Sedang Membaca
Dr. Ibrahim Salah al-Hudhud, Eks-Rektor al-Azhar dan Kitab Fi Muwâjahat Khithâb al-Tasyaddud

Alumni Ponpes Lirboyo Kediri, Darul Huda Mayak, dan Minhajuth Thullab Lampung. Sedang mengenyam pendidikan S1 di Al-Azhar University jurusan Syari'ah Islamiyyah. Berdomisili di Kairo, Mesir.

Dr. Ibrahim Salah al-Hudhud, Eks-Rektor al-Azhar dan Kitab Fi Muwâjahat Khithâb al-Tasyaddud

Img 20220315 160447 (1)

Al-Azhar dalam perannya menjaga islam wasathiyyah (moderat) tidak perlu dipertanyakan lagi. Lembaga yang didirikan oleh dinasti fatimiyah ini memang awalnya berpaham syiah, namun pada perkembangannya al-Azhar malah menjadi kiblat dalam pemahaman islam yang sesuai al-Qur’an, Sunnah, dan para salafus sholih dan yang paling lantang menyuarakan pemahaman aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Al-Azhar banyak melahirkan para ulama besar, baik di masa lalu, seperti al-Mutafannin as-Suyuthi, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani dan lainnya, atau di abad 20-an ini, yang salah satunya adalah Dr. Ibrahim Salah al-Hudhud, pengarang kitab Fi Muwâjahat Khithâb al-Tasyaddud.

Slogan al-Azhar sendiri adalah menjaga pemahaman islam wasathiyyah dan i’tidal yang bepegang pada aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu, al-Azhar selalu berada di garda depan untuk menolak pemahaman-pemahaman yang menyimpang, salah satunya adalah dengan cara membuat karya-karya ilmiyah (Red:kitab) yang menanggapi pemikiran-pemikiran yang ekstrem ataupun liberal melalui lembaga Majma’ Buhuts al-Islamiyyah (Lembaga kajian dan riset di bawah naungan Universitas al-Azhar).

Kali ini, kita akan bahas salah satu karya ilmiyah terbitan Majma’ Buhuts al-Islamiyyah, yaitu kitab Fi Muwâjahat Khithâb al-Tasyaddud. Namun sebelum itu alangkah baiknya kita bahas sedikit profil pengarangnya.

Dr. Ibrahim Salah al-Hudhud

Beliau dilahirkan di kampung Thahlah, Banha, Qalyubiyyah, Mesir. Sebuah desa di pedalaman Mesir yang banyak melahirkan ulama-ulama besar, seperti Syihabuddin al-Qalyubi, pengarang kitab Hasyiyah al-Qalyubi yang sangat popular dikalangan santri Indonesia dan Syaikh Abdul Fattah Badawi, yang menjadi guru Imam Mutawalli Sya’rawi, Syaikh Al-Baquri dan masyaikh besar lainnya.

Baca juga:  Antara Barat dan Timur

Al-Hudhud memulai pendidikan agamanya dengan belajar dan menghafal al-Qur’an dari Syaikh Musa Abdul Ghani Sya’lan. Keterbatasan fasilitas di perkampungan yang minim aliran listrik dan koneksi jaringan elektronik, mendukung al-Hudhud untuk belajar dan menghafal dengan giat. Selain Alquran, ia banyak menghafal matan kitab dan syi’ir.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di desa, Hudhud muda memilih melanjutkan rihlah ‘ilmiyyah-nya di Madrasah Tsanawi al-Azhar dan menyelesaikannnya dengan meraih peringkat terbaik ke-4 se-Republik Mesir. Selepas itu ia menuntaskan S1-nya di Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar dengan nilai tertinggi Summa Cumlaude tahun 1978, menyelesaikan studi magister dalam waktu empat tahun dan meraih gelar doktor tiga tahun berikutnya.

Pada akhir tahun 2015, Dr. Ibrahim diangkat sebagai Rektor Universitas al-Azhar menggantikan Prof. Dr. Abdul Hay ‘azb yang harus mengundurkan diri setelah berusia 65 tahun karena peraturan kepensiunan jabatan rektorat di usia itu. Sebelum itu, ia sudah terlebih dahulu diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Balaghoh dan kritik Sastra Universitas al-Azhar, anggota Majma’ Buhuts al-Islamiyyah, dan anggota Hai’ah Kibar al-Ulama (Majelis Ulama Tertinggi al-Azhar).

Walaupun memegang beberapa jabatan strategis, ia banyak meluangkan waktu memberi pengajian mingguan di Masjid al-Azhar, menjadi pembicara di seminar, dan menulis karya ilmiyah tidak kurang dari 50 buah bahts (makalah). Salah satunya karyanya adalah kitab Fi Muwâjahat Khithâb al-Tasyaddud.

Kitab Fi Muwâjahat Khithâb al-Tasyaddud

Kitab ini terdiri dari 20 bab, yang mengkaji tentang isu-isu kontemporer yang sering digembor-gemborkan oleh kaum ektremis. Secara umum isu yang ditelaah oleh al-Hudhud dalam karyanya ini terbagi menjadi dua: ektrem secara pemikiran dan ektrem yang berujung pada membenarkan tindakan secara fisik atau makar kepada pemerintah.

Baca juga:  Sabilus Salikin (77): Sejarah Tarekat Rifa'iyah di Indonesia

Pada awal kitab, Dr. Hudhud memberikan pengantar bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Karena al-Qur’an dan Hadits diturunkan dalam Bahasa arab yang kebanyakan  mengandung makna tersirat (dzonniyyu al-dilalah), maka wajar terjadi banyak perbedaan dalam memahaminya. Kemudian ia memberi contoh perbedaan pendapat yang terjadi diantara para sahabat mengenai melihat Rasulullah di akhirat, Sayyidah Aisyah mengingkari hal tersebut, namun para sahabat lain membenarkannya.

Selanjutnya, al-Hudhud banyak menjelaskan tema yang sangat relevan dengan kasus yang ada di Indonesia, seperti permasalahan Maulid Nabi. Ia memulai dengan memaparkan pendapat para ulama yang memperbolehkan Maulid Nabi, diantaranya Imam Suyuthi, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani, al-Hafidz al-Iroqi dan lainnya. Setelah itu ia menguraikan pendapat ulama yang mengharamkan Maulid Nabi, yaitu pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu al-Haj dan Rasyid Ridho. Lalu di akhir pembahasan ia berpendapat (setelah menganalisis dalil masing-masing pendapat) bahwa memperbolehkan Maulid Nabi adalah pendapat yang lebih kuat.

Contoh lain persoalan yang menarik dan relevan dalam kitab ini adalah perihal pemilihan pemimpin dengan cara demokrasi, apakah menyalahi Syariat?. Eks-Rektor Universitas al-Azhar ini menegaskan bahwa pemilihan pemimpin secara demokrasi di negara-negara islam sama sekali tidak menyalahi Syariat Islam. Karena pada intinya syarat pemilihan seorang pemimpin dalam islam adalah harus melalui musyawarah dan menuntut pemimpin yang diangkat bisa mewujudkan kemaslahatan masyarakat dan itu sudah terpenuhi dalam sistem demokrasi. Toh kenyataannya negara-negara islam yang menerapkan sistem demokrasi sudah 90 persen menerapkan hukum-hukum islam, seperti Indonesia, mesir dan lainnya.

Baca juga:  Hammuka Daimun, Kumpulan Puisi Sapardi yang Diterjemah ke Bahasa Arab

Dan masih banyak lagi pembahasan dalam kitab ini yang sangat penting untuk dipahami. Antara lain hak-hak non-muslim di negara islam, hukum takfiri (mengafirkan sesama muslim), hukum peninggalan sejarah, pentingnya persatuan umat islam, hak-hak Ahlul Bait (keturunan Nabi) dan lain sebagainya.

Akhir kata, kitab ini sangat perlu sekali dibaca, terutama untuk kaum sarungan (santri) dan seluruh umat islam agar terhindar dari pemahaman-pemahaman radikal dan senantiasa menjunjung pemahaman islam yang moderat, toleran dan rahmatan lil ‘alamin. Hal ini sesuai dengan judul kitabnya yang bermakna “mengahadapi pemikiran ekstrem”. Semoga Allah senantiasa membimbing kita ke jalan yang benar.

Judul                : Fi Muwâjahat Khithâb al-Tasyaddud

Penulis             : Dr. Ibrahim Salah al-Hudhud

Penerbit          : Majma’ Buhuts al-Islamiyyah, Kairo, Mesir

Cetak               : Pertama, tahun 2022

Tebal               : 228 halaman

ISBN                 : 987-977-205-475-6

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top