Mu'arif
Penulis Kolom

Pengkaji sejarah Muhammadiyah, kini menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Haji Fachrodin, Tokoh Muhammadiyah di Jalur Kiri

Tokoh utama di Muhammadiyah yang telah terinfiltrasi ideologi Marxisme adalah Haji Fachrodin, salah seorang murid ideologis K.H. Ahmad Dahlan. Bagaimana lika-liku beliau menjadi orang kiri? Lalu kemudian memilih kembali menjadi Muhammadiyah?

Nama kecil Haji Fachrodin, nasab, masa kecil, kegigihannya dalam belajar dan bekerja, kiprah dan perjuangannya dalam bidang media, telah saya ulas bulan puasa yang lain di laman ini, dalam judul Haji Fachrodin, Pahlawan Media dari Muhammadiyah.

Djazoeli, yang pada tahun 1905 menunaikan ibadah haji, adalah santri ideologis K.H. Ahmad Dahlan, lebih tertarik pada persoalan-persoalan sosial dan politik. Ia memilih terjun di medan pergerakan nasional bersama tokoh-tokoh revolusioner lainnya.

Selama menunaikan ibadah haji, ia juga belajar agama di Arab Saudi, kemudian berganti nama Fachrodin. Ia kembali ke tanah air (1907) ketika perkumpulan Rekso Roemekso (Solo) telah berubah menjadi organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI).

Tanpa ragu, Fachrodin mulai terlibat aktif di organisasi yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) ini sejak tahun 1911, meskipun perannya belum kentara pada waktu itu. Ketika K.H. Ahmad Dahlan berniat mendirikan sebuah organisasi—atas jasa dan dukungan Budi Oetomo (BO) cabang Yogyakarta—Fachrodin bersama tujuh tokoh muda Kauman lainnya mendaftarkan diri sebagai anggota BO.

Namun, keterlibatan Fachrodin di BO tidak terlalu intensif, justru ia lebih fokus mencurahkan tenaga, pikiran, dan hartanya untuk berjuang di SI. Lewat jalur SI, Fachrodin berhasil masuk ke sel-sel jaringan organisasi yang justru lebih revolusioner.

Ia pun bertemu dan berkawan dekat dengan tokoh-tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Haji Agoes Salim, Abdoel Moeis, Mas Marco Kartodikromo, Tjipto Mangoenkoesoemo, E.F.E. Douwes Dekker, R.M. Soerjopranoto, J.F.M. Sneevliet, Haji Misbach, Semaoen, Darsono, Alimin, dan lain-lain.

Takashi Shiraishi dalam bukunya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, memberi komentar terhadap sosok Fachrodin. “Ia lebih tertarik pada masalah-masalah sosial dan politik ketimbang Dahlan dan belajar jurnalistik dari Marco sebagai anggota IJB, serta menjadi penyumbang tetap untuk Doenia Bergerak,” tulisnya (2005: 152).

Tampaknya, BO tidak terlalu menarik bagi Fachrodin. Selain ruang lingkup yang sempit (priyayi Jawa), BO dikenal sebagai organisasi elite yang tidak merakyat. Ia pun lebih tertarik bergabung sebagai anggota Indische Journaist Bond (IJB)—organisasi jurnalis pribumi pertama di tanah air—yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo.

Pada tahun 1914, IJB menerbitkan orgaan Doenia-Bergerak—surat kabar kiri yang banyak melahirkan tokoh-tokoh pergerakan revolusioner. Fachrodin tercatat sebagai kontributor tetap surat kabar ini. M.J. Anies menyebut tokoh Mas Marco sebagai ‘guru jurnalistik’ bagi Fachrodin muda. Lebih dari sekedar hubungan antara guru dan murid, kedua tokoh ini juga tercatat telah berkolaborasi menyusun buku dengan judul Pan-Islamisme—isu penting yang menjadimainstream di tubuh SI pada waktu itu.

Baca juga:  Jejak Tokoh Muhammadiyah dan NU di Balik Kretek di Indonesia

Terlibat dalam penerbitan Doenia Bergerak, Fachrodin telah menempatkan posisi di “jalur kiri” peta perpolitikan nasional. Surat kabar ini adalah organ IJB. Adapun IJB berafiliasi dengan Indische Sociaal Democratisch Vereeniging (ISDV) pimpinan J.F.M. Sneevliet.

Pada tahun 1913, ketika baru masuk ke Hindia Belanda, Sneevliet, seorang anggota Sociaal Democratische Arbeider Partij (SDAP), bekerja di surat kabar Surabajaasch Handelsblad (Agung Dwi Hartanto, 2009).

Setahun pasca bekerja di surat kabar ini, Sneevliet mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV)—kemudian bertransformasi menjadi Indische Social Democratische Partij (ISDP) dan pada 23 Mei 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI)—yang berhaluan kiri (Sosialisme-Marxis). Organisasi sosialis kiri ini meluaskan jaringan membentuk cabang-cabang di beberapa kota. ISDV tumbuh dan berkembang di Semarang lewat jalur cabang SI setempat.

Adalah Semaoen, anggota Vereeniging van Spoor-en Tremweg Personeel (VSTP) dan salah satu ketua Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB), berhasil mempropagandakan ideologi Sosialisme-Marxis ke dalam tubuh SI. Kehadiran ideologi Sosialisme-Marxis berhasil mendapat dukungan dari beberapa pimpinan cabang SI Semarang (Soe Hok Gie, 1964).

Ketika agen-agen ISDV meluaskan jaringan ke Yogyakarta, Fachrodin yang pertama kali menerimanya. Bahkan, dia termasuk salah satu pengurus (bestuur) ISDV cabang Yogyakarta.

Menurut keterangan M.J. Anies (1930: 18), memang tidak disebutkan secara eksplisit sejak kapan keterlibatan Fachrodin dalam kepengurusan ISDV cabang Yogyakarta. Namun, lewat momentum kongres SI di Yogyakarta pada tahun 1914, dimungkinkan perkenalan Fachrodin dengan agen-agen ISDV melalui jalur SI cabang Semarang.

Agen-agen ISDV menyusup ke dalam tubuh SI lewat jaringan Semaoen, ketua SI cabang Semarang. Lewat momentum kongres SI di Yogyakarta (1914), dimungkinkan Fachrodin kenal dekat dengan tokoh-tokoh ISDV, seperti Semaoen, Darsono, Alimin, bahkan Sneevliet sendiri. M.J. Anies (1930: 18) menulis tentang hubungan Fachrodin dengan ISDV.

”Waktoe Indische Sociaal Democratische Vereeniging memboeat propaganda di Djokja, beliau termasoek pada jang moela2 menerima dan mendjadi Pengoeroes,” tulisnya.  

Hubungan kedekatan Fachrodin dengan tokoh-tokoh kiri revolusioner tak dapat dibantah lagi. Ketika Sneevliet dicekal oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1918, ia melakukan pembelaan terhadap pendiri ISDV ini.

Dalam artikel, ”Sneevliet” (Srie Diponegoro, 30 Desember 1918 no. 25), Fachrodin menulis: ”Sneevliet itoe seorang bangsa Belanda jang oemoemnja oleh bangsa kita kaoem pergerakan raajat dikatakan bangsa pembela kita kaoem rendah dan kaoem tertindas; pada masa sekarang Beliaoe terpaksa ditoendoeng dari tanah Djawa oleh pemrintah… Apabila pemrintah itoe memboeang Sneevliet diambil alasan lantaran akan ia membahjai bagi Hindia, lo kok aneh! Sedang barang beloem terang akan kejadian bahaja, pemrintah soedah djatoehkan tangan besinja…

Pada periode “zaman bergerak”—meminjam terminilogi Takashi Shiraishi—gerakan-gerakan sosial politik tumbuh sumbur di Yogyakarta. Selain kehadiran ISDV cabang Yogyakarta, gerakan revolusioner yang lahir di kota ini adalah Insulinde.

Dirintis oleh Tjipto Mangoenkoesoemo dan E.F.E. Douwes Dekker, organisasi ini merupakan metamorfosa Indische Partij (IP) yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. IP yang didirikan berbarengan dengan pendeklarasian Muhammadiyah di Yogyakarta (1912) memiliki sebuah organ surat kabar bernama De Express.

Tetapi tujuan organisasi ini yang secara terang-terangan mengundang perang terhadap rezim kolonial sehingga pemerintah kolonial membubarkannya dalam umur enam bulan. Spirit perlawanan yang telah diperkenalkan oleh IP kemudian melahirkan gerakan-gerakan revolusioner di tanah air, seperti kelahiran Insulinde dipimpin oleh Tjipto Mangoenkoesoemo.

Baca juga:  Sejarah Kiai Ahmad Dahlan dalam dunia Jurnalistik

Soewarsono dalam bukunya,Berbareng Bergerak: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Semaoen (2000: 42) mencatat nama Fachrodin sebagai salah satu anggota Insulinde yang terlibat dalam berbagai aksi-aksi perlawanan rakyat.

Terjun aktif di Insulinde, Fachrodin bertemu kawan senasib dan seperjuangan, Soerjopranoto, kakak kandung Soewardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Pertemuan dua tokoh revolusioner ini layaknya ’tumbu ketemu tutup.’ Fachrodin dikenal sebagai ’singa mimbar’ karena kepiawaiannnya dalam berorasi agitatif (Djarnawi Hadikusuma, 1977: 25), Soerjopranoto mendapat julukan ”De stakings Koning” (Raja Mogok) oleh surat kabar De Express—orgaan Insulinde.

Selain mengorganisasi aksi-aksi pemogokan, keduanya memberikan pendidikan dan pelatihan bagi kaum buruh di Yogyakarta. Soerjopranoto memiliki kekuatan massa riil kaum buruh yang terorganisasi dalam Personeel Fabriek Bond (PFB) dan Arbeidsleger (Tentara Buruh) Adi-Dharma.

Merujuk penelitian Abdurrachman Surjomihardjo (2008: 75), pada tanggal 31 Desember 1924, data statistik lembaga pendidikan di Yogyakarta terdapat 70 sekolah, dua di antaranya adalah sekolah Adi-Dharma yang dikelola Soerjopranoto. Nama Soerjopranoto mulai diperhitungkan dalam pentas pergerakan nasional ketika ia menjabat sebagai ketua SI cabang Yogyakarta. Fachrodin menjabat sebagai wakil ketua.

Duet kepemimpinan revolusioner di tubuh SI cabang Yogyakarta ini bukanlah pertemuan baru. Sebelum terlibat di SI, Fachrodin adalah anggota BO cabang Yogyakarta, begitu juga Soerjopranoto. Keduanya juga anggota Insulinde. Ketika memimpin SI cabang Yogyakarta, kedua tokoh ini memiliki karakter yang sama-sama revolusioner.

Pada periode “zaman bergerak”, ideologi Sosialisme-Marxis memang tampak seksi. Ideologi ini hadir pada kondisi zaman yang tepat, ketika sistem kapitalisme yang menumpang lewat politik kolonialisme mulai mengangkangi kehidupan kaum bumiputra. Saking seksinya, ideologi Sosialisme-Marxis hingga mampu memengaruhi gerakan politik di tubuh SI, terutama lewat gerbong SI cabang Semarang (Semaoen dkk).

Pada umumnya aktivis SI-Merah (Sosialisme-Marxis) adalah kader-kader ISDV yang militan di bawah arahan Seneevliet (Soewarsono, 2000: 3). Di jajaran Centraal Sarekat Islam (CSI) sendiri terbelah menjadi dua kubu, antara pendukung SI-Merah maupun SI-Putih. Tokroaminoto dan Abdoel Moeis kokoh di posisi SI-Putih, sementara di sisi lain SI cabang Semarang sangat kritis menyerang CSI.

Sosok Fachrodin yang dalam karir politik di SI mencapai puncaknya sebagai penningmeester (bendahara) CSI sebenarnya berada dalam posisi di antara keduanya, termasuk Soerjopranoto dan Agoes Salim. Namun Deliar Noer (1996) menempatkan sosok Fachrodin, Soerjopranoto, dan Agoes Salim dalam gerbong SI-Putih. Sedangkan Soe Hok Gie (2005: 7) menempatkan Agoes Salim dan Abdoel Moeis di kubu Tjokroaminoto. Tetapi dalam hal ini penulis cenderung meletakkan Fachrodin, Agoes Salim, dan Soerjopranoto dalam posisi di antara kedua kubu yang berseteru karena latar belakang aktivitas dan organisasi masing-masing. Seperti Fachrodin adalah pengurus ISDV cabang Yogyakarta, Agoes Salim adalah anggota Indische Social Democratische Partai (ISDP), dan Soerjopranoto adalah anggotaInsulinde sekaligus ketua Arbeidsleger Adhi-Dharma yang berafiliasi dengan ISDP.

Baca juga:  Menganyam yang Terpendam (Seusai Menengok Makam Syekh Yahuda)

Tampaknya, di tubuh CSI terjadi gesekan kuat yang kurang mendapat respon dari Tjokroaminoto. Terutama konflik antara Semaoen dan Darsono di kubu SI-Merah dengan Agoes Salim dan Abdoel Moeis di kubu SI-Putih. Agoes Salim dan Moeis berhasil menggerakkan CSI untuk menggelar rapat pada tahun 1920 untuk merespon infiltrasi komunisme di tubuh SI. Kedua tokoh ini getol menyuarakan disiplin partai.

Kelompok SI-Merah di bawah arahan Seneevliet merespon dengan mendeklarasikan ISDP menjadi Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920. Dalam Kongres SI 1921, kelompok SI-Putih diwakili Agoes Salim dan Moeis sangat kuat menekan kelompok SI-Merah untuk keluar dari SI.

Dinamika politik di SI terus bergulir. Kongres SI di Randublatung (Pekalongan) pada tahun 1926 mengambil keputusan penting perubahan nama organisasi menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Setelah kelompok SI-Merah terdepak, kebijakan disiplin partai kembali ditegakkan dengan sasaran organisasi-organisasi Islam yang dianggap menjadi penghambat bagi perkembangan PSI. Terutama Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang menjadi sasaran bidik kebijakan ini.

Para aktivis Muhammadiyah dan al-Irsyad yang banyak duduk dalam struktural PSI harus memilih di antara dua pilihan: antara meninggalkan partai atau tetap di PSI. Kebijakan ini pula yang kemudian memecah PSI kembali.

Fachrodin yang sejak awal sangat fanatik terhadap PSI harus memilih antara meninggalkan partai atau tetap duduk sebagai bendahara PSI. Konon, Agoes Salim sempat yakin jika Fachrodin akan memilih tetap duduk di jajaran struktural PSI. Namun, ternyata dugaannya salah besar. Dengan jiwa lapang, demi mematuhi kebijakan partai, maka Haji Fachrodin menyatakan keluar dari PSI dan memilih berkhidmat di Muhammadiyah (M.J. Anies, 1930: 20).

Selepas Fachrodin dari PSI, ia menjadi pengurus Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah, sebagai vice voorzitter mendampingi K.H. Ibrahim (President HB Muhammadiyah). Takashi Shiraishi (2005) menyebut sosok Fachrodin kembali menjadi seorang “islamis” setelah sebelumnya ia seorang revolusioner yang berhaluan Marxis.

Sampai akhir hayat, Fachrodin tetap berjuang di Muhammadiyah sebagai seorang pemimpin muslim, bukan seorang komunis. Tetapi ia tetap memiliki karakter, visi, dan aksi yang revolusioner.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Keliru besar menganggap Fachrudin berada di jalur kiri. Apa lagi tidak dijelaskan dan didefinikan lebih dulu apakah yang dimaksud dengan jalur kiri, sehingga judulnya terkesan provokatif. Sampai berdirinya NIP(Nasional Indische Parttiy) tahun 1919, belum ada organisasi yang memberlakukan disiplin organisasi. Artinya antara tahun 1908 – 1919, orang bebas rangkap-rangkap organsasi, banyak orang merangkat ke anggotaan dan menduduki jabatan pengurus yang rangkap-rangkap di sejumlah organisasi yang ada pada waktu itu seperti SI,IP,ISDV, Muhammadiyah, BU, dan Adi Darma.Atau Paguyuban Pasundan( berdiri 1914) kalau di Jawa Barat. Karena itu sulit untuk menentukan mana yg kiri, tengah dan kanan. Idiologi sosialis,marxis,komunis, merupakan ideologi baru, disamping Islam, dan nasionalis. Sebagai paham baru sangat menawan karena belum banyak yg menyadari ideologi anti tuhan yg tersembunyi di balik jubah Kark Marx. Bahkan Cokro Aminoto, yg jelas bukan kiri, pernah mengaggap sosialisme sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan H.Misbah lebih parah lagi, menganggap, komunisme sesuai dengan ajaran Islam.Hanya setelah Snevliet diusir, semakin jelas mana SI Merah dan mana SI Putih. Mana SI Komunis dan SI Non Komunis. Muhammadiyah pisah dng SI Putih, setelah terbentuk PSI, dan PSI mengikuti jejak NIP, melakukakan disiplin organisasi. Sejak itu baru jelas, mana tokoh-tokoh kiri dan tokoh-tokoh kanan. Bung Karno sendiri mendefinisikan gerakan kiri sebagai gerakan non koperatif, radikal, dan progresif revolusioner.Salam.

Komentari

Scroll To Top