Mahasiswa di Universitas Sidi Mohammad Ben Abdillah Fes Maroko. Pecandu teh susu, tapi kalau adanya kopi susu ya diminum juga. Berusaha menjadi pembaca yang baik sekaligus ingin menjadi pendengar budiman. Semoga menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia .

Nasib Bahasa Arab di Maroko Zaman Milenial

Siang tadi, Mas Saiful Anwar datang setelah mengurus berkas untuk keperluan studi doktoralnya. Setelah sedikit basa-basi, langsung saja kutanyakan perihal disertasi yang akan ditulisnya nanti. Sebenarnya, tak ada maksud apa-apa, hanya ingin menyambung obrolan dari pada berhenti begitu saja.

Di sela-sela obrolan, saya begitu tertarik dengan argumen yang beliau sampaikan mengenai bahasa. Kurang lebih begini, “Bahasa itu tercipta dan ada karena kesepakatan yang terjadi antar masyarakat dalam lingkup sosial. Misal, bahasa Indonesianya ini (sambil menunjuk buku) adalah buku. Dan orang-orang bersepakat untuk menamakan benda ‘ini’ adalah buku. Maka terciptalah bahasa.”

Saiful Anwar adalah mahasiswa doktoral Program Linguistik di Univerzitas Mohammed I Oujda, kampus di bawah payung kementgerian pendidikan, bukan kementerian wakaf. Di kampus terbesar di kota Oujda itu pula program master, juga program Linguistik. Mahasiswa asal Bekasi, Jawa Barat ini sebelumnya kuliah S1 di jurusan Dirosat Islamiyah, UIN Jakarta. Pendidikan agamanya ditempuh di Pesantren Darussunnah asuhan almagfurlah Kiai Mustofa Ali Yakub. Selain itu rajin mendengarkan almaghfurlah Gus Dur menjelaskan kitab al-Hikam, di Pesantren Ciganjur.

Lantas obrolan berlanjut pada, “Hal ini berbeda dengan bahasa Arab, dirinya mempunyai susunan kalimat dan tata bahasa yang itu-itu saja. Sudah begitu dari sononya. Tapi ada beberapa kalimat yang mungkin tercipta dari kesepakatan masyarakat dan belum tercakup dalam kaidah bahasa.”

Baca juga:  Kain Ulos, dari Samosir Menembus Museum Swarovski Austria

Dari sini saya mulai mempertanyakan perihal bahasa Darijah Maghribiyyah (bahasa sehari-hari Maroko). Karena setahu saya, bahasa sehari-hari orang Maroko itu bercampur dengan bahasa Perancis, Amazigh bahkan Spanyol. Semua menjadi satu-kesatuan yang telah disepakati dan dipahami oleh masyarakat Maroko secara umum.

Mas Saiful dengan semangat menjawab, “Memang bahasa Darijah ini menarik. Terbentuk dari berbagai bahasa. Kita tahu bahwa dalam ilmu bahasa kita mengenal istilah muarrob (kata yang berasal dari bahasa asing dan diarabkan). Ada lagi istilah at-tadkhil atau ad-dakhili (kata yang berasal dari bahasa asing dan dipertahankan bentuknya tanpa mengubahnya menjadi Arab). Keduanya saling memengaruhi dalam sosial masyarakatnya.

Untuk contoh dari keduanya sangat banyak kita temukan dalam bahasa Arab. Seperti kata تلفيزيون. Ini merupakan contoh bentuk daripada at-tadkhil di atas. Bagaimana orang Arab berusaha mempertahankan bahasa asalnya. Tapi ada juga bentuk lain yaitu تلفاز yang mana para ahli bahasa berusaha mencari timbangan kata dalam bentuk Arabnya. Akhirnya mereka memasukkannya dalam wazan تفعالا dan sesuai dengan turunan kata dengan lafaz تلقاء.

Sementara dalam contoh bahasa Darijah, kita sering melihat bahwa untuk menyebut bahasa Darijahnya tutup adalah مسدود (masdud) bagi orang timur Maroko, seperti Rabat, Casablanca dan sekitarnya. Tapi berbeda untuk masyarakat barat Maroko, seperti Oujda, Aioun, dan sekitarnya, mereka menggunakan kata balaa’ yang katanya diambil dari bahasa Amazigh.”

Baca juga:  Meresapi Nilai Tradisi Sedulur Sikep

Menyoal disertasi yang akan ditulis oleh Mas Saiful sangat menarik. Beliau berusaha mengkaji kitab Shahih al-Bukhari secara mendalam dan menganalisis perubahan kata dalam periwayatan hadis di kitab tersebut yang bermacam-macam. Beliau mencontohkan dalam hadis امام عادل (imam adil). Lafadz Adilun ini dalam riwayat lain menggunakan redaksi العدل. Bagaimana seorang ahli bahasa menyikapi hal ini? Kurang lebih inilah yang bisa saya tangkap dalam obrolan ringkas ini.

Ada cerita menarik yang Mas Saiful tuturkan. Ketika ia mampir di salah satu warung di kota Aioun, penjaga warung menyuruhnya untuk membacakan beberapa ayat dari Alquran. Akhirnya dipilihlah surah al-Qiyamah. Setelah selesai membaca, bapak pemilik toko ini menyerahkan uang 200 Dirham. Ketika ditolak oleh Mas Saiful dan ditanya kenapa, bapak ini pun menjawab dengan nada miris:

“Saya suka bangga melihat orang yang belajar Alquran dan bahasa Arab, karena keduanya mulai dilupakan oleh orang-orang Arab sendiri.”

Di sinilah terdapat krisis identitas yang diresahkan oleh bangsa Arab sendiri. Mirisnya banyak kalangan yang kurang peka, orang-orang Arab mulai meninggalkan bahasa ibu mereka sendiri dan lebih bangga dengan bahasa asing. Mungkin mereka menilai karena tuntutan zaman milenial ini.

Beberapa waktu kemarin sempat ramai perihal penghapusan mata pelajaran Bahasa Arab dalam tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dan menggantinya dengan bahasa Darijah. Banyak kalangan akademisi, ulama, ahli bahasa bersuara bahwa hal ini harus dicegah. Karena mereka sadar bahwa hal ini akan berpengaruh pada identitas mereka sebagai bangsa Arab yang berbicara dengan bahasa Arab.

Baca juga:  Persamaan Abraham Lincoln dengan Soekarno dan Gus Dur

Rabat, 26 September 2018

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top