Iip D Yahya
Penulis Kolom

Peminat budaya Sunda dan penulis sejarah. Bukunya yang telah terbit di antaranya "Biografi Oto Iskandar Di Nata: The Untold Story" dan "Ajengan Cipasung: Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat".

Inilah Kisah Gus Dur Kecelakaan Bersama Kiai Wahid

Gus Dur si Anak Yatim (1)

Sabtu, 18 April 1953 adalah hari penting dalam hidup Gus Dur. Hari itu ayahnya memenuhi janjinya untuk mengajak Dur jalan-jalan ke Sumedang. Hadiah sebagai juara menulis memang menyenangkan. Dur bangga bisa menjadi penulis. Ia dapat hadiah uang dan jalan-jalan ke luar kota. “Jadi penulis memang keren,” kata Dur dalam hati.

Pak Wahid bersiap untuk berangkat memenuhi undangan NU Cabang ke Sumedang. Dur merasa senang bisa ikut ayahnya. Mereka menaiki sedan Chevrolet Cabriolet berwarna putih.

“Dur, kamu duduk di depan bersama Pak Sopir,” kata Pak Wahid. “Bapak bersama Pak Argo di belakang.” Pak Argo Sutjipto adalah sekretaris PBNU dan staf tata usaha Majalah Gema Muslimin.

Sekitar jam 13.00 mobil yang mereka tumpangi memasuki daerah Cimindi, antara Cimahi dan Bandung. Jalanan licin akibat hujan sementara mobil melaju kencang. Tiba-tiba Chevrolet itu selip dan melaju dengan zig-zag. Sopir tak bisa mengendalikan kemudi lagi. Sedan itu kemudian membentur sebuah truk yang datang dari arah depan. Truk itu segera berhenti begitu bertabrakan.

Akibat benturan itu, Pak Wahid dan Pak Argo terlempar keluar. Tepat di bawah truk. Keduanya luka parah. Pak Wahid luka di bagian kening, mata, pipi, dan leher. Sedangkan Dur dan sopir selamat. Sedan yang mereka tumpangi pun hanya rusak spatbord-nya.
Lokasi kejadian itu tak jauh dari Pesantren Cibeureum Kidul Cimahi.

Baca juga:  Ditemukan Foto Lama Gus Dur Menghadap Presiden Soeharto

Kiai Wahid dan Pak Argo segera dibawa ke komplek pesantren untuk mendapat perawatan sekedarnya. Kiai Izuddin, salah seorang pengasuh pesantren secepatnya menghubungi tokoh-tokoh NU di kota Bandung dan akhirnya tersambung dengan Pak Achsin. Kiai A. A. Achsin adalah pengurus NU Cabang Bandung, salah seorang sahabat dekat Pak Wahid.

Seorang santri mencoba menggendong Dur tapi ditolaknya. Ia hanya bersedia dituntun sambal terisak-isak. Tiba-tiba ada perasaan aneh menyelimuti perasaan Dur. Ia merasa nyaman sekali saat memasuki lingkungan pesantren itu.

Ia menyeka air matanya dan seolah melihat sejumlah kiai sepuh sedang berdoa. Gus Dur yang sudah mulai duduk tak jauh dari posisi ayahnya dibaringkan, menundukkan kepalanya, tak berani menatap para kiai yang sedang berdoa itu.

“Ini pesantren tertua di wilayah Bandung, Gus,” ujar santri yang mendampinginya. “Pesantren ini didirikan oleh Mbah Kiai Mukodar pada 1620 M. Mama Abdul Jalal, Mama Hasan Ijra’i, Mama Faqih, Mama Ma’shum, mereka menjadi penerus Mbah Mukodar. Mereka semua hadir ikut mendoakan ayahanda.”

Gus Dur mengangkat kepalanya. Ia mencari-cari santri yang barusan bercerita kepadanya, tetapi tak ada seorang pun di sampingnya. Lalu Kiai Izuddin meraih tangan Dur dan berdoa. Dua kiai lain tampak mendampinginya, Kiai Zainuddin dan Kiai Faqih. Mereka bertiga adalah para pengasuh pesantren Cibeureum Kidul saat itu.

Baca juga:  Majalah Arena dan Pesantren

Menjelang maghrib Pak Achsin pun datang membawa ambulance, Pak Wahid dan Pak Argo segera dibawa ke Rumah Sakit Boromeus. Dur ikut menunggu di rumah sakit, ditemani ibunya yang datang menyusul. Namun, keduanya tak tertolong lagi. Hari Minggu, 19 April 1953, pukul 10.30, Pak Wahid menghembuskan nafas terakhirnya. Sementara Pak Argo menyusul beberapa jam kemudian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top