Sedang Membaca
Menelisik Wahabi (2): Fase “Mematenkan” Pokok Ajaran dan Merumuskan Siapa Musuh Islam
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Menelisik Wahabi (2): Fase “Mematenkan” Pokok Ajaran dan Merumuskan Siapa Musuh Islam

667fc53e 4103 4889 Ad7c 824499b911c9

Anda dapat membenamkan diri meneroka tulisan-tulisan aktual Abdul Wahab dan tidak menemukan Wahabisme sebagaimana yang didefinisikan kiwari. Itu terutama karena Abdul Wahab tidak menulis traktat politik; dia menulis tafsir Al-Qur’an dan menuliskannya secara ketat dalam kosakata doktrinnya. Fokusnya yang derana pada perincian ihwal doktrin, hukum, dan amalan Islam mungkin tampak oleh orang luar sebagai terlalu lebai, obsesif. 

Karya besarnya, kitab al-Tawhid memiliki enam puluh enam bab, masing-masing menyajikan satu kutipan Al-Qur’an atau lebih, membongkar setiap kutipan, mendaftar pelajaran yang dapat dipetik dari petikan itu, dan kemudian mendedah bagaimana kutipan ini berhubungan dengan inti kredo Wahab. 

Di sini tidak ada sawala tentang Timur dan Barat, tidak ada apa-apa tentang pengaruh Barat atau kelemahan muslim, tidak ada sama sekali hal yang bersifat politis. Membaca kata-kata Wahab berarti menyadari bahwa dia memandang dunia melalui kacamata agama murni.

Dalam pandangannya sendiri, keseluruhan teologinya bermuara pada dua prinsip:

Pertama, pentingnya tauhid, atau “keesaan”, yakni ketunggalan dan kesatuan Allah. Kedua, kesalahan syirik, gagasan bahwa seseorang atau sesuatu berbagi dalam keilahian Allah Swt, bahkan untuk tingkat terkecil.

Filsuf Karl Marx pernah berkata, “Saya bukan seorang Marxis.” Dan andai Abdul Wahab masih hidup kiwari, dia mungkin saja berujar, “Saya bukan seorang Wahabi.” Namun tetap saja, Wahabisme ada, dan sekarang mencakup banyak prinsip lebih lanjut yang berasal dari implikasi ceramah-ceramah Wahab atau yang berkembang secara historis dari penerapannya oleh para kepala suku Saudi. Wahabisme yang diperluas ini menyatakan kepada kaum muslim, bahwa “hukum” adalah Islam, dan “Islam” adalah hukum: membenarkannya, mengetahuinya secara lengkap, dan mengikutinya secara persis adalah keseluruhan iman.

Hukum itu ada di dalam Al-Qur’an, menurut Wahab dan para pengikutnya. Sunnah –kehidupan Nabi saw seperti diungkapkan melalui hadis– bertujuan menafsirkan hukum itu. Al-Qur’an tidak menetapkan prinsip-prinsip untuk membimbing telatah manusia, melainkan tindakan nyata yang harus dilakukan kaum muslim. Al-Qur’an bukan hanya menunjukkan bentuk tetapi isi dari kehidupan manusia. Kehidupan Muhammad memberikan suri teladan untuk diikuti setiap muslim.

Baca juga:  Eks-HTI Penuh Manipulasi: Melintir Pidato Mbah Wahab hingga Mencatut Prof Ahmad Zahro

Madinah pada masa Muhammad dan tiga khalifah pertama adalah masyarakat ideal, satu-satunya waktu dan tempat tatkala semua orang mengetahui hukum itu, memafhuminya dan mengikutinya secara total. Itulah sebabnya Umat Pertama mampu tumbuh dan meluas dengan begitu memesona. Madinah adalah contoh untuk dicipta-ulang oleh setiap komunitas muslim.

Tujuan hidup ialah mengikuti hukum, yang ditetapkan Wahabi itu. Tujuan kehidupan sosial dan politik adalah membangun masyarakat di mana hukum itu dapat ditegakkan. Semua yang menghambat tugas besar membangun masyarakat ideal itu ialah musuh Islam. Kewajiban seorang muslim mencakup partisipasi dalam jihad, perjuangan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam. Jihad sejajar dengan sembahyang, puasa, zakat, haji, dan mengakui bahwa keesaan Allah sebagai suatu kewajiban agama.

Dan siapakan musuh-musuh Islam itu?

Menurut doktrin Wahab, orang-orang yang tidak percaya pada Islam, tentu saja, adalah musuh potensial tetapi bukan yang paling krusial. Jikalau mereka setuju untuk hidup damai di bawah pemerintahan Islam, mereka bisa ditoleransi. Musuh yang paling perlu diperhatikan adalah orang munafik, murtad, khianat, dan pembidah.

Munafik adalah muslim yang perkataannya tidak senada dengan perbuatannya. Mereka mengaku beriman, tetapi ketika sudah waktunya untuk sembahyang, Anda menemukan mereka bermain kartu atau tidur siang, maka harus dihukum agar tak merusak umat muslim lainnya.

Murtad adalah orang yang terlahir sebagai muslim atau telah masuk Islam tetapi kemudian meninggalkannya. Mereka harus dibunuh. Pengkhianat adalah orang yang mengatakan bahwa mereka muslim, tetapi sebenarnya tidak. Mereka mengucapkan kata-kata itu, tetapi di dalam hati kesetiaan mereka adalah untuk iman yang liyan. Mereka secara inheren merupakan tiang kelima yang bekerja melawan masyarakat, dan bisa melakukan pengkhianatan yang menimbulkan bencana dalam keadaan krisis. Orang-orang khianat dibunuh segera setelah mereka terungkap.

Baca juga:  Hagia Sophia, Pusaran Konflik Sepanjang Masa

Dan akhirnya, mungkin pelanggar yang paling buruk dari semuanya adalah pembidah: muslim yang merusak Islam dengan menambah atau mengubah setiap aspek hukum asli yang murni. Orang-orang yang melakukan ritual yang berbeda dari kaum Salaf, atau menjalankan ritual yang tidak dilakukan Nabi saw dan para sahabatnya, atau yang menganjurkan ide-ide yang tak ditemukan di dalam Al-Qur’an adalah pembidah. Baik Syiah dan maupun para sufi termasuk dalam kelompok ini. Jihad melawan mereka bukan hanya sah tetap wajib, menurut Wahabisme sebagaimana yang berkembang dalam praktik sejarah.

Sikap dan antusiasme Wahabi menyebar nun jauh melampaui Arab Saudi. Wahabisme menemukan tanah nan subur di ujung lain dunia Islam, di anak benua India. Dalam praktiknya, berbagai orang yang menyebut diri mereka Wahabi menekankan pelbagai aspek kredo yang dikhutbahkan suku Saudi.

Di India, misalnya, beberapa kelompok yang disebut Wahabi menolak jihad sebagai suatu kewajiban. Yang liyan mengatakan orang murtad harus diajak dalam perdebatan bukan pertempuran. Beberapa berpendapat bahwa orang munafik harus dididik ulang bukannya dibunuh, atau beberapa variasi lainnya. 

Akan tetapi, semua orang yang menyebut diri mereka Wahabi memandang “Fikih” (hampir tidak membedakan dengan “syar’iah” sebagaimana yang berkembang dalam diskursus keislaman) sebagai inti Islam, bahkan seluruh Islam. Semua kecenderungan untuk melihat kembali ke masa keemasan yang menjadi contoh bagi kehidupan muslim dan cenderung beriktikad, bahwa memulihkan Umat Pertama Muhammad di Madinah akan mengembalikan kecintaan kepada umat muslim di mata Allah, dengan begitu memulihkan kekuatan dan kekuasaan yang pernah dicicipi umat muslim di bahwa panji empat khalifah pertama.

Baca juga:  Menelusuri Jejak-jejak Pengaruh Arsitektur Islam di Venesia

Arkian, di luar dunia Islam, aliansi Saudi-Wahhabi mungkin kelihatan seperti anomali singkat yang menyala lalu memendar dan menghilang, tapi sebenarnya terus membara di padang pasir Arabia, dan dunia akan mendengar lebih banyak lagi tentang persekutuan ini dalam abad ke-20, pasca agen Inggris yang dikenang sebagai Lawrence of Arabia mulai mengarungi padang pasir.

Demikian itulah Wahabi. Ia tidak akan ditolak –sebagai mana kelompok Islam lainnya– sebagai bagian dari sejarah Islam, meskipun sekarang anak turunya mendirikan bioskop atau membuka diskotik, sebuah wadah untuk melampiaskan segala kesenangan duniawiyah.

Senarai Bacaan:

Algar, Hamid. Wahhabism: A Critical Essay. New York: Islamic Publications International, 2002.

Bahtiar, Riza. “Etika Wahhabian dan Etika Protestan” dalam Nalar: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, Vol 1, No 1. Palangka Raya: IAIN Palangka Raya, 2017.

Commins, David. The Wahhabi Mission and Saudi Arabia. London-New York: I.B. Tauris, 2006.

Delong-Bas, Natana J. Wahhabi Islam From Revival and Reform to Global Jihad. London-New York: Oxford University Press, 2004.

El Fadl, Khaled Abou. The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. San Fransisco, USA: Harper San Francisco, 2005.

Haj, Samira. (ed.). Reconfiguring Islamic Tradition: Reform, Rationality, and Modernity. Stanford, USA: Stanford University Press, 2009.

 Henri Lauzière, Henri. The Making of Salafism: Islamic Reform in the Twentieth Century. Columbia, USA: Columbia University Press, 2015.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top