Sedang Membaca
Mutu Kitab Kuning Terbitan Lokal Terjaga 
Muhammad Idris
Penulis Kolom

Peminat literatur Islam klasik dan studi pesantren

Mutu Kitab Kuning Terbitan Lokal Terjaga 

Mutu Kitab Kuning Terbitan Lokal Terjaga  1

Tulisan berjudul Sarung Samarinda dan Kitab Beirut oleh Iip Dzulkifli Yahya beberapa hari lalu mengulas ihwal santri pesantren yang memiliki kebanggaan memiliki kitab terbitan Beirut (salah satu kota di Timur Tengah yang kitab-kitabnya banyak diimport ke Indonesia. Saking terkenalnya, di Indonesia Beirut seperti nama penerbit). Sebuah kitab yang diimpor dari  negara Libanon ini menjadi penanda “kelas sosial” yang lebih tinggi, begitu kata Iip dalam penjelasannya. 

Sebagai seorang santri (dalam tulisan ini, istilah santri bermakna murid di pesantren) yang cukup lama bergelut di dunia literatur klasik dengan beragam penerbit kitab, saya rasa perlu mengungkapkan sisi lain kelemahan kitab terbitan Beirut yang belum diulas oleh Iip dalam tulisannya tersebut.

Saya memiliki pengalaman khusus dalam menemukan sisi kelemahan kitab terbitan Beirut yang di antaranya adalah ketepatan dalam menyuguhkan teks kitab. Beberapa kali ketika mengaji dengan menggunakan kitab terbitan Beirut (baik Darul Fikr maupun Darul Kutub al-Ilmiyyah), saya sering kehilangan teks saat mendengarkan bacaan dari Ustadz saya. Hal demikian tidak hanya terjadi pada saya sendiri, tapi juga dirasakan oleh sahabat-sahabat saya yang juga menggunakan kitab impor ini.

Sementara sebagian santri yang menggunakan kitab terbitan lokal seperti Toha Putra Semarang maupun al-Hidayah Surabaya, tidak merasakan hal yang sama. Sebab, waktu itu, guru saya juga menggunakan kitab terbitan lokal. Di berbagai kesempatan mengaji saya juga kerap mendapatkan saran dari guru saya untuk memakai kitab-kitab terbitan lokal ketimbang terbitan luar. Di samping harganya relatif lebih murah, isinya juga –insya Allah- sesuai.

Baca juga:  Sastra Menjamah Perubahan Iklim

Pertanyaannya, kitab terbitan mana yang tepat? Apakah kitab terbitan lokal atau terbitan Beirut?

Kitab terbitan lokal menulis wa in ankaruhu. Ini yang lebih tepat

Di dalam kitab terbitan Beirut, tertulis wa idza ankaruhu

Abuya Muhtadi Mengoreksi Kitab Terbitan Beirut dan Kairo

Dalam sebuah buku hasil transkip pengajian Abuya Muhtadi (ulama dari Cidahu Banten) yang belum sempat diterbitkan, dijelaskan bahwa Abuya Muhtadi beberapa kali melakukan kritik dan mengoreksi redaksi kitab terbitan Beirut dan Kairo. Bahkan, kritikan Abuya terkait akan hal ini cukup tajam. Beliau menuturkan:

ما في نسخ الكتب إلا وفيها نقص أو زيادة يفسد السياق فلما كان الأمر كذلك فعلماء بيروت ومصر لا تصح إماما في بلدتنا

Tidak ada redaksi kitab-kitab (cetakan sekarang) kecuali ada yang kurang dan atau ada tambahan yang merusak tatanan kalimat. Bila demikian halnya maka ulama Beirut dan  Mesir (dan Arab) tidak sah memimpin (menjadi imam) di negara kita.

Terlepas dari adanya isu mengenai adanya “tahrif” atau penyelewengan yang dilakukan oleh oknum penerbit atas teks-teks kitab kuning yang isinya mengkritik ajaran atau pemahaman tertentu, Abuya sangat mewanti-wanti agar kita melakukan pembacaan redaksi dalam teks kitab kuning dengan hati-hati dan kritis.

Lembaga Tashih Kitab Kuning

Saya menemukan sejumlah kitab terbitan lokal yang di dalam akhir isi kitabnya menampilkan lembaga tashih kitab yang dicetak. Salah satunya adalah kitab syarah (komentar) kitab Jurumiyyah karya Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan terbitan At-Tamimi (sebuah toko kitab di kota Cirebon) yang melakukan verifikasi isi kitab yang akan diterbitkan. Di sana tertulis:

Baca juga:  Penerbitan Era Kolonial: dari Buku Fasolatan hingga Injil Pegon

يقول الفقير اليه تعالى رأيس لجنة التصحيح ……….. بشربون (جاوا)….(وبعد) فقد تم بعون تعالى طبع شرح العلامة السيد احمد  بن زيني دحلان على متن الآجرومية للامام الصنهاجي

Telah berkata al-faqir ketua lembaga tashih di Cirebon (Jawa)….atas pertolongan Allah SWT. telah selesai penerbitan kitab Syarah Jurumiyyah karya Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan.

Selain kitab terbitan ini, khususnya kitab yang dicetak dalam bentuk korasan (lembaran tanpa jilidan), saya juga sering menemukan redaksi demikian di akhir isi kitab terbitan lokal. Sesuatu yang jarang –untuk tidak menemukan sama sekali- dalam terbitan impor. Oleh karena itu, kritik Abuya Muhtadi terhadap para muhaqqiq kitab terbitan Beirut, Kairo, dan negeri Arab lainnya, perlu menjadi pertimbangan.

Sekadar saran untuk penerbit-penerbit lokal, di samping memperbanyak dan memperluas penerbitan kitab kuning juga harus melakukan banyak inovasi dan bentuk yang “fashionable” dalam mencetak kitab kuning. Ini penting agar bisa menarik perhatian para santri. Agar santri, dalam bahasa Iip, naik kelas.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
5
Ingin Tahu
2
Senang
3
Terhibur
6
Terinspirasi
5
Terkejut
3
Lihat Komentar (1)
  • Kitab-kitab kurasan, kalau diteliti pun akhirnya menuju muaranya ke penerbit2 lawas dari Mesir. Lembaga tashih itu pun tentunya mengacu pd lembaga tashih milik sang penerbit mesir.
    Penerbit2 Indonesia hanyalah mengcopy kembali hasil cetakan penerbit lawas mesir, atau minimal punya hubungan kerjasama dengan mereka, seperti penerbit sa’ad bin nabhan surabaya.
    Lha kalo komentar untuk penerbit2 baru di mesir atau beirut, tahu sendiri lah kualitasnya.

Komentari

Scroll To Top