Sedang Membaca
Iktibar Politik
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Iktibar Politik

Politik adalah segala daya upaya masyarakat untuk memangku negara. Politik itu menyangkut sistem partai, sistem pembagian daerah, sistem pembagian kekuasaan, dan sebagainya. Namun, seringkali ada kesenjangan antara teori dan praktiknya. Yang menurut teori atau ketentuannya begini, dalam praktiknya mungkin begitu. Oleh karena itu, penilaian terhadap sistem maupun keadaan politik tidak cukup hanya berdasarkan teori dan ketentuan resmi belaka, melainkan juga berdasarkan praktik dan dampaknya yang nyata.

Tolok ukur utama untuk menilai sistem dan keadaan politik adalah: sejauh manakah sistem atau keadaan politik itu memungkinkan kebersamaan yang damai dalam negara sendiri ataupun di negara-negara lain? Sistem dan kondisi politik yang baik haruslah menunjang kebersamaan yang damai di negara sendiri ataupun di negara-negara lain.

Contoh pertama dari sistem politik adalah sistem pemerintahan kerajaan, seperti tampak pada kebanyakan masyarakat pada abad-abad pertengahan dan di beberapa negara modern kiwari. Sifat-sifat utama dari sistem politik semacam itu adalah bahwa kekuasaan pemerintahan tertinggi dipercayakan pada seorang raja atau ratu, dan pergantian penguasa tertinggi dilaksanakan berdasarkan pertimbangan keturunan. Yang paling ideal ialah bahwa raja digantikan oleh anak lelaki yang sulung dari sang raja.

Bagaimana sistem politik itu harus dinilai secara moral? Sistem pemerintahan kerajaan dapat buruk, tetapi dapat juga baik. Buruk kalau ternyata menganggu perdamaian nasional maupun internasional. Baik jika menunjang perdamaian. Meskipun demikian, sistem pemerintahan kerajaan memuat kelemahan dalam dirinya, terutama bila diteroka dalam konteks masyarakat modern. Kelemahan itu terutama terlihat pada sistem pergantian pemegang kekuasaan tertinggi.

Baca juga:  Mengenal Sufi Perempuan Mu'adzah

Apakah anak raja memang mampu menggantikan ayahnya, sehingga pemerintahannya juga akan berhasil menciptakan perdamaian? Apabila ia tidak mampu, siapakah yang dapat mencegahnya untuk memegang kekuasaan pemerintahan itu? Apakah rakyat berani menolak raja atau penggantinya, apabila rakyat melihat bahwa ia memerintah dengan kelaliman atau kebodohan?

Sistem politik yang kedua adalah sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem itu kekuasaan pemerintahan, sekurang-kurangnya pemerintahan sehari-hari, dipegang oleh seorang presiden. Oleh sebab itu, dalam soal akumulasi kekuasaan politik praktis, ia mirip seorang raja.

Namun, berbeda dengan sistem kerajaan, sistem pemerintahan presidensial mempunyai sistem pergantian presiden yang biasanya berdasarkan pemilihan umum (pemilu), bukan berdasarkan dinasti. Anak presiden jarang sekali yang terpilih sebagai presiden. Secara teoretis dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan presidensial lebih memungkinkan kedamaian, karena rakyat tidak dipaksa untuk menerima presiden baru berdasarkan keturunan, melainkan berdasarkan kemampuan.

Akan tetapi, praktik tidak selalu sama dengan teorinya. Oleh karena itu, penilaian etika terhadap sistem pemerintahan presidensial juga harus meninjau praktiknya. Apabila presiden memang berhasil menciptakan perdamaian nasional dan ikut menunjang perdamaian global, dapatlah ia dinilai sebagai pemimpin yang berjaya. Alih-alih, presiden yang memimpin bangsanya ke arah perpecahan dalam negeri dan permusuhan dengan negara-negara lain, tidaklah ia layak diberi pujian.

Baca juga:  Sejarah Rezim Militer Orde Baru Membasmi Islam Radikal

Sistem politik ketiga, yang berbeda dengan sistem yang pertama dan kedua, adalah sistem pemerintah oligarki. Dalam sistem itu, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh beberapa orang, misalnya oleh jenderal-jenderal militer, atau para pemimpin partai-partai politik yang berkoalisi. Dapat juga terjadi bahwa mereka itu memilih salah satu di antara mereka sebagai ketua presidium, misalnya disebut perdana menteri, yang memerintah di bawah kontrol mereka.

Tinimbang dengan sistem kerajaan dan sistem presidensial, secara teoretis, sistem pemerintahan oligarki memungkinkan sistem kontrol yang lebih besar terhadap kekuasaan. Sejarah menunjukkan bahwa pemegang kekuasaan tunggal sering menjurus pada penggunaan kekuasaan diktatoris. Sistem oligarki idealnya akan mengurangi risiko itu.

Namun pada praktiknya belum tentu sama dengan teorinya. Kalau salah satu dari para pemimpin itu mempunyai kharisma yang jauh lebih besar dibandingkan yang liyan, ia pun dapat jatuh pada sikap seorang diktator.

Atau, apabila para pemimpin itu secara bersama-sama tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat banyak, akan muncul pula pemerintahan diktator di bawah kekuasaan beberapa orang.

“Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pastilah korup,” ujar sejarawan Lord Acton. Maka dalam kasus seperti ini pun penilaian etos harus mempertimbangkan juga hasil yang nyata: apakah pemerintahan semacam itu nyatanya menjelmakan perdamaian dalam negeri dan menunjang perdamaian dunia?

Sebagai warga negara, kita tidak laik menimpakan seluruh tanggung jawab politis pada sistem atau pada pemerintah. Kita sendiri memiliki tugas untuk ikut menciptakan perdamaian di tanah air dan mendukung pelbagai usaha perdamaian internasional. Perdamaian merupakan tugas semua orang, bukan hanya pemerintah saja.

Arkian, demokrasi merupakan sistem politik yang secara prinsip paling dapat diterima di era kiwari, sebab dalam sistem ini partisipasi seluruh rakyat dimungkinkan dan dilestarikan. Tentu saja yang penting adalah praktik dan iklim demokratis yang nyata, bukan hanya demokrasi di atas kertas dan dalam slogan-slogan kosong.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top