M. Amruddin Latif
Penulis Kolom

Santri Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam.

Living Al-Qur’an dan Pesan Kemanusiaan (4): Masa Dinasti Abbasiyah

Whatsapp Image 2020 05 05 At 2.16.11 Am

Tidak ada salahnya kita sedikit bernostalgia tentang kejayaan masa silam, bukan untuk meninabobokkan, melainkan mengambil ibrah dari kegemilangan nenek moyang untuk kehidupan generasi yang akan datang. Dinasti Abbasiyah adalah potret kesempurnaan sebuah peradaban. Kegemilangannya diakui oleh sejarah, sumbangsihnya melintas zaman, kilaunya menandai sebuah perubahan ke arah yang lebih baik, serta sejuta prestasi lainnya.

Berbeda dengan Bani Umayyah, dinasti yang didirikan oleh Abdul Abbas As-Saffah ini lebih menitik beratkan pada keilmuan dan peradaban. Alih-alih melakukan ekspansi sebagaimana Umayyah, Dinasti Abbasiyah lebih memilih mempelopori gerakan penerjemahan karya para filosof Yunani ke dalam Bahasa Arab. Baginya, kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Dengan majunya Islam di berbagai bidang, dengan sendirinya akan menarik manusia di penjuru dunia untuk ‘melirik’ Islam. Dan benar saja, 5 abad lamanya mereka menguasai peradaban.

Adalah Abu Ja’far Al-Manshur, Harun Ar-Rasyid, dan Al-Makmun, 3 khalifah terbaik Dinasti Abbasiyah. Di bawah kekuasaannya, menempatkan dinasti ini pada puncak kemajuan. Arsitektur, ekonomi, militer, kebudayaan, pendidikan, pertanian, hukum, kesehatan, kemaritiman, dan lain-lain. berada dalam fase yang menakjubkan. Di era ini umat Islam begitu berwibawa di mata dunia. Baghdad menjadi kota yang jadi perhatian para penimba ilmu untuk belajar di sana. Kemerdekaan dalam konteks tulisan ini adalah merdeka dari kebodohan yang menghinakan, dikarenakan umat Islam di masa itu begitu mencintai ilmu. Tiga khalifah tersebut berhasil membawa umat pada tingkat kesejahteraan yang tinggi. Mengikis kesenjangan sosial, sesuai yang diamanatkan Al-Qur’an.

Baca juga:  Living Al-Qur'an dan Pesan Kemanusiaan (6): Tragedi 10 November

Banner Aloya Ramadan

Al-Qur’an dan Golden Age

Bukanlah berlebihan jika kejayaan umat Islam di abad pertengahan ini kita sejajarkan dengan The Greek Miracle nya Yunani, Renaisans Aufklarung nya Bangsa Eropa. Toh, sejarah mengakui itu. Masa keemasan ini adalah bukti bahwa Al-Qur’an membawa manusia pada kesuksesan asal ‘didekati’ dengan benar. Sinergi Al-Qur’an dan akal adalah sebuah keniscayaan. Al-Qur’an dan akal diletakkan dalam hubungan dialogis yang fungsional, bukan struktural yang subordinatif. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia hanya dimungkinkan bisa ‘diraba’ jika ia disejajarkan dengan akal. Hakikat Al-Qur’an billa sautin wa harfin tidak dapat diketahui esensinya bila tidak mendayagunakan akal.

Sesuai janji Allah yar’faillahu al-ladzina amanu minkum wa al-ladzina utu al-‘ilma darajat, bahwa Dia akan mengangkat derajat orang-orang berilmu, dapat kita saksikan di Dinasti Abbasiyah ini. Kemajuan berbagai keilmuan umat Islam berada di puncaknya, membuat derajat umat Islam begitu tinggi. Di masa ini belum dikenal dikotomi ilmu seperti hari ini. Belum ada demakrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Belum ada istilah ilmu untuk akhirat dan ilmu dunia. Para ulama paham betul bahwa semua ilmu hakikatnya satu kesatuan, penjelmaan dan perpanjangan saja dari ayat-ayat Tuhan, baik ayat yang tertulis, maupun yang tersirat dalam alam semesta dan dalam diri manusia sendiri. Inna fi dzalika laayati li qaumi yatafakkarun.

Selain ilmu-ilmu agama seperti; tauhid, tawasuf, fiqh, ushul fiqh, ulumul Qur’an, ulumul’ hadits, tafsir, tajwid, tarikh, dan lain-lain. Para ulama Dinasti Abbasiyah banyak yang menekuni bahkan menemukan teori-teori baru pada bidang ilmu-ilmu lain, seperti: matematika, filsafat, astronomi, kimia, sejarah, biologi, kedokteran, geografi, aristektur lain. Ribuan ulama hebat yang lahir di era ini, dengan karya-karya mereka yang sangat monumental. Imam Syai’i, Hanafi, Hanbali, Maliki, Bukhari, Muslim, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi, Al-Biruni, Jalaluddin Rumi, Hujjatul Islam Imam Ghazali, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Living Al-Qur'an dan Pesan Kemanusiaan (5): Gerakan Dakwah Wali Songo di Indonesia

Ghirah living Al-Qur’an surat Al-‘Alaq benar-benar bergema di masa tersebut. Membaca realitas dengan berbagai problematikanya membutuhkan integrasi keilmuan. Semangat tersebut teraktualisasi dengan maraknya gerakan penerjemahan, diskusi-diskusi, penguji cobaan di obervatorium, dan kepenulisan. Baitul Hikmah sebagai perpustakaan terbesar di era tersebut menyedot datangnya para pencari ilmu di berbagai belahan dunia. Ilmu dilahirkan untuk memberikan manfaat bagi manusia dan alam. Sebagai wasilah manusia untuk mengetahui hakekat kehidupan. Serta membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.

Hakikat ilmu yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an adalah ilmu yang dapat mengubah manusia ke arah yang lebih baik. Bukan menjadi alat bagi manusia untuk mewujudkan keinginannya. Akibat dari dikotomi keilmuan, hari ini kita suguhkan kenyataan yang membingungkan. Umat Islam menganggap hanya ilmu agamalah yang wajib dipelajari, mereka lebih suka kehidupan asketik, dengan menikmati kebahagiaan spiritual. Akibatnya, banyak dari mereka apatis terhadap pergolakan zaman yang terus berkembang. Menerima sebagai obyek kehidupan dengan dalih nerimo ing pandum. Fatalisme yang bersembunyi di balik kezuhudan.

Sementara, sains hari ini masih dikuasai oleh Barat. Seiring kehidupan manusia yang semakin modern, kapitalisme menggerakkan industrialisasi dan menentukan kehidupan manusia. Hari ini, ilmu telah bergeser fungsinya untuk kepentingan kapitalisme. Ilmu telah berpihak dan bekerja sama dengan rezim politik dan kekuatan militer untuk sebuah kepentingan ekonomi dan elite masyarakat baru atau new capitalism. Kemajuan iptek, ekonomi, politik dan militer dewasa ini, pada gilirannya banyak menimbulkan konflik dan bencana dimana-mana.

Baca juga:  Living Al-Qur'an dan Pesan Kemanusiaan (7): Ideologi Negara

Terakhir, kita perlu merenung secara mendalam. Menghayati makna-makna Al-Qur’an. PR kita bersama adalah mewujudkan kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu tanpa agama hanya akan menimbulkan kerusakan, sementara agama tanpa ilmu adalah ketidakberdayaan. Para ulama terdahulu mengajarkan pada kita makna sesungguhnya dari surat yang turun pertama kali, Al-‘Alaq 1-5. Wallahu A’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top