعية والنفعية/tujuan pencegahan dan kemanfaatan”. Ini berrti bahwa maqāshid alsyarī‘ah itu memiliki dua dimensi, yaitu mencegah kemudaratan dan menarik kemanfaatan yang kemudian lebih popular diungkapkan dengan “جلب المصالح ودرء المفاسد/menarik maslahat dan mencegah mafsadat.

Tāj al-Dīn al-Subkī berkata, “Syakh al-Islām ‘Izz al-Dīn

‘Abd al-‘Azīz bin ‘Abd al-Salām merujukkan Fikih seutuhnya pada term “اعتبار المصالح ودرء المفاسد.” yang bila disederhanakan, maka dapat dikatakan bahwa seluruh produk hukum Fikih sejatinya bermuara pada “اعتبار المصالح/pertimbangan maslahat”, karena menolak mafsadat sudah terkandung dalam term pertimbangan kemaslahatan. Abū Ishāq Ibrāhīm al-Syāthibī menulis yang serupa, “Syariat dibuat semata untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun akhirat.” Sampai sini dapat disimpulkan bahwa maqāshid al-syarī‘ah adalah usaha mewujudkan kemaslahatan manusia.

Baca juga:  Mengapa Syekh Nawawi al-Bantani Tak Jadi Pahlawan?

Dari penjelasan ini, disimpulkan bahwa maqāshid dan mashāliħ adalah dua istilah yang berbeda definisinya (mafhūm) tapi identik baik ekstensinya maupun maknanya (māshadaq wa ma‘nāhumā). Demikianlah yang baru saja saya jelaskan secara implisit dan akan lebih jelas lagi dalam pembahasan berikut ini.

Berdasarkan indera dan pengalaman riil, diketahui bahwa kemaslahatan manusia terbatas dalam tiga hal dengan jenjang hierarki berikut:

  1. Al-Maslaħah al-Dharūriyyah (primer), yaitu kemaslahatan yang mesti diwujudkan demi kelestarian hidup manusia dan stabilitas kemaslahatan mereka. Kealpaan maslahat ini berarti kacaunya tatanan hidup manusia serta akan terjadi kekalutan di mana-mana. Al-Maslahah al-dharūriyyah dalam pengertian ini bermuara kepada perlindungan atas lima hal, yaitu perlindungan agama, perlindungan hak hidup, hak berpikir, kehormatan, dan kepemilikan. Abū Hāmid al-Ghazālī juga mengemas hierarki al-maslahah al-dharūriyyah dengan urutan yang serupa, hanya saja menyebutkan “nasl” (hak reproduksi) sebagai ganti dari “‘irdh” (kehormatan). Lima prinsip ini merupakan induk maqāshid dan maslahāt yang disebut sebagai al-Dharūriyāt al-Khams (lima asas universal). Ini menyiratkan pengertian bahwa maqāshid al-syarī‘ah tidak terbatas dalam lima hal ini saja. Kelimanya ibarat batang yang dilengkapi dahan, ranting, buah, dan dedaunan. Islam menjamin untuk memelihara dharūriyyāt ini, bahkan dengan cara menepis larangan bila keadaan mendesak (إباحة المحظورات للضرورات).
  2. Al-Maslaħah al-Ħājiyyah (sekunder), yaitu kemaslahatan yang diperlukan manusia untuk terwujudnya kemudahan, kelapangan, dan meringankan beban taklīf dan beban penat hidup. Alpanya kemaslahatan ini tidak tidak akan berakibat kacaunya tatanan kehidupan dalam skala besar layaknya kealpaan al-maslahat al-dharūriyyah, hanya saja akan menimbulkan kesulitan dan kepelikan. Maslahat hājiyah bertujuan menampik kesulitan dan menawarkan keringanan sehingga beban taklīf mudah dipikul, memudahkan interaksi dan transaksi finansial.
  3. Al-Mashlaħah al-Taħsīniyyah (tersier), yaitu kemasalahatan yang sepatutnya ada karena tuntutan muruah (nama baik) dan moral demi berlangsungnya kehidupan secara sempurna. Kealpaan maslahat ini tidak akan menyebabkan kekacauan tatanan kehidupan atau menimbulkan kepelikan sebagaimana kealpaan maslahat dharūriyyah dan maslahat ħājiyah, tetapi akan menciderai nilai-nilai kesopanan dalam pandangan akal dan fitrah yang sehat. Maslahat taħsīniyah berurusan dengan akhlak mulia dan istiadat luhur sehingga kehidupan berlangsung dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Abū Ishāq Ibrāhīm al-Syāthibī menulis, “Bahwa dari setiap teks-teks syariat yang ẓāhir, ‘āmm, mutlaq, muqayyad, dan juz’iyyāt (partikular) yang secara khusus berbicara mengenai halihwal maupun kejadian-kejadian tertentu, di setiap bab fikih dan setiap subbabnya, dapat diambil simpulan bahwa pensyariatan berporos pada pemeliharaan tiga kemaslahatan yang menjadi prinsip-prinsip fundamental dari seluruh kemaslahatan manusia.

Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dharūriyyāt adalah maqāshid yang paling penting, disusul oleh hājiyāt, dan selanjutnya tahsīniyāt. Oleh karena itu, hukum-hukum syariat yang bertujuan memelihara dharūriyyāt merupakan aturan yang paling penting dan prioritas utama, kemudian hukum-hukum yang ditetapkan untuk menyempurnakan hājiyāt, dan yang terakhir hukum-hukum yang ditetapkan untuk tahsīniyāt. Hukum-hukum yang disyariatkan untuk memelihara tahsīniyāt dinilai sebagai penyempurna hukum-hukum yang disyariatkan untuk memelihara hājiyāt, sedangkan hukum-hukum yang disyariatkan untuk memelihara hājiyāt dinilai sebagai penyempurna hukum-hukum yang disyariatkan untuk memelihara dharūriyyāt.

Baca juga:  Zoroaster dan Monotheisme

Sekadar contoh, kita wajib menghindari penyakit menular yang berbahaya demi menjaga keselamatan nyawa meskipun harus mengganggu pelaksanaan salat berjamaah. Sebab, keselamatan jiwa bersifat dharūriyyāt, sementara salat berjamaah—bila enggan menyebutnya tahsīniyāt—merupakan penyempurna (hājiyāt) bagi dharūriyyāt, yaitu salat itu sendiri.

Memahami maqāshid al-syarī‘ah merupakan bagian terpenting yang dapat membantu seseorang mampu memahami teks-teks syariat dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk beberapa hukum yang tak dijelaskan oleh nashsh.

Dengan merujuk maqhāshid al-syariah, terjawablah persoalan tentang keabsahan menunaikan nilai zakat fitrah (alqīmah fi zakat al-fithr), bukan dalam bentuk beras atau makanan pokok lainnya, juga tentang keabsahan menunaikan zakat berupa barang-barang yang tidak disebutkan hadis. Sahabat Abu Said alKhudri  menuturkan, “إذ كان فينا رسول الله صلى الله عليه وسلم – زكاة الفطر عن كل صغير وكبير، حر أو مملوك، صاعا من طعام أو صاعا من أقط أو صاعا من شعير أو صاعا من تمر أو صاعا من زبيب/Pada masa Rasulullah  masih hidup, kami membayar zakat fitrah untuk setiap orang, baik anak kecil maupun dewasa, merdeka maupun budak, yaitu satu sha’ makanan berupa keju, atau gandum, atau kurma atau anggur kering.”

Ẓāhir hadis menjelaskan bahwa yang harus dikeluarkan dalam zakat fitrah hanya terbatas pada apa yang telah disebutkan, tidak boleh yang lain. Tetapi fukaha, melalui hadis, “أغنوهم عن هذا السؤال في هذا اليوم/Penuhilah kebutuhan-kebutuhan mereka (fakir-miskin) di hari ini”, menyimpulkan bahwa tujuan zakat adalah memenuhi kebutuhan fakir-miskin. Ulama Hanafiyah membolehkan pembayaran zakat dalam bentuk uang, bukan makanan seperti yang disebutkan hadis. Mayoritas fukaha membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk setiap makanan pokok apapun. Sebab, tujuan zakat adalah yang penting mencukupi kebutuhan fakirmiskin, baik dengan beberapa makanan pokok yang disebutkan hadis, atau makanan pokok lain, atau bahkan dengan mata uang yang senilai makanan pokok.

Undang-undang lalu lintas termasuk hukum positif yang tidak memiliki acuan dalil syar‘iy, dalam arti pihak yang merumuskannya tidak mempertimbangkan hukum dan dalil syariat. Tetapi saya memastikan undang-undang ini sesuai dengan maqāshid alsyarī‘ah, karena muaranya adalah menjaga keselamatan jiwa dan harta. Dengan nalar demikian, tentu undang-undang ini bersifar syar‘iy yang wajib dipatuhi oleh umat muslimin.

Mempertimbangkan maqāshid asy-syarī‘ah berarti memperluas ruang ijtihad sekaligus membuka peluang menemukan solusi dari persoalan yang tidak bisa diurai melalui pendekatan analogi (al-Qiyās). Sebagai contoh, hukum tidak berpuasa Ramadan bagi para pekerja berat misalnya kuli tani. Hukum kasus ini tidak dijelaskan dalam Alquran dan hadis. Juga tidak bisa disamakan hukumnya dengan musafir karena alasan kebolehan tidak berpuasa terkait dengan perjalanan dalam jarak tempuh tertentu, sesuatu yang tidak ditemukan pada kuli tani. Namun, tampaknya ada jalan untuk memperbolehkan itu, yaitu demi menghindari kesulitan (masyaqqat). Kesulitan mengundang kemudahan. Tak ayal, menghindari kesulitan adalah salah satu dari tujuan syariat.

Baca juga:  Kiai Kita, Islam, dan Postmo

Termaktub dalam I‘ānat al-Thālibīn, “Fatwa tersebut secara implisit menyangkut kebolehan tidak berpuasa bagi kuli tani dan pekerja kasar lainnya, meskipun mereka tetap wajib berniat puasa di malam hari karena boleh jadi tidak mengalami kelelahan serius saat bekerja, sehingga tetap wajib berpuasa.

Maqāshid asy-syarī‘ah merupakan kaidah universal yang membawahi kasus-kasus partikular. Adalah tugas mujtahid saat menggali hukum-hukum partikular untuk mengaitkannya pada kaidah-kaidah universal, sembari mengibas debu kontradiksi antara keduanya. Umpama terjadi kontradiksi keduanya, yang universal harus diprioritaskan. Imam Al-Syāthibiy berkata, “Apabila ada pertentangan antara universal dengan pertikular, maka kaidah universal harus diprioritaskan karena yang partikular mengandung kemaslahatan yang terbatas, sementara yang universal menyimpan kemaslahatan yang lebih luas. Tatanan semesta tidak akan hancur oleh pengabaian kemaslahatan partikular. Sebaliknya, memprioritaskan kemaslahatan partikular berarti meruntuhkan tatanan semesta.”

Termasuk kaidah universal yang telah diakui dan dikukuhkan adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hampir dua ratus ayat serempak menegaskan hal ini.

Di antaranya, firman Allah, “لا إكراه في الدين/Tidak paksaan

untuk (memasuki) agama (Islam)”, “أفأنت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين/

Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?”, “فمن شآء فليؤمن ومن شآء فليكفر/ maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Tidak ada dalil partikular yang berkontradiksi dengan kaidah universal ini. Seandainya terjadi pertentangan, yang universal wajib didahulukan dan patut kiranya mempertanyakan kebenaran yang partikular. Umpama diasumsikan benar, penting untuk mencari pemahaman baru sehingga tidak bertentangan dengan yang universal.

Pada pembahasan sebelumnya, saya mengutip satu hadis riwayat Al-Bukhari yang lahirnya bertentangan dengan kaidah universal di atas. Yaitu hadis “من بدل دينه فاقتلوه/barangsiapa pindah agama, bunuhlah ia.” Kontradiksi ini sirna dengan pendekatan pembatasan luas jangkauan lafal mutlaq dengan lafal muqayyad. Hadis ini dibatasi hadis riwayat Muslim, “لا يحل دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله إلا بإحدى ثلاث: الثيب الزاني والنفس بالنفس والتارك لدينه المفارق

للجماعة/tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah  dan bahwa aku adalah rasulullah kecuali karena tiga perkara: pezina muhshan, pembunuh, dan meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri jamaah.” Dengan demikian, hukuman mati atas orang murtad tidak boleh dieksekusi kecuali dalam situasi dan kondisi tertentu, yaitu tindakan separatis dan subversi.

Bersambung…

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top