Imaginary Homelands terbit pertama kali tahun 1992. Sekitar tiga dasawarsa kemudian baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tanah Air Imajiner (2019), ketika tahun ini juga Salman Rushdie menerbitkan novel keempat belas, Quichotte. Maklum, namanya dibenci oleh banyak orang Islam. Adalah Gus Dur yang santai saja mendengar nama itu.
Novel pelesetan Don Quixote de la Manca karya Miguel de Cervantes itu menandai 20 tahun fase Amerika Rushdie sejak menerbitkan The Ground Beneath Her Feet (1999). Tema-tema postkolonial mulai ditinggalkan. Dia tidak lagi mengais-ngais inspirasi pada reruntuhan India, Pakistan, Islam, serta segala yang semakin menjauh darinya.
Kini Rushdie bertolak pada tema-tema seputar kehidupan “posthuman” Amerika dengan segala permasalahannya.
Novel-novel fase Inggris, misal Midnight’s Children dan Shame, bisa dikatakan sebagai antidot dari kemandekan banyak fiksi Inggris di tahun 1970-an dan awal 80-an. Rushdie menyerang sejarah, filsafat dan politik. Tema-tema seputar hibriditas, interkoneksi dan konvergensi budaya dengan karakter-karakter yang absurd, histeris dan unik.
Ia membawa Don Quixote ke Amerika Serikat masa kini saat kehidupan telah menjadi murung (quixotic). Setiap hal berjalan di luar nalar intelektualitas. Apa yang tidak realistis, bahkan absurd, terkadang lebih dipercaya ketimbang premis-premis realitas. Karakter, narasi dan sejarah yang melingkupi suatu kehidupan tidak lebih penting dari sebuah foto yang diunggah, dibagikan, lantas hilang dalam sekejap.
Kita tergolong sangat telat membaca Rushdie. Pada 2009 novelnya Midnight’s Children (1981) baru diterjemahkan oleh Penerbit Serambi, lalu berturut-turut Harun dan Samudra Dongeng (2011), Luka dan Api Kehidupan (2011). The Satanic Verses (1989), novelnya yang paling kontroversial, justru belum pernah diterjemahkan penerbit mayor.
Rushide bisa dikatakan salah satu penulis paling kontroversial. Dimulai dari tahun 1989, ketika The Satanic Verses terbit dan memicu kemarahan global. Tak terhitung lagi umat Muslim menganggap Rushdie melakukan penistaan agama. Ayatollah Khomeini mengeluarkan fatwa, bahwa sastrawan Inggris itu halal untuk dibunuh. Demonstrasi menolak keberadaan buku tersebut meluas ke berbagai negara.
Indonesia, dan banyak negara mayoritas muslim lainnya, melarang peredaran The Satanic Verses. Toko buku yang nekat menjualnya dilempari bom. Berkali-kali terjadi pembakaran buku, biblioklasme atau librisida. Buku atau media tulisannya dibakar, dihancurkan, dan dimusnahkan.
Pada 7 Maret 1989 Iran memutuskan hubungan diplomatik dengan Inggris karena melindungi Rushdie. Banyak orang yang terlibat mendukung dan memperbanyak gagasannya, menerjemahkan, tukang cetak, di berbagai belahan dunia, ikut dibunuh.
Seorang imam masjid, Abdullah Muhammad Al-Ahdal, tewas ditembak lantaran menolak fatwa mati Rushdie. Dua toko buku di Berkeley, California, meledak. Etore Capriorio, penerjemah ke bahasa Italia, ditikam di rumahnya di Milan oleh seorang berkebangsaan Iran. Penerjemah versi Jepang novel ini bahkan tewas ditusuk.
Demi keselamatannya, Rushdie terpaksa hidup dalam persembunyian, berpindah dari satu tempat ke tempat lain selama sembilan tahun. Ia menggunakan nama samaran Joseph Anton (yang dikombinasikannya dari nama dua penulis favoritnya: Joseph Conrad dan Anton Chekhov). Ia juga harus terpisah dari anaknya Zafar yang baru berusia sembilan tahun, serta kehilangan istri keduanya Marianne Wiggins lantaran tidak tahan dengan kehidupan “bawah tanah” yang mesti mereka jalani.
Pada dasarnya, belum ada kebebasan penuh untuk menerjemahkan Rushdie. Meski pada September 1998, pemerintah moderat Iran yang baru terpilih mengumumkan bahwa mereka tidak lagi berniat mengancam kehidupan Rushdie atau mendorong orang lain untuk melakukannya. Tetapi pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mencabut fatwa Ayatollah Khomeini yang meninggal pada 1989. Tahun 2012 media-media di Iran malah menambah imbalan bagi siapa saja yang bisa membunuhnya mejadi sekitar 53 miliar rupiah.
Meski begitu, Rushdie mulai berani keluar dari perlindungan Inggris. Ia meninggalkan London dan menetap di Amerika Serikat pada tahun 2000. Ia tetap menulis novel dan esai. Perlahan-lahan gejolak yang sering disebut “Rushdie Affair” menurun, buku-bukunya pun mulai diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Tanah Air Imajiner adalah bukunya yang kelima, sekaligus buku non-fiksi pertama yang diterjemahkan ke Indonesia. Rozi Kembara hanya menerjemah lima esai. Satu ia pilih dari 75 esai di dalam Imaginary Homelands dengan judul yang sama. Empat lainnya ia pilih dari 65 esai dalam Step Across This Line (2002). Hampir keseluruhan esai dalam dua buku itu ditulis Rushdie semasa menetap di Inggris.
Kelima esai yang diterjemahkan Rozi membahas tema seputar sastra dan hibriditas (“Pengaruh” dan “Tanah Air Imajiner”), ketegangan penulis dengan negara (“Tentang Menulis dan Kebangsaan”) serta patronase dalam kesusastraan (“Para Novelis Muda Terbaik Inggris” dan “Membela Novel”). Dengan kata lain, kita tidak akan menemukan pembelaan-pembelaan Rushdie terhadap fatwa matinya, juga tidak pada pandangan-pandangannya terhadap sosial-politik yang mengitari zaman itu. Apatah lagi membaca Rushdie secara utuh, perubahan tema selama mukim di Inggris dan Amerika, kesukaannya pada musik rock, atau kegemarannya pada film.
Tanah Air Imajiner tidak ubahnya buku panduan menulis yang bisa dibaca sekali duduk. Meski begitu, buku ini mengembalikan Rushdie pada posisinya sebagai penulis yang unik. Ia migran, seorang muslim di India, seorang India di Pakistan, dan seorang pria bekulit cokelat di Inggris. Tapi, masa lalu dan latar budaya menjadi kabur, tidak pernah menjadi benar-benar India, karena keterpisahan ruang dan waktu. Apa yang tertinggal di belakang hanyalah kenangan pribadi tentang sebuah negara, sementara tempat ia menetap adalah sesuatu yang betul-betul asing baginya. Antara India dan Inggris, antara kebudayaan Timur dan Barat, hanya menjadi retakan-retakan cermin yang tidak begitu jelas.
“Kita bukan dewa, kita adalah makhluk terluka dengan lensa retak yang hanya dapat melihat segala hal secara tidak utuh.” (hal. 30) Ketika menulis Midnight’s Children misalnya, Rushdie harus mengunjungi Agra untuk melihat detail latar novelnya. Semua kenangannya pada kota itu seketika menyeruak. Namun tentu saja, kenangan-kenangan tersebut hanya miliknya seorang, tanpa bisa mewakili India seutuhnya.
Justru pada ingatan yang sepotong-potong itulah sastra memenuhinya dengan fantasi. Sifatnya yang fragmentaris menjadikan hal-hal sepele menjadi simbol, dan hal-hal yang duniawi terkesan mendalam. “Ada yang hilang tetapi ada juga suatu hal baru yang didapatkan.” (hal. 39)
Lewat keterpecahan itu, Rushdie akhirnya bebas memilih tema serta cara tutur dari belahan bumi mana saja. Dan begitulah sastra harusnya berdiri, tanpa terikat oleh suatu tanah. Dalam esai “Pengaruh” ia menjelaskan bagaimana pengarang telah bebas dari batas-batas wilayah dan kebahasaan sekali ia memublikasikan karya. William Faulkner misalnya, kini jarang dibaca di Amerika. Namun di India, Afrika dan Amerika Latin, Faulkner adalah “Penulis Amerika yang sangat dipuja … ia dianggap sebagai sumber inspirasi, seorang pembimbing, sosok yang meratakan jalan.” (hal. 3-4)
Sastra bukan lagi tentang bagaimana kita mengikat diri pada batas-batas wilayah, ras, bangsa, dan agama. Justru pada penggalian yang dalam ke arah diri sendiri, membangkitkan beragam fantasi, menjadikan suatu karya besar dan mengakar dalam hati orang-orang di penjuru dunia.
Dan apa pun resikonya—bahkan fatwa mati dalam kasus Rushdie—dapat kita lihat sebagai suatu usaha untuk menggali dan mempertanyakan sesuatu yang terberi begitu saja. Sastra, haruslah bisa keluar dari ikatan-ikatan konvensional, meski sebuah pistol diarahkan ke kepala.
Judul: Tanah Air Imajiner
Penulis: Salman Rushdie
Penerjemah: Rozi Kembara
Penerbit: Circa
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Agustus 2019
Tebal: vi + 72 halaman