Sedang Membaca
Tirakat dalam Menulis Kitab
M Afifudin Dimyathi
Penulis Kolom

Alumnus Al-Azhar University Cairo Mesir jurusan Tafsir dan Ilmu al-Qur’an, lulusan terbajk se-Asia di pascasarjana Khartoum International Institute for Arabic Language di kota Khartoum Sudan tahun 2004 dengan predikat Cum Laude. Pada tahun 2007 lulus di Neelain University jurusan Tarbiyah Konsentrasi Kurikulum dan Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Kini sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang. pada tahun yang sama beliau meneruskan pendidikan S3 di al Neelain University jurusan Tarbiyah Konsentrasi Kurikulum dan Metodologi Pengajaran Bahasa Arab dan selesai tahun 2007.

Tirakat dalam Menulis Kitab

Para ulama memiliki tanggung jawab yang besar untuk memastikan transfer ilmu pengetahuan kepada generasi yang akan datang. Tanggung jawab inilah yang menuntut mereka untuk mendokumentasikan ilmu-ilmu yang diberikan Allah kepada mereka melalui guru mereka, pembacaan mereka maupun pencapaian spiritual mereka di sisi Allah.

 

Dokumentasi tersebut seringkali berupa tulisan-tulisan tangan mereka yang pada akhirnya nanti dicetak, diterbitkan dan dapat kita nikmati sebagai karya ilmu pengetahuan yang membantu kita memahami kehidupan dalam naungan agama.

 

Karena tanggung jawab yang besar inilah, para ulama sangat berhati-hati dalam mendokumentasikan keilmuan mereka, mereka menganggap menulis khazanah keilmuan haruslah selalu diiringi rasa takut kepada Allah dan harus selalu mencari petunjuk kepada Allah demi menjamin kebenaran dan keberlangsungan ilmu-ilmu yang mereka dokumentasikan. Menulis tidak boleh sembarangan, karena ilmu adalah amanat yang harus disampaikan, dan menulis adalah salah satu cara menyampaikannya.

 

Oleh karena itu, kita sering mendapatkan cerita-cerita tentang laku (baca: tirakat) para ulama ketika menulis kitab-kitab mereka. Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam al Nubala’ menceritakan bahwa  Imam Bukhari setiap kali akan menulis satu hadits, beliau mandi dan melakukan shalat sunnah dua rakaat.

 

Dalam sejarah Islam, bukan hanya Bukhari yang mengamalkan ini.  Imam An-Nawawi, sebelum menulis karya monumental Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, beliau melakukan shalat istikharah terlebih dahulu.

Baca juga:  Ulama Kita, Pegon dan Bahasa Melayu

 

Demikian juga Ibnu Hazm Al-Andalusiy, shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menulis kitabnya yang berjudul al-Muhalla bi al-Âtsâr. Bahkan Imam Adz-Dzahabi, tak lupa shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menulis kitab-kitabnya.

 

Ini dalam laku tirakat, untuk keikhlasan, para ulama kita juga tidak bisa diragukan. Mereka tentunya tidak pernah mengharapkan ada royalti dari kitab-kitab mereka yang telah dibaca oleh jutaan umat Islam, bahkan diantara mereka ada yang mempunyai cara khusus untuk menguji keikhlasannya, ini sebagaimana kisah Syekh ash Shonhaji yang diriwayatkan oleh Syeikh Ismail Bin Musa Al-Hamidi Al-Maliki dalam Khasyiyah ‘ala Al-Kafrawi, bahwa; ketika Syeikh Ash-Shonhaji selesai mengarang kitab jurumiyah beliau lantas pergi ke laut dan melemparkan karyanya tersebut, sambil berkata:

 

إن كان خالصا لله فلا يبل

 

“Jika kitab tersebut ikhlas (disusun) karena Allah Ta’ala, maka ia tidak akan basah.”

 

Dan benar saja, kitab tersebut masih utuh tanpa basah dan tanpa rusak. Hingga akhirnya saat ini kitab karya beliau itu bisa kita baca sampai sekarang.

 

Perilaku-perilaku para ulama inilah yang semestinya menjadi motivasi bagi kita untuk senantiasa berkarya demi kepentingan umat dengan hati-hati, ikhlas dan disertai rasa takut kepada Allah SWT. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top