Abad Badruzaman
Penulis Kolom

Wakil Rektor III UIN SATU Tulungagung. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Penulis Buku-buku Keislaman.

Relasi Islam-Kristen Pada Zaman Rasulullah dan Sahabat

Emjxgclxsaepw0d

Pandangan para pemeluk Islam terhadap pemeluk Kristen, dan sebaliknya, sedikit-banyak dipengaruhi oleh endapan sejarah masa lalu, selain oleh narasi teologis dalam Kitab Suci masing-masing tentang pemeluk agama lain.

Kita mulai dari yang kedua: narasi teologis. Tidak ditutup-tutupi, dalam Quran terdapat ayat berisi kritik-teologis terhadap sistem ketuhanan Kristen. Bagi banyak (mungkin kebanyakannya) orang Islam, semua orang Kristen adalah sesat-kafir sejak dalam akidah-ketuhanannya. Maka apa pun yang datang dari mereka akan mengikuti pangkal akidah-ketuhanan tersebut: sia-sia belaka! Pengharaman ucapan Selamat Natal, saya kira tidak keluar dari frame teologis ini.

Tentu saja ayat Quran terbuka terhadap tafsir. Salah satu buku terbaik yang mengupas ayat-ayat polemik dalam Quran adalah “Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain”, karya Prof Mun’im Sirry. Direkomendasikan juga buku “Muhammad dan Umat Beriman; Asal-usul Islam”, karya Fred M. Donner. Dua buku ini cukup membantu “mendudukkan perkara” seputar kritik Quran tentang Ketuhanan Yesus dan Doktrin Trinitas.

Perhatian kita hendaknya tidak terfokus pada ayat-ayat kritik saja, sebab ada juga ayat-ayat inklusif-pluralis. Dengan keyakinan bahwa ayat kritis-polemis dan ayat inklusif-pluralis tidak berhubungan secara nasikh-mansukh, masing-masing dapat didudukkan pada setting dan konteksnya; siapa, di mana, tentang apa, dalam hal apa.

Baca juga:  Kisah Nabi Sam’un: Inspirator Munculnya Film Samson

Selain ayat, sirah Nabi harus juga diperhatikan. Bagaimana beliau memperlakukan utusan Nasrani dari Bani Najran, misalnya. Pada tahun 9 Hijrah tanggal 20 Dzul Hijjah, 60 utusan Nasrani Bani Najran datang ke Madinah. Mereka berkumpul di Masjid Nabawi dan berdialog dengan Nabi tentang banyak hal menyangkut masalah akidah. Dialog berlangsung kondusif, saling menghormati satu-sama-lain.Puncaknya, saat datang waktu “shalat” para utusan Bani Najran, Nabi menyilahkan mereka “shalat” di Masjid Nabawi.

Dari Madinah di masa Nabi, bergeser ke Yerussalem di era Khalifah Umar ra. kala beliau membebaskan Bait Al-Muqaddas. Tepatnya tahun 16 H/637 M. Saat salat zuhur tiba, Uskup setempat menyilahkan Khalifah Umar ra. shalat di gereja. Beliau menolak secara halus. Alasannya, jika beliau shalat di situ, dikuatirkan di belakang hari ada orang Islam menduduki gereja itu lalu menjadikannya masjid dengan dalih Umar pernah shalat di dalamnya.

Di sini terlihat keluasan pandangan Khalifah Umar ra. Ketika disilahkan shalat zuhur di gereja, beliau tidak menjawab, “Saya tidak mau shalat di sini karena haram bagi seorang Muslim shalat di gereja.” Melainkan memberi jawaban visioner berbasis kesadaran bahwa dirinya seorang pemimpin tertinggi umat Islam saat itu. Shalat di gereja akan dimaknai bukan melulu amal-ritual-personal, tetapi juga dapat berefek politis yang signifikan dalam menentukan pola relasi Islam-Kristen ke depannya. Shalatnya Khalifah Umar di gereja dapat menjadi landasan politis bagi orang Islam untuk menduduki gereja lalu menyulapnya jadi masjid.

Baca juga:  Agama Kelas Menengah Kota

Yerussalem memang sudah dibebaskan oleh Khalifah Umar. Tapi beliau tidak berniat mengislamkan penduduk setempat yang Kristen. Gereja dibiarkan tetap gereja sebagai rumah ibadah umat Kristiani. Gereja dihargai eksistensinya sebagai rumah ibadah, dilindungi keberadaannya sebagai milik umat Kristiani; tidak boleh “dicaplok” oleh umat Islam dengan dalih mereka telah menaklukkan kotanya.

Tapi hubungan Islam-Kristen tidak hanya mencatat Kristen Bani Najran di zaman Nabi dan Kristen Yerussalem di era Umar. Sejarah mereka juga mencatat Perang Salib, Reconquista di Semenanjung Iberia, dan (dalam skala tertentu) kolonialisme. Di Tanah Air bahkan ada pula isu kristenisasi. Inilah yang saya sebut di awal sebagai endapan sejarah yang bercokol dalam benak banyak orang Islam dalam memandang orang Kristen.

“Debat Kusir” tahunan seputar hukum mengucapkan Selamat Natal, saya pikir, tidak jauh dari dua hal pembentuk sikap dan pemahaman mereka yang terlibat dalam debat tersebut. Yakni narasi teologis dan endapan sejarah.

Natal sudah lewat. Kini saatnya terompet Tahun Baru yang naik panggung. Yang kemarin bilang haram mengucapkan Selamat Natal hampir bisa dipastikan akan “mengutuk” terompet sebagai budaya Yahudi. (RM)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top