M. Tholhah Alfayad
Penulis Kolom

Lahir 15 Agustus 1996. Pendidikan: alumni Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Sedang menempuh S1 Jurusan Ushuluddin Univ. Al Azhar al Syarif, Kairo, Mesir. Asal Pesantren An Nur I, Bululawang, Malang, Jawa Timur.

Potret perjuangan Ulama (7): Ramalan Imam Abu Hanifah kepada “Santri” Miskin

1 A Alppp

Imam Ibnu Khaldun menuliskan dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun sebuah bab khusus yang menjelaskan mengapa kebanyakan ulama hidup dalam kesederhanaan, bahkan memilih hidup melarat. Di antara sebab yang ia jelaskan adalah:

Pertama, tugas yang diemban oleh para ulama adalah tugas khusus yang menyangkut agama. Tugas ini manfaatnya tidak menyeluruh terhadap seluruh warga negara melihat perbedaan agama di antara masing-masing warga negara. Akan tetapi tugas mereka sangat dibutuhkan oleh umat sehingga banyak dari mereka tidak memiliki mata pencaharian lain dalam hidup mereka. Gaji mereka sebagai hakim ataupun ahli fatwa telah ditentukan oleh setiap pemerintah di tempat mereka berada. Bahkan banyak dari ulama memberikan pengajaran ilmu secara gratis dan tak mengharapkan sedikit pun imbalan.

Kedua, tugas para ulama adalah tugas yang sangat luhur yang membutuhkan konsentrasi sangat tinggi. Mereka mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memecahkan masalah umat. Mereka pun memiliki otoritas berpendapat yang tidak bisa dipaksakan oleh pemerintah. Sehingga mereka tidak akan mau disuap oleh pemerintah untuk membuat fatwa yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam. Mereka pun lebih memilih hidup sederhana serta menjauhi berhubungan dengan para raja dan sultan.

Oleh karena itu, ulama-ulama yang hidup sederhana bukanlah karena mereka terpaksa, melainkan telah memilih jalur hidup seperti itu. Mereka menghabiskan waktu untuk diskusi, belajar, dan menulis hal-hal yang bermanfaat. Hal ini mereka lakukan bukan hanya untuk masyarakat mereka saja, melainkan untuk generasi selanjutnya yang membaca karya-karya mereka.

Kita melihat bagaimana Imam Abu Hanifah yang namanya akan terus dikenang sebagai ulama ahli fikih terbesar di zamannya. Ia hidup sederhana karena ia memilih mendermakan hartanya untuk menafkahi murid-muridnya yang kurang mampu dan kaum fakir miskin.

Dikisahkan, Ya’qub bin Ibrahim al-Kufi atau lebih dikenal dengan Abu Yusuf (Lahir tahun 113 H wafat tahun 182 H), seorang ulama besar murid Imam Abu Hanifah. Dahulu ketika ia sedang duduk mendengarkan pelajaran dari imam Abu Hanifah. Ayahnya datang menyeretnya pulang seraya berkata:

Baca juga:  Sabilus Salikin (125): Perkembangan Tarekat Syadziliyah Hingga ke Indonesia

“Wahai anakku, jangan kamu pergi belajar kepada Imam Abu Hanifah. Lihat, Imam Abu Hanifah ulama yang hidup serba berkecukupan sedangkan kita harus bekerja untuk menyambung hidup.”

Pernah suatu ketika setelah ayah Abu Yusuf wafat, ibu Abu Yusuf memergoki sang buah hati sedang mengaji kepada Imam Abu Hanifah. Maka sang ibu pun menyeret Abu Yusuf dan membawanya untuk bekerja di sebuah istana.

Kecintaan yang begitu dalam serta semangat belajar yang begitu tinggi membuat Abu Yusuf berkali-kali mencuri kesempatan untuk mengikuti pengajian Imam Abu Hanifah.

Maka, sontak sang ibu pun geram melihat hal tersebut. Ibu Abu Yusuf pun protes kepada Imam Abu Hanifah

“Wahai Imam, engkau telah merusak masa depan anakku, lihat anakku ini yatim, ayahnya telah wafat. Seandainya ia tak bekerja ia akan menjadi hidup serba kekurangan.”

Imam Abu Hanifah dengan sangat tenang menjawab, “Wahai Ibu, justru dengan ilmu yang aku ajarkan niscaya suatu hari nanti ia akan hidup kaya raya bahkan ia akan makan faludzaj, sebuah manisan yang terkenal di daerah Persia yang dilumuri dengan selai kacang kenari.”

Sang ibu pun tertawa seraya mengatakan, “Sungguh engkau seorang kakek-kakek sinting. Tidak mungkin hal itu terjadi kalau anakku tak giat bekerja.”

Berjalanlah waktu, Imam Abu Hanifah pun memanggil Abu Yusuf seraya bertanya:

“Wahai anakku, kenapa engkau kini jarang hadir dalam pengajian, apa yang menyibukkanmu ?”

Maka, Abu Yusuf dengan sedikit malu mengatakan, “Wahai guruku, sungguh kini aku sibuk bekerja membantu orang tuaku.”

Baca juga:  Mengenal Kiai Hasan Abdul Wafi, Kiai Jawa Timur yang Dicintai Gus Dur

Tak lama kemudian, Imam Abu Hanifah pun memberikan sebuah kantong berisi uang yang sangat banyak. Imam Abu Hanifah mengatakan, “Wahai anakku, pakailah uang ini untuk kebutuhanmu serta rajinlah mengikuti pengajian yang aku adakan. Dan mintalah kepadaku seandainya uang yang kuberikan telah habis.”

Maka selama 29 tahun, Abu Yusuf pun hidup bergantung kepada uang pemberian Imam Abu Hanifah untuk mencukupi kebutuhannya. Hingga pada akhirnya, Imam Abu Yusuf menjadi ulama terpandang yang kaya raya. Imam Abu Yusuf diangkat sebagai juru hukum dalam dinasti Abbasiyyah. Imam Abu Yusuf juga sering diundang dalam perjamuan makan yang diadakan oleh khalifah Harun ar-Rasyid.

Suatu ketika dalam sebuah perjamuan makan, Khalifah Harun ar-Rasyid menawarkan sebuah manisan kepada Abu Yusuf. Ketika melihatnya Abu Yusuf pun tercengang:

“Wahai khalifah, manisan apa ini?”

“Ini adalah manisan faludzaj yang dilumuri dengan selai kacang kenari.”

Mendengar jawaban khalifah, Abu Yusuf pun tertawa riang.

Melihat tinggah murid Imam Abu Hanifah itu, Khalifah Harun ar-Rasyid merasa heran, “Ceritakan kepadaku Wahai Aba Yusuf.. Apa yang membuatmu tertawa?”

Kemudian Abu Yusuf pun menceritakan masa kecilnya bersama Imam Abu Hanifah dan pesannya bahwa suatu saat nanti ia akan hidup kaya raya dan makan faludzaj sebab ilmu yang ia dapatkan.

Khalifah Harun ar-Rasyid pun kagum mendengarnya seraya berkata, “Sungguh ilmu telah mengangkat pemiliknya baik di dunia maupun di akhirat. Sungguh Imam Abu Hanifah melihat suatu hal yang akan datang dengan ketajaman akalnya.”

Dikisahkan, Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi (Lahir tahun 100 H dan wafat tahun 170 H) seorang ulama besar dalam ilmu gramatika bahasa Arab adalah ulama yang memilih hidup sederhana.

Imam Khalil memilih hidup sederhana dengan rumah yang terbuat dari kayu. Hal ini ia lakukan karena ia ingin menyendiri untuk menulis dan merenungkan hal-hal baru yang bermanfaat untuk umat. Meskipun, murid-muridnya hidup bergelimang harta. Seandainya ia mau meminta upah atas pengajarannya niscaya ia akan menjadi seorang yang kaya raya.

Baca juga:  AGH Daud Ismail dan Penulisan Tafsir Berbahasa Bugis

Suatu ketika Sulaiman bin Hubaib bin Abi Shufrah, seorang penguasa Persia ingin memberinya kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan serta harta yang melimpah. Imam Khalil bin Ahmad pun mengirimkan kepada Sulaiman bin Hubaib sebuah syair puisi:

إن الذي شق فمي ضامن
للرزقي حتى يتوفاني
الرزق عن قدر لا الضعف ينقصه
ولا يزيدك فيه حول محتال
والفقر في النفس لا في المال نعرفه
ومثل ذاك الغنى في النفس لا المال

Sungguh Dzat yang membelah mulutku
Dia lah Dzat yang menjamin rizkiku hingga aku wafat
Rizqi telah ditetapkan tidak ada kelemahanmu yang mampu mengurangi jatah rizkimu
Dan tidak ada kemampuan tipu daya yang dapat menambah jatah rizkimu
Kami mengetahui kefakiran adalah yang fakir hatinya bukan fakir secara harta benda
Begitu juga kekayaan adalah yang kaya hatinya bukan hartanya.

Dikisahkan, suatu ketika Dulaf bin Abi Dulaf, seorang putra gubernur daerah Khurasan berkunjung ke rumah syekh Qubaishah bin Uqbah as-Suwai (Wafat tahun 215 H) –guru Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Dulaf bin Abi Dulaf datang membawa segenap pelayannya untuk belajar ilmu hadis. Melihat hal itu, keluarga Syekh Qubaishah pun mengabarkan kepada Syekh Qubaishah, “Sungguh kita telah kedatangan seorang putra gubernur, maukah engkau untuk menemuinya?”

“Sungguh aku adalah seorang laki-laki yang sangat bersyukur dengan kehidupan yang sederhana. Aku tidak ingin mendapatkan apapun dari putra gubernur itu. Maka aku pun juga tak akan menemuinya,” jawab Syekh Qubaishah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top