Sedang Membaca
Bathara Katong dan Islamisasi di Wetan Gunung Lawu
M. Fakhru Riza
Penulis Kolom

Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan aktif di Gusdurian Jogja. Bisa disapa lewat ig: @fakhru.riza dan twitter: @fakhruriza_.

Bathara Katong dan Islamisasi di Wetan Gunung Lawu

Akhir abad ke-15 Masehi menjadi titik pergeseran penting dari kedigdaayaan kerajaan Majapahit menuju kemundurannya. Kekuasaan Majapahit di berbagai daerah secara perlahan-lahan mulai melemah dan kerajaan banyak kehilangan kendali di berbagai wilayah. Pada kondisi dan situasi kritis Majapahit saat itu, muncul kekuatan baru di wilayah utara Jawa bernama kerajaan Demak dengan rajanya bernama Raden Patah (1455-1518).

Kemunculan kerajaan Demak tersebut kemudian mempercepat proses islamisasi di tanah Jawa. Salah satu wilayah yang mengalami proses islamisasi masa itu adalah wilayah Karesidenan Madiun. Wilayah itu kini meliputi beberapa kabupaten di Jawa Timur bagian selatan: Madiun, Ponorogo, Pacitan, Magetan, dan Ngawi. Wilayah Karesidenan Madiun ini zaman dulu dikenal sebagai wilayah wetan gunung Lawu (daerah timurnya gunung Lawu).

Di wilayah timurnya gunung Lawu inilah proses islamisasi terjadi pada era kerajaan Demak. Aktor proses islamisasi di wilayah ini adalah seorang keturunan raja terakhir Majapahit yang tunduk terhadap kekuasaan baru kerajaan Demak. Sosok keturunan Majapahit tersebut bernama Bathara Katong.

Awal mulanya, nama Bathara Katong adalah Joko Piturut (pemuda yang penurut), kemudian setelah mengemban tugas islamisasi dari kerajaan Demak, namanya diganti menjadi Raden Alkali (Raden Harak Kali). Kemudian, setelah keimanannya semakin matang namanya dirubah menjadi Bathara Katong (Ong Hok Ham, 2018).

Bathara Katong ditugasi oleh penguasa kerajaan Demak untuk melakukan penyebaran agama Islam di sekitaran wilayah timurnya gunung Lawu atau Karesidenan Madiun. Di wilayah Jawa bagian selatan ini saat itu mayoritas penduduknya beragama Buddha. Tokoh agama Buddha saat itu bernama Ki Ageng Kutu. Ia tinggal di daerah Jetis, Arjowinangun, Ponorogo (Ong Hok Ham, 2018).

Baca juga:  Tradisi Grebek Suro: Refleksi Dakwah Raden Bathoro Katong

Sebagaimana dikatakan Ong Hok Ham dalam bukunya Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abad XIX (2018) dengan mengutip Babad Ponorogo, saat itu Bathara Katong memiliki 140 orang pasukan yang semuanya bisa mengaji dalam proses pengislaman wilayah Karesidenan Madiun yang sedang dikuasai Ki Ageng Kutu, tokoh agama Buddha.

Pada saat itu, Bathara Katong bersama pasukannya meminta Ki Ageng Kutu meninggalkan agama Buddha dan pindah ke Islam. Walaupun Ki Ageng Kutu tidak melarang pengikutnya untuk pindah ke agama Islam. Akan tetapi ia menolak untuk masuk Islam karena ia begitu mencintai Buddhisme.

Pada akhirnya, perang pun tak terhindarkan. Ki Ageng Kutu memanggil para pengikut, teman, dan murid-muridnya untuk datang dari daerah pegunungan. Pada suatu malam hari, Kutu menyerang pasukan Bathara Katong. Saat itu, awalnya pasukan muslim sempat kalah dari pasukan Kutu.

Kemudian, Bathara Katong mendapat suplai pasukan baru dari kerajaan Demak. Dengan bertambahnya pasukan tersebut memperkuat kekuatan Bathara Katong. Pasukan yang lebih kuat tersebut dikomandoi oleh Kiai Sela Aji. Pada pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Bathara Katong bersama pasukannya.

Kemenangan dalam pertempuran tersebut kemudian mempercepat proses islamisasi di wilayah Karesidenan Madiun. Wilayah yang awalnya merupakan mayoritas penduduknya beragama Hindu-Buddha berangsur-angsur beralih memeluk agama Islam. Peran Bathara Katong sangat sentral dalam proses islamisasi tersebut.

Baca juga:  Pemerintah Kolonial Mengajari Cara Penyembelihan Secara Islam

Kemudian, selain terjadi peralihan kepercayaan dari Hindu-Buddha menjadi Islam. Di wilayah Karesidenan Madiun menurut Babad Patjitan (sebagaimana dikutip Ong Hok Ham) bahwa terjadi pula pembukaan lahan-lahan pertanian baru di sekitaran Madiun. Awalnya wilayah tersebut masih banyak berupa hutan belantara dan sedikit penduduk.

Setelah memenangkan pertempuran melawan Ki Ageng Kutu dan berhasil menguasai wilayah Karesidenan Madiun, Bathara Katong mendirikan Istana di daerah Madiun. Istana tersebut kemudian menjadi pusat studi agama Islam, dan menjadi pendahulu pesantren di daerah Madiun (Ong Hok Ham, 2018).

Setelah Bathara Katong wafat, ia digantikan oleh putranya Pangeran Wali Alah. Dan begitupun seterusnya, keturunan-keturunan Bathara Katong menjadi penguasa wilayah Karesidenan Madiun selanjutnya.

Demikianlah tentang sejarah singkat aktor islamisasi di wilayah Karesidenan Madiun, bernama Bathara Katong, yang juga masih memiliki darah keturunan raja terakhir kerajaan Majapahit. Hingga kini sosok terus melegenda.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top