Sedang Membaca
Living Al-Qur’an dan Pesan Kemanusiaan (6): Tragedi 10 November
M. Amruddin Latif
Penulis Kolom

Santri Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam.

Living Al-Qur’an dan Pesan Kemanusiaan (6): Tragedi 10 November

Whatsapp Image 2020 05 05 At 2.47.01 Am

Di zaman perjuangan, kita patut kagum pada kegigihan nenek moyang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme. Jika diteliti secara cermat dan obyektif, semangat nasionalisme para pejuang tak lepas dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dari para kiai telah merasuk dalam sanubari umat Islam Indonesia. Apresiasi kita bukan hanya pada keberanian mereka mengangkat senjata sederhana melawan alutsista modern para penjajah. Kita seharusnya terinspirasi pada mental tangguh simbah-simbah kita, bagaimana raga yang telah terjajah sekian ratus tahun, sementara jiwanya masih kokoh.

Jiwa kesatria nan prawiro warisan leluhur Nusantara berpadu dengan kedahsyatan Al-Qur’an melahirkan generasi-generasi muslim Indonesia yang kuat bak batu karang. Segala bentuk penderitaan, intimidasi, dan tipu daya dari para penjajah tak menyurutkan kecintaan mereka akan tanah air. Para kiai dan santrinya yang terlihat lugu dan ndeso ternyata mampu melakukan perlawanan atas penjajahan. Melalui pesantren, para kiai mengajarkan Islam dan nasionalisme sekaligus. Kecintaan mereka akan tanah airnya tak perlu diragukan lagi. Pemahaman tentang agama yang melampaui teks melahirkan komposisi yang pas terhadap sudut pandang akan dunia dan akhirat. Jargon hubbul wathan minal iman, adalah bukti empiris ideologi yang menunjukkan kematangan dalam beragama mereka. Tidak sebagaimana di Timur Tengah, dimana ada jarak yang menganga antara ulama dan nasionalis, antara agama dan dunia. Juga tidak sebagaimana Bangsa Barat yang memisahkan bahkan membuang agama dengan praksis kehidupan.Kecerdasan para ulama Indonesia menggabungkan semangat beragama dan bernegara mampu memberikan daya guna yang optimal.

E.F.E Douwes Dakker mengatakan “Jika tidak karena pengaruh didikan agama Islam, maka patriotisme Bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh sejarahnya, sehingga mencapai kemerdekaan”. Harus ditegaskan bahwa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari kiprah pesantren dan umat Islam. Para tokoh pejuang kemerdekaan banyak yang terlahir dari rahim pesantren, yang dibesarkan dengan spirit Al-Qur’an.

Baca juga:  Pentingnya Belajar Fikih untuk Memahami Islam

Sejarah juga mencatat, tanggal 22 Oktober 1945 lahirlah sebuah fatwa jihad, yang disebut dengan Resolusi Jihad NU. Sebuah komando dari kiai yang kemudian membakar puluhan ribu pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia dari upaya penjajahan kembali. Pecahnya peperangan di tanggal 10 November 1945 di Surabaya adalah dampak dari resolusi jihad tersebut. Perang ini menewaskan 60.000 ribu jiwa dari Indonesia dan 1.500 serdadu terlatih Inggris, dua jenderal terbaik Inggris, yakni Jenderal Mallaby dan Jenderal Robert Menserg. Para kiai dan santri menjadi garda depan dalam mempertahankan eksistensi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Dalam peperangan 10 November 1945,barisan terdepan diantaranya KH. Zainul Arifin (Laskar Hisbullah), KH. Maskur (LaskarSabilillah), KH. Wahab Hasbullah (Barisan Mujahidin), dan PETA yang sebagian besar batalionnya dipimpin oleh para kiai.

Tak lupa peran besar Kiai Mahrus Aly Lirboyo atas sumbangan pikiran, tenaga, dan doa beliau. Bahkan dalam pertempuran 10 November tersebut, Kiai Mahrus memimpin sendiri 97 pasukan dari santri terbaik Lirboyo. Di Situbondo muncul KH Asad Syamsul Arifin, yang tergabung dalam Laskar Hisbullah Kompi II Divisi Timur. Di Jember, lahir Laskar Hisbullah pimpinan KH. Abdullah Shiddiq yang ditopang oleh KH. Jauhari Kencong dan KH. Fakih Lumajang. Di Mojokerto muncul Laskar Hisbullah di bawah pimpinan KH. Moenawair Ali.Tak lupa ada juga KH. Mukti Harun di Malang. Selanjutnya di Rembang ada KH. Bisri Mustofa yang ndalemnya menjadi titik kumpul para pejuang sebelum berangkat ke Surabaya.Kiai Abbas Buntet Cirebon misalnya, sebelum bertolak ke medan juang, terlebih dahulu beliau singgah di ndalem Kiai Bisri untuk kemudian berangkat bersama. Jangan lupakan juga jasa KH. Amin Babakan Cirebon yang juga berangkat jihad meski harus menjual 100 gram emas untuk kepentingan biaya perang.

Banner Aloya Ramadan

Yang menarik bagi saya, hingga saya tulis dalam esai ini adalah cara mereka melawanpara penjajah yang tergolong unik, ‘nekat’, dan ‘aneh’. Pertempuran 10 November 1945 mungkin menjadi satu-satunya perang ‘teraneh’ yang pernah terjadi di dunia, selain perang Badar. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang baru saja merdeka, dengan segala ketidaksiapannya, melawan negara-negara besar dengan alutsista lengkap dan pasukan terlatih?Bagaimana bisa bambu runcing dan sisa-sisa senjata api kepunyaan pasukan Indonesia yang dirampas dari Jepang, melawan tank, senapan, granat, dan senjata api milik para penjajah?Bukankah absurd santri di bawah komando kiai yang notabene ahli agama berperang melawan tentara pilihan di bawah pimpinan jenderal yang memang jago strategi perang? Kekuatan mana dan motivasi apa yang membuat para pejuang Indonesia mau dan mampu melakukan hal‘konyol’ itu?

Baca juga:  Tafsir Surah an-Nisa Ayat 122: Jalan Menuju Surga

Akan saya kemukakan hal aneh lainnya. Keterbatasan senjata yang dimiliki para pasukan, ditambah belum stabilannya perekonomian dan politik di Indonesia karena memang baru saja merdeka, tidak lantas menurunkan semangat para pejuang. Resolusi jihad berhasil membunuh ketakutan mereka, figur kiai telah sukses mengobarkan semangat mereka. Para kiai berhasil memberikan keyakinan kepada para pejuang, bahwa ada kekuatan di luar kemampuan manusia,yakni kekuatan Sang Jabbar. Mendekatkan diri kepada-Nya seraya mendekap kalam-Nya Al-Qur’an hingga muncul keyakinan bahwa tidak ada yang tidak mungkin, semua bisa terjadi atas kehendak-Nya.

Pertempuran 10 November 1945 memang didesain berlangsung ‘tidak biasa’,mengingat rasionalitas membentur batu karang, diplomasi yang menemui kebuntuan,perjanjian Renville dan Linggarjati yang merugikan, kondisi politik nasional yang belum stabil,carut marut ekonomi, dan terancamnya kemerdekaan. Para kiai dan santri pun menggunakan cara ‘aneh’ untuk menghadapi kehebatan militer penjajah. Seperti Kiai Sa’dullah Sidogiri yang membekali Laskar Hisbullah dengan berbagai ilmu, diantaranya Lembu Sekilan. Kiai As’ad dengan Minyak Kidang Kencana. Kiai Abbas dengan butiran-butiran tasbih yang sudah diasma’. Doa-doa ‘aneh’ serta berbagai kesaktian lain dikeluarkan para kiai dan santri dalam peperangan ini. Seperti; Asma’ Kurung, Pukulan Gelap Ngampar, Brojo Musti, Kulit Wojo,Asma’ Bandung Bondowoso, Asma’ Tangan, Asma’ Kurung, Hizb Nashar, Hizb Bahr, Hizb Autad, Hizb Badawi dll, Berbagai doa tersebut dirapalkan atau ditulis dalam bentuk aufaq. Jika kita teliti, di dalam doa-doa tersebut terdapat ayat-ayat Al-Qur’an, bukan serangkaian bacaan yang mengandung kesyirikan sebagaimana yang sering dituduhkan kelompok esktrimis tekstualis.

Baca juga:  Living Al-Qur'an dan Pesan Kemanusiaan (2): Masa Khulafaur Rasyidin

Perang dengan bermodalkan senjata suwuk memang tidak rasional, tapi memang demikianlah realitanya. Para pejuang menemukan titik keberanian dan keajaiban dari berbagai doa yang di dalamnya memuat bacaan Al-Qur’an. Para kiai dan santri berharap adanya kekuatan dari Al-Qowiyu sebagaimana yang Dia tampakkan dalam Perang Badar. Al-Qur’an memberikan kekuatan batiniyah para pejuang, hingga membuat kocar-kacir para penjajah. Kiai dan santri begitu yakin adanya kekuatan di luar kemampuan manusia. Mereka juga percaya janji Allah dalam ayat waqul ja’al haqqu wazahaqal bathil, innal bathila kana zahuqa, bahwa kebatilan akan musnah.

Uraian di atas hanyalah sebagian kecil saja dari perjuangan para kiai dan santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi pesantren, Indonesia adalah martabat dan harga diri. Merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah juga memperjuangkan kemanusiaan. Agama dan nasionalisme tidak pernah bisa dipisahkan. Bagi pesantren, kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan ada di Indonesia.

Kini Indonesia telah merdeka, para kiai dan santri kembali ke fungsi utamanya, yakni tafaqquh fiddin, nderes Al-Qur’an, mbalah kitab kuning, dan mengabdi pada masyarakat. Berbagai ilmu kesaktian yang pernah dikeluarkan dalam tragedi 10 November 1945 tersebut,saat ini kembali ke bilik-bilik pesantren. Ilmu-ilmu tersebut sampai kini masih dipelajari mesti dalam bungkus yang berbeda. Sekarang ilmu itu hanya menjelma menjadi wirid harian para kiai dan santri. Laskar-laskar itu bukan sedang tertidur, mereka masih terjaga, dan bisa saja kembali keluar bila Indonesia memanggil. Wallahu A’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top