Sedang Membaca
Merasakan Alquran dengan Nyanyian
Syahirul Alim
Penulis Kolom

Penulis lepas soal agama, sosial, dan politik.

Merasakan Alquran dengan Nyanyian

Belakangan rasanya seringkali kita disuguhkan suatu cara pandang atas Islam yang tampak “keras”, “kaku” atau bahkan kering. Hampir sulit mendapatkan suatu kenyataan yang lebih lembut, kuat, sekaligus indah dalam ikatan simfoni kehidupan muslim yang menyegarkan.

Islam, terkadang dirasakan secara berbeda oleh penganutnya sendiri, ada yang cenderung merasakannya secara ketat dalam suasana khas “monolitik” yang terkadang diliputi semangat keagamaan sangat tinggi, namun disisi lain, ada sebagian besar diantaranya yang merasakan bahkan “merayakan” Islam secara kosmopolit melalui ragam kehidupan yang disesuaikan atau mengambil dari ajaran-ajaran Islam secara substantif.

Merasakan Islam secara kosmopolit, dengan menggugah nuansa kesadaran jiwa manusia, “melembutkan” bukan “mengeraskan” dan “mencairkan” bukan “membekukan” barangkali dapat dibaca dalam serangkaian peristiwa ketika pertama kali Nabi Muhammad melantunkan irama kehidupan yang begitu indah melalui Alquran.

Musikalitas Alquran yang mengalun begitu lembut dan indah, sangat dirasakan oleh pendengaran bangsa Arab, menelusuri jalur-jalur indrawi dan mendarat secara tepat ke dalam lubuk hati. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa nyanyian Alquran ketika pertama kali diperdengarkan kepada bangsa Arab, tidak saja mematahkan dan menenggelamkan realitas susastra yang paling hebat sekalipun, namun yang lebih penting, bahwa Islam dirasakan begitu menakjubkan sekaligus mengagumkan, memberi nuansa damai yang tiada tara, menyentuh hati dengan cara melembutkan dan mendamaikannya. Sekalipun seorang bernama Walid bin al-Mughirah atau Abu Lahab menolak mendengarkan lantunan Alquran, namun tetap mengakui bahwa keindahan tutur retorisnya sangat sulit untuk ditandingi oleh siapapun dan dalam bahasa manapun. 

Islam, tentu saja sejak awalnya menebarkan nilai-nilai kelembutan dan kedamaian bagi seluruh umat manusia melalui sumber aslinya langsung, yaitu Alquran. Kekaguman bangsa Arab terhadap Alquran, bukan pada aspek hukum atau nilai-nilai moralnya, namun lebih kepada nuansa musikalitas yang bernilai seni Maha Tinggi yang diperdengarkan secara teratur melalui lantunan ayat-ayat suci yang diperdengarkan oleh Nabi Muhammad. 

Baca juga:  Didi Kempot dalam Perspektif Antropologi

Pakar Alquran wanita, Bintu asy-Syathi’ menyatakan bahwa “Alquran adalah hati nurani kehidupan Arab”, sehingga segala hal yang berkait dengan nurani tentu saja kejujuran, kebenaran, kelembutan, dan kasih sayang. Segala hal apapun yang bertolak belakang dengan hati nurani adalah “kekerasan”, “kebodohan”, “kekakuan”, bahkan “kegelapan”, itulah sebabnya kenapa Alquran menyatakan dirinya sebagai “petunjuk” bagi umat manusia.

Kita tentu saja seringkali terusik oleh suatu kebisingan yang mengganggu pendengaran, bahkan tak jarang pada akhirnya kitapun tidak merasakan ketenangan yang berdampak langsung terhadap rusaknya seluruh aktivitas indrawi kita sendiri. Berbeda dengan Alquran, di mana baru lahir pertama kali dari mulut Nabi Muhammad, begitu dikumandangkan langsung menyedot alat pendengaran, hingga tidak beranjak sedikitpun. Bahkan, pendengar yang masih kafir sekalipun, tampak duduk menyimak lantunan dan nyanyian Alquran, hampir tak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya bahkan setanpun tidak sanggup menghentikannya.

Ilustrasi dari Bintu asy-Syathi’ begitu menarik, ketika ia menulis dalam bukunya, “I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah an-Nabawiyyah” bahwa  “pendengar itu seolah terbuai oleh alunan musik bahasa dalam susunan nada yang tertata dan tersebar merata di seluruh bagian jiwa; sepenggal-sepenggal dan senada-senada; seolah sedang melantunkannya dengan lantunan, bukan membacanya dengan bacaan”.  

Mungkin tak berlebihan sekiranya dikatakan, bahwa merasakan Islam melalui nyanyian justru dapat  memberikan nilai-nilai kesejukan yang diartikulasikan melalui nada-nada yang dihasilkan dari ayat-ayat suci Alquran. Akan berbeda hasilnya ketika menghayati Islam hanya dibatasi oleh pembacaan Alquran secara kaku yang pada akhirnya justru menghilangkan aspek-aspek estetikanya yang lebih penting, di mana keindahan dan keselarasan yang menjadi ciri dari struktur kalimat dalam Alquran diganti oleh kalimat-kalimat lainnya yang meluncur dari mulut-mulut pembacanya melalui bahasa verbal yang provokatif. Padahal, Islam yang terbangun secara sempurna melalui dimensi kesejarahan Alquran yang seringkali disebut sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad adalah karena gaya bahasanya yang sangat indah, elok, manis, dan cermin dari suatu kedamaian dalam bertutur. Aspek retorika (balaghah) Alquran diakui menjadi suatu nyanyian terindah di seantero bumi. 

Baca juga:  Agamaku dan Bedug

Memang, sisi musikalitas Alquran seringkali luput dari dimensi rasa atas mereka yang mengaku sebagai “para pembaca” Alquran sejati. Aspek keindahannya yang menentramkan dan mendamaikan justru tercerabut dari akarnya oleh sebagian pendakwah, para mubaligh, para ustaz yang belakangan semakin diposisikan sebagai “para penafsir sah Alquran”. 

Memang, sulit untuk dipungkiri, bahwa teknik pendekatan terhadap Alquran secara tradisional dalam dunia Muslim didominasi oleh dua kecenderungan: mereka sebagai “penafsir” (as interpreted) dan sebagai “pelantun” (as recited) sekalipun keduanya memiliki kesamaan pandangan dalam hal mendudukkan status Alquran yang disucikan. 

Para penafsir umumnya sukses menggabungkan nilai rasa dan intelektualitas sehingga mampu mengemas dan menghadirkan nilai-nilai ajaran Islam secara lebih segar dan berkeindahan, tetapi “para pembaca”—terlebih mereka yang sekadar membagus-baguskan bacaanya—yang justru belakangan kita seringkali saksikan pada penampilan para dai, hampir kehilangan dimensi keindahannya dalam aspek bertutur sekadar menampilkan simbol bunyi dan suara yang kering nilai-nilai etika. 

Kekuatan musikalitas Alquran dalam banyak hal akan melembutkan kaum penyimpang dan ateis yang berhati keras sekalipun serta mereka yang tidak mengenal ayat-ayat Allah dalam cakrawala semesta diri mereka akan luluh dan gemetar saat mendengarnya. Lalu, kenapa hal itu kadang tidak terjadi di masa kini? Apakah mereka yang salah dalam pembacaannya? Atau memang ayat-ayat suci sekadar “diperjualbelikan” dalam konteks bisnis keagamaan yang belakangan kian marak dan mendapatkan respon cukup tinggi di tengah masyarakat? 

Baca juga:  Nasib Penyair di Pasar Ukaz

Kemukjizatan Alquran sebagai realitas nyanyian paling indah dan menyenangkan bagi jiwa para pendengarnya tentu saja tidak hilang, tetapi pada kenyataannya banyak diantara kaum muslim yang sengaja atau tidak justru “melemahkannya” melalui berbagai pengungkapan retoris yang justru seringkali gagal dalam  menyampaikan keindahan dan kelembutannya kepada khalayak.

Merasakan Islam dengan “nyanyian” dengan memantapkan dan memperkuat kembali diksi kemukjizatan Alquran sebagaimana pertama kalinya “suaranya” menakjubkan bangsa Arab, rasanya diperlukan disaat Islam serasa “kering” dari suasana keindahannya sejauh ini. Kehadiran “sounscape” yang berasal dari artikulasi keindahan bunyi Alquran yang dibawakan para pendakwah semestinya dirasakan oleh semua orang, bukan wujud “noisiness” (kebisingan) yang justru memicu reaksi sosial yang serta merta membuat kegaduhan publik. “Suara yang dihasilkan Alquran berimplikasi luas, tidak hanya pada soal kekuatan nadanya yang menenangkan jiwa, namun keindahan dan wibawanya jauh menembus batas-batas kehidupan manusia, sebuah pengalaman yang tak tertandingi”, demikian Anne K Rasmussen ketika mengutip Kristina Nelson dalam bukunya, “Women, the Recited Quran and Islamic Music in Indonesia”.  

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top