Pertanyaan ini muncul dalam salah satu forum diskusi yang diikuti oleh penulis dan diangkat sebagai soal oleh beliau KH. Afifudin Muhadjir, salah satu Pengasuh Ma’had Ali, Situbondo. Kebetulan, pertanyaan yang sama juga muncul dari sejumlah wali santri yang mengirim pesan ke penulis. Intinya, menurut fikih, kapan santri bisa kembali ke pondok?
Memang selama masa merebaknya virus Covid-19 ini, banyak pondok pesantren yang memilih meliburkan aktivitas belajar mengajarnya termasuk di antaranya adalah di tempat penulis sendiri.
Menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba mengurai dengan berangkat dari konsep pemikiran tentang apa itu pandemi, dan hubungannya dengan wabah (plaque). Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh fakultas kedokteran Universitas Indonesia (UI), pandemi adalah suatu kondisi yang dicirikan oleh keberadaan penyakit baru yang belum dikenali dan menjangkiti banyak negara dalam waktu yang bersamaan. Kemudian, penyakit tersebut memiliki jejak epidemologi (persebaran), berupa jumlah penderita yang cukup besar dari setiap negara. Nah, Covid-19 sudah 2 bulan lebih ditetapkan sebagai pandemi. Apakah konsep ini sama dengan wabah?
Merujuk pada sebuah laporan yang berasal dari WHO dengan judul route of transmission, WHO menyampaikan bahwa media media penyebaran Covid-19 adalah lewat tetesan air liur (droplets) atau muntah (fomites), dan melalui kontak dekat tanpa adanya pelindung. Transmisi virus corona atau Covid-19, terjadi antara yang telah terinfeksi dengan orang tanpa patogen penyakit.
Dengan kata lain, berdasarkan laporan ini, ada ruang untuk mensiasati agar tidak terjadi persinggungan dan transmisi penularan penyakit. Alhasil, perlakuan ini otomatis membedakannya dengan istilah wabah. Karena wabah sering diartikan sebagai fasad al-hawa’ (rusaknya kualitas udara), sehingga semua orang berpotensi tertular penyakit, baik dengan alat perlindungan atau tidak.
Apapun perbedaan dan persamaan antara konsep pandemi dan wabah, intinya Covid-19 telah ditetapkan sebagai wabah berbahaya sehingga meniscayakan prosedur penanganannya dengan mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Namun, kita juga tidak boleh meniscayakan ruang untuk mensiasatinya. Apalagi bila dikaitkan dengan pesantren. Betapapun sulitnya pencegahan penanganan Covid-19, tidak bisa menggugurkan kewajiban belajar dan mengajar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
طلبُ العلم فريضةٌ على كل مسلمٍ
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam.” (HR. Ibn Majah, Ibn Abdu al-Barr dan al-Thabrany)
Di dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ألا إن الدنيا ملعونةٌ، ملعونٌ ما فيها، إلا ذكرُ الله، وما والاه، وعالمٌ أو متعلمٌ
“Ingatlah! Sesungguhnya dunia ini dilaknati, dilaknat segala apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah, sesuatu yang mengiringinya, orang alim atau orang yang belajar.” (HR. Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Di dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan termaktub dalam Kitab Shahihnya dengan sanad dari Abu Musa al-Asy’ari radliyallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مثَلُ ما بعثني الله به مِن الهدى والعلم، كمثَل الغيث الكثير أصاب أرضًا، فكان منها نقيةٌ قبِلَتِ الماء، فأنبتت الكلأ والعُشب الكثير، وكانت منها أجادبُ أمسكت الماء، فنفع اللهُ بها الناس، فشربوا وسقَوْا وزرعوا، وأصابت منها طائفةً أخرى، إنما هي قيعانٌ، لا تُمسك ماءً، ولا تُنبت كلأً، فذلك مثَل مَن فقُه في دِين الله، ونفعه ما بعثني اللهُ به، فعلِم وعلَّم، ومثَل مَن لم يرفع بذلك رأسًا، ولم يقبل هدى الله الذي أُرسلتُ به
“Perumpamaan diutusnya diriku oleh Allah SWT terkait dengan petunjuk dan ilmu adalah menyerupai curahan embun terhadap bumi. Jika bumi itu gersang, maka air akan diserapnya selanjutnya tumbuhlah padang rumput dan tumbuhan-tumbuhan lain yang banyak. Sebagian di antaranya ada yang menyerap air dan menahannya. Lalu Allah menganugerahkan manfaat dengannya terhadap manusia, mereka meminumnya, dan menyirami tanamannya, serta bercocok tanam. Sebagian embun tercurah di wilayah lain, suatu tanah qay’an, tidak mampu menahan air, dan tidak mampu menumbuhkan rumput. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah. Ia memberi manfaat dengan apa yang aku diutus dengannya. Mereka mengetahui dan mengajarkan. Sementara perumpamaan lainnya, adalah perumpamaan orang yang tidak mahu mengangkat kepalanya dengan agama Allah, dan tidak mahu menerima petunjuk yang aku diutus karenanya.” (HR. Bukhari)
Tiga hadis di atas, cukup sebagai dasar bahwa belajar mengajar adalah sesuatu yang sifatnya wajib tanpa kecuali, melainkan oleh perkara wajib lainnya. Oleh karena itu, penunaiannya membutuhkan curahan segenap kemampuan, sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Ketika aku perintahkan kalian dengan suatu perkara, maka laksanakan semampu kalian.”
الميسور لا يسقط بالمعسور قال ابن السبكي : وهي من أشهر القواعد المستنبطة من قوله صلى الله عليه وسلم إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم
“Kemudahan tidak bisa gugur sebab kesulitan. Ibnu al-Subki berkata: “Ini adalah kaidah yang paling masyhur yang diperoleh dari hasil istinbath terhadap sabda Nabi shalllallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perkara, maka tunaikanlah semampu kalian.” (Al-Asybah wa al-Nadhair li al-Suyuthy, Juz 1, halaman 159).
Lantas, bagaimana menyikapi wabah Pandemi Covid-19 yang hingga detik ini, belum jelas mengenai kapan berakhirnya?
Berbekal laporan dari WHO yang sudah disinggung sebelumnya bahwa Covid-19 hanya bisa menular lewat kontak fisik, droplet dan muntahan, menandakan ada peluang yang bisa dimasuki. Peluang itu sudah pasti memerlukan langkah serius dalam penanganannya, karena berhubungan dengan protokol kesehatan. Mematuhi protokol kesehatan ini hukumnya juga wajib, akan tetapi wajibnya bersifat bi qadri al-imkan (menurut kadar kemungkinan untuk bisanya dilaksanakan).
وقد تكون المشقة الداخلة على المكلف من خارج لا بسببه، ولا بسبب دخوله في عمل تنشأ عنه فههنا ليس للشارع قصد في بقاء ذلك الألم وتلك المشقة والصبر عليها، كما أنه ليس له قصد في التسبب في إدخالها على النفس، غير أن المؤذيات والمؤلمات خلقها الله ـ تعالى ـ ابتلاء للعباد وتمحيصاً، وسلطها عليهم كيف شاء ولما شــاء ف(لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ) وفهـــم من مجموع الشريعة الإذن في دفعها على الإطلاق، رفعاً للمشقة اللاحقة، وحفظاً على الحظوظ التي أذن لهم فيها
“Kadang-kadang, kesulitan yang menimpa orang mukallaf adalah berasal dari unsur luar dan tidak berasal dari diri sendiri, atau bahkan tidak disebabkan karena ia melaksanakan suatu amal sehingga kemudian lahir kesuitan. Dalam konteks seperti ini, Allah Swt sama sekali tidak berkehendak untuk membiarkan agar mukallaf tetap bertahan dalam kondisi penderitaan semacam, atau tetap berada dalam kesulitan sehingga memaksa bersabar di atasnya, sebagaimana Ia juga tidak berkehendak menjadi sebab masuknya kesulitan pada diri mukallaf. Melainkan, Ia sebenarnya berkehendak menjadikan sakit dan derita itu sebagai cobaan bagi hamba dan sekaigus ujian baginya. Allah menimpakan kesulitan itu kepada siapa saja dan dalam waktu kapan saja. Oleh karena itu, maka “jangan bertanya terhadap apa yang telah Allah lakukan, melainkan merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban”. Dan sebagaimana dipahami dalam teks-teks syariah, kebolehan melakukan upaya mencegah hadirnya kesulitan secara mutlak, menghindar dari kesulitan yang tengah dihadapi, dan sekaligus menjaga batas-batas ketentuan yang diidzinkannya.” (Al-Muwafaqat li al-Syathibi).
Menurut apa yang disampaikan oleh al-Syathibi ini, kesulitan melaksanakan pelajaran di pesantren menghendaki upaya mencari solusinya dengan hal yang dibenarkan oleh syara’. Jika demikian halnya, maka upaya menjaga batas-batas yang dibenarkan oleh syara’ ini merupakan yang masyru’. Jika cara itu harus dilakukan dengan awal penyediaan protokol kesehatan, maka penyediaan itu hukumnya menjadi wajib.
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Sesuatu yang menjadi wasilah sempurnanya perkara wajib, maka hukumnya menjadi wajib menyediakan.” (Al-Asybah wa al-Nadhair li al-Suyuthy)
Namun, kapan dan siapa yang melaksanakannya? Itulah permasalahan yang paling krusial saat ini. Jika untuk desa yang dihuni 1000 KK dan paling banter terdiri dari 10 ribu jumlah penduduk saja, disediakan dana desa sebesar 1 Milyar yang dialokasikan untuk membantu pencegahan wabah Covid-19, maka apakah pesantren dengan komunitas santri lebih dari 10 ribu dan tinggal di satu kompleks tidak lebih berhak terhadap subsidi semacam?
Tapi, bagaimanapun juga, bagi santri tertanam jiwa tidak pernah menuntut kepada siapa pun, apalagi kepada pemerintah untuk mengalokasikannya. Santri sejak jaman dulu sudah terbiasa hidup mandiri. Jadi, kalau ditanya kapan santri bisa kembali ke pondok? Masa mau dijawab: “Nunggu bantuan pemerintah”? Kan nggak etis bagi santri dan pesantren. Wallahu a’lam bi al-shawab.