Sedang Membaca
Mencari Kebahagiaan di antara Fikih dan Tasawuf
M Faizi
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Pesantren Annuqoyah, Sumenep

Mencari Kebahagiaan di antara Fikih dan Tasawuf

Mempelajari tasawuf bukan sesudah fikih, apalagi sebelumnya. Fikih dan tasawuf dipelajari dan diamalkan bersama-sama. Mempelajari tarekat bukan pula sesudah tuntas mempelajari syariah/syariat, apalagi sebelumnya. Syariat dan takekat dipelajari dan diamalkan bersama-sama. Di atas itu, keduanya tidak dapat dipelajari salah satunya, melainkan dua-duanya. Apakah kedua-duanya saling melengkapi?

Bukan melengkapi karena keduanya sudah ‘selesai’, hanya saja ia berbeda tetapi satu dalam tindakan, seperti napas dan hembusannya.

Pada saat kita mempelajari (kitab-kitab) tasawuf bukan berarti kita sedang menjadi sufi, atau malah sudah (merasa) sufi, lebih sial kalau sampai mengaku sufi. Mempelajarinya adalah belajar dan upaya dalam merintis jalan kebahagiaan menuju kehidupan ukhrawi, itu intinya. Kata kuncinya adalah kebahagiaan setelah mati.

Adapun belajar fikih adalah upaya mempelajari jalan hidup keseharian yang benar dan sesuai dengan tuntutan dan ajaran syariah. Artinya, melalui fikihlah kita dapat merasakan betapa Islam itu mudah diamalkan karena begitu banyaknya pendapat yang memberikan kemudahan-kemudahan.

Mempelajari fikih bukan pula untuk menjadi pakar (faqih), melainkan untuk tahu dan mengamalkannya. Itulah target utama. Tersiar dalam banyak kisah keteladanan: Orang-orang dulu belajar atau mengaji untuk tahu ini dan itu. Langkah seterusnya adalah mengamalkannya untuk diri-sendiri.

Mereka tidak sampai ke tingkat penguasaan materi demi mengajarkannya kembali kepada orang lain. Ini adalah tingkat yang tinggi. Tak heran jika Al-Ghazali mengiaskan gambaran ini dengan pernyataan; “Memberikan nasihat adalah ‘zakat’ dari kemampuan untuk mengamalkan pengetahuan. Dan aku merasa masih belum mencapai cukup ‘nisab’ untuk memberikan nasihat.”.

Baca juga:  Bercermin, Semuanya karena Kemurahan Allah

Terkait “mempelajari untuk menyampaikan ulang” ini, pernyataan sikap seorang Hujjatul Islam tersebut adalah sebentuk pernyataan sufistik karena kita sadar bahwa di mata khalayak, kaum muslimin pada umumnya, Al-Ghazali sangat cukup ‘nisab’ (kapasitas)-nya untuk mengajarkan ulang atau mendakwahkan ilmu yang dikuasainya.

Munculnya pernyataan semacam itu tak lain merupakan buah pengalaman perjalanan spiritual, yakni ekspresi tasawuf yang lahir dari sikap kehati-hatian dan tawaduk. Terselip pelajaran dasar di dalamnya: bahwa tugas manusia setelah belajar itu adalah mengamalkannya. Adapun meneruskannya kepada khalayak, kepada publik, adalah peringkat sesudahnya.

Saat ini, kita menemukan orang-orang yang belajar justru demi mencapai target yang kedua lebih dulu, yakni ingin segera menyampaikannya untuk orang lain. Menyedihkan jika target kedua sampai-sampai melupakan tujuan yang pertama yang justru adalah yang afdal dan utama, yaitu mengamalkannya.

Begitu pula, ada yang belum sempat belajar fikih—kecuali hanya mempelajari dasar-dasar dan itupun tanpa pengetahuan usul fikih, celakanya lagi ada yang tanpa guru, lebih celaka lagi bahkan membanggakan diri karena menganggap mampu mempelajarinya secara otodidak—malah langsung mendalami materi tasawuf.

Sudut pandang umum semacam ini adalah anggapan bahwa Islam itu mudah. Ya, memang betul begitu, tapi harus diingat bahwa produk hukum yang memudahkan ini lahir dari ulama yang menghabiskan waktu belajar dan tafaqquh-nya yang panjang dan rumit. Artinya, kita merasakan kemudahan karena menikmati hasil keringat mereka, bukan menciptakan produk hukum sendiri justru tanpa keringat sama sekali.

Baca juga:  Sabilus Salikin (89): Safar Tarekat Suhrawardiyah

Di sisi lainnya, tasawuf memberikan sentuhan kelembutan di antara ‘kekakuan’ produk hukum tersebut. Ia memberikan ‘kedewasaan’ dalam melihat keberagaman masalah (batin) manusia yang kompleks. Dengan keduanya, Islam menjadi luwes dan mudah diterima oleh pelbagai golongan.

Maka, dengan demikian, kita harus mempelajari fikih dan tasawuf sekaligus, bersama-sama, sebagaimana dicontohkan oleh Sayid Abdullah Alawi al-Haddad dalam Risalatul Muawanah, sebuah kitab dari khazanah lektur klasik abad pertengahan yang meracik kedua dalam satu tema: Kebahagiaan.

Kiranya, inilah yang oleh Imam Syafii digambarkan dalam dua bait puisinya sebagaimana termaktub dalam Diwan al-Imam As Syafii:

. فَإِنِّى وَحَقِّ اللهِ إِيَّاكَ أَنْصَحُ # فَقِيْهًا وَصُوْفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا
Jadilah kamu ahli fiqh dan tasawuf sekaligus, jangan pilih salah satu.
Demi Allah, sungguh aku hanya sekadar memberi nasihat kepadamu

وَهَذَا جُهُوْلٌ كَيْفَ ذُوْالجَهْلِ يَصْلُحُ ؟ #فَذَلِكَ قَاسٍ لَمْ يَذُقْ قَلْـبـــُهُ تُقـــــًى
Itulah tolok ukur. Jika tidak, dia tidak akan merasakan takwa
(dan cara ini jahil), sebab bagaimana mungkin si pandir kan jadi bijaksana?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Kalu seperti saya yang hanya tau dasar fiqih dan dasar tasawuf saja dan itu pun belajar dari buku dan literatur lainnya tanpa guru berarti saya tergolong celaka ya ustad? mengingat keterbatasan waktu dan kondisi yang sulit untuk belajar atau mencari guru…mohon jawabannya karena saya sangat tertarik untuk mendalami kedua ilmu tersebut, terimakasih.

Komentari

Scroll To Top