مَنْ فَرِحَ بِدُخُولِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلىَ النِّيْرَانِ
“Barang siapa yang bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, maka Allah SWT akan mengharamkan jasadnya ke neraka.”
Barangkali hadits di atas yang termaktub dalam kitab Durrotun Nasihīn, “sohifah” tujuh, baris ke tiga dari bawah, buah karya dari Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khaubawi (w. 1224 M) begitu sangat relevan untuk menjawab tudingan bahwa tradisi munggahan tidak ada dalilnya, seperti yang kerap kali dilontarkan oleh anggota Jamiyyah Kamidalilen (JKD), sebuah kelompok yang kerap kali menanyakan “mana dalilnya?” untuk berbagai macam ibadah umat Islam, baik yang bersifat mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh selama ini.
Secara “lughowi”, “munggahan” berasal dari kata “munggah” (bahasa Jawa) yang berarti naik, sedangkan secara “istilahi”, “munggahan” dapat diartikan sebagai tradisi atau ritus sosial umat Islam Jawa dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan yang diisi dengan acara selametan atau kendurian, baik di masjid, mushola, atau di rumah-rumah warga sebagai simbol kebahagiaan serta kesiapan lahir batin umat Islam Jawa dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, agar derajatnya “munggah” hingga memperoleh predikat “muttaqīn”
Selain sebagai simbol kebahagiaan dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, tradisi munggahan juga dapat dijadikan sebagai media untuk bersedekah serta untuk mempererat tali silaturahmi antar umat Islam. Hal ini sesuai dengan anjuran ingkang jumeneng Nabi Muhammad saw. kepada umatnya agar senantiasa bersedekah kepada tetangga di sekitarnya. Sebagaimana hadits yang termaktub dalam kitab Sohih Muslim
إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِـيْرَانَكَ
“Jika engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu.” (HR. Muslim, no. 4758).
Nyaris tidak ada literartur yang menjelaskan kapan pastinya tahun pertama kali disyiarkannya tradisi munggahan di pulau Jawa. Namun demikian, jika dikaji dengan pendekatan histori-etnografi, besar kemungkinan ritus atau tradisi munggahan tersebut sudah ada sejak abad ke-16 Masehi, atau tepatnya sejak berdirinya kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Gusti Sinuhun Panembahan Senapati Danang Sutawijaya (w. 1601 M).
Panembahan Senapati Danang Sutawijaya yang mendapat lencana “senapati ing ngalaga” cum “satria kang pinunjung” — juga para Walisanga, serta raja-raja Mataram yang lain tentunya— dalam sejarahnya memang begitu terampil dalam memadupadankan antara tradisi dan inti ajaran agama Islam (manunggaling tradisi lan agami) sebagai salah satu metode dakwah penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Seperti tradisi-tradisi lainnya yang membersamai perjalanan umat Islam Jawa hingga dekade kedua abad XXI sekarang ini.
Semisal tradisi kenduri nisfu sya’ban yang diperingati setiap malam 15 bulan Sya’ban yang dibersamai dengan pembacaan surah Yasin dan juga do’a nisfu sya’ban dengan suguhan nasi tumpeng, sayur santan dan juga aneka rempah-rempahan yang merupakan simbol dari pengharapan umat Islam Jawa kepada Allah SWT agar segala amal ibadah mereka selama satu tahun menjadi catatan amal yang salih dan diterima oleh Allah SWT.
Selain tradisi kenduri nisfu’ sya’ban juga ada tradisi grebek maulid yang diperingati setiap tanggal 12 bulan Robiulawal yang merupakan simbol rasa syukur atas lahirnya ingkang jumeneng Nabi Muhammad saw, yang dikembangakan dan dilestarikan oleh kasultanan Mataram Islam hingga generasi penerusnya yaitu kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, serta tradisi-tradisi keislaman lainnya yang berjumlah ratusan tradisi yang tetap lestari hingga saat ini.
Umumnya tradisi munggahan digelar mulai dari H-7 hingga H-1 Ramadhan. Seperti yang tercermin dari tradisi munggahan yang dilakukan oleh masyarakat Islam Kabupaten Tegal yang notabene dulu adalah salah satu kadipaten —sebelum ahirnya terpecah menjadi dua kadipaten, yaitu kadipaten Brebes yang dipimpin oleh Arya Suralaya (w. 1683 M), dan juga kadipaten Tegal yang dipimpin oleh Tumenggung Sindurejo Pranantaka (w. 1679 M) — yang berada di bawah otoritas kekuasaan kerajaan Mataram Islam di bawah pimpinan susuhanan Amangkurat I yang mempunyai nama asli Raden Mas Sayidin (w. 1677 M).
Umumnya masyarakat Islam Kabupaten Tegal membagi tradisi munggahan dalam dua bentuk tatanan atau sistem. Ada yang melaksanakannya dengan menggunakan sistem kendurian di mushola atau masjid, dan ada juga yang menggunakan sistem slametan “door to door” atau dari pintu ke pintu rumah warga secara bergantian.
Sistem munggahan dengan kendurian di masjid atau mushola misalnya, hal ini dapat kita jumpai di masjid atau mushola di berbagai desa di kabupaten Tegal, tak terkecuali di mushola Al Kamal, yang terletak di desa Kalimati yang masuk dalam wilayah administratif kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal.
Biasanya masyarakat di lingkungan mushola Al Kamal menggelar tradisi munggahan setelah mereka melaksanakan sholat isya. Sebagai simbol sedekah, umumnya masyarakat membawa nasi ponggol yang kemudian dikumpulkan di mushola yang nantinya dido’akan dan kemudian dimakan secara bersama-sama.
Makan bersama di mushola juga merupakan bagian penting dari tradisi munggahan, yang merupakan salah satu inti dari ajaran agama Islam, yaitu silaturahmi antar sesama manusia (hablum minannās).
Untuk tradisi munggahan dengan cara “door to door”, dapat kita jumpai di tengah-tengah masyarakat dukuh Jatiragas, desa Wringinjenggot, — desa yang pernah dijadikan titik pertapaan ki Gede Sebayu (w. 1620 M) — kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal.
Biasanya masyarakat dukuh Jatiragas menggelar munggahan setelah mereka melaksanakan sholat maghrib, dengan terbagi menjadi beberapa kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari sepuluh hingga lima belas kepala keluarga (KK). Walaupun terbagi atas beberapa kelompok, namun masyarakat Jatiragas tetap guyub dan rukun, serta antusias dalam merawat tradisi warisan kerajaan Mataram Islam yang usianya sudah mencapai ratusan tahun tersebut.
Berbeda dengan munggahan dengan sistem kendurian di mushola, munggahan dengan sistem “door to door” ini terbilang singkat dan padat —untuk tidak menyebut “gelisan” — karena tradisi munggahan ini hanya berlangsung paling lama 15 menit untuk satu kali tarikan munggahan di rumah sohibul munggahan. Karena isi acara munggahan ini hanya pembacaan tawassul untuk ahli kubur sohibul munggahan yang kemudian ditutup dengan do’a, serta dilanjutkan dengan pembagian berkat munggahan. Dengan demikian semalam bisa empat sampai lima rumah yang saling bergiliran menggelar tradisi munggahan.
Ada pun isi berkat munggahan ini bermacam-macam, mulai dari nasi putih, lauk pauk, buah-buahan hingga kue cukit yang disiram dengan kuah gula merah. Dalam culture masyarakat dukuh Jatiragas, kue ini juga menjadi nama lain untuk tradisi munggahan, yaitu dengan penyebutan tradisi “cukitan”.
Kue cukit yang rasanya asam dapat diartikan sebagai simbol perjalan asamnya kehidupan manusia sebelum datangnya bulan Ramadhan. Kemudian siraman kuah gula merah dapat diartikan sebagai siraman nikmat serta pahala yang dapat dipanen selama bulan Ramadhan (baca: manunggaling tradisi lan agami).
Hal ini sesuai dengan apa yang pernah diungkapan oleh Abu Bakr Al-Balkhi yang termaktub dalam kitab Lathā’iful al-Ma’arīf halaman 234 baris ke sebelas, buah karya dari Zainudin Abi Faraj Abdurrahman rohimahullāh
شَهْرُ رَجَب شَهْرُ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سُقْيِ الزَّرْعِ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادِ الزَّرْعِ
“Bulan Rajab adalah bulan menanam, bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman dan bulan Ramadhan adalah bulan memanen tanaman.”
Dengan ikut melaksanakan tradisi munggahan itu artinya kita sudah ikut andil dalam menjaga, merawat, serta melestarikan tradisi warisan leluhur kita yang usianya sudah mencapai ratusan tahun tersebut.
Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan, dan umur yang panjang, hingga bisa melalui bulan Ramadhan 1442 Hijriyah ini, serta mendapat lencana “muttaqīn” dari Allah SWT. Amin ….