Sedang Membaca
Mudik Santri dan Kedewasaan dalam Menyikapi Informasi
Dani Ismantoko
Penulis Kolom

Guru dan tinggal di Panjangrejo, Pundong, Bantul.

Mudik Santri dan Kedewasaan dalam Menyikapi Informasi

Santri1 Pesantren Al Falah Ploso

Banyak wali santri protes. Mereka memberikan usul supaya santri segera dipulangkan karena aturan pelarangan mudik lebaran, sambil menunjukkan infografis tentang pelarangan mudik lebaran yang di dalam tersebut disebutkan sanksinya. Dalam infografis tersebut disebutkan kalau ada yang mudik tanggal 24 April–7 Mei sanksinya disuruh putal balik. Dan kalau ada yang mudik tanggal 8-31 Mei sanksinya disuruh putar balik dan denda 100 juta atau penjara satu tahun.

Protes wali santri tersebut membuat saya beserta rekan-rekan saya pengelola salah satu pondok pesantren di Bantul merasa sedikit panik. Kami merencakan akan ada akhirussannah (acara akhir tahun ajaran untuk santri) tanggal 29 April dan penjemputan santri 1 Mei. Kami sedang melakukan persiapan terkait hal tersebut. Desakan beberapa wali santri sedikit membuyarkan proses persiapan kami. Terutama perihal apakah acaranya harus dimajukan atau tidak.

Dan tentu saja jika dimajukan akan membuat persiapan kami menjadi morat-marit. Dan salah satu akibatnya, mungkin saja acara akhirussannah yang rencana akan dilaksanakan secara daring tidak maksimal. Apalagi dilakukan secara daring. Dan kalau tidak maksimal, sangat mungkin wali santri akan protes lagi, “Kami sudah membayar iuran untuk acara tersebut, kenapa hasilnya tidak maksimal?” Kalau tidak dimajukan ada wali santri yang mendesak.

Baca juga:  Personalitas, Identitas, dan Komunitas

Dua hari setelahnya saya browsing tentang peraturan mudik lebaran. Tak ada lagi informasi seperti itu. Pelarangan mudik bukan 24 April-31 Mei tetapi 6-17 Mei. Dan tentang sanksi belum jelas seperti apa. Pada media lain saya mendapati informasi bahwa aturan mudik 2021 belum dibuat secara detail juga belum terbit edaran resminya dari pemerintah. Saya tidak tahu, apakah wali santri yang protes tersebut sudah tahu informasi tersebut atau belum.

Dalam kasus ini ada beberapa masalah. Pertama, pemerintah mengeluarkan wacana. Dan eksekusinya tidak gercep. Sampai saya menulis ini belum ada edaran resminya.
Kedua, media-media terburu-buru untuk menyebarkan informasi, berupa infografis pula. Sebagaimana yang kita tahu, infografis dengan tampilan menarik adalah cara yang sangat efektif untuk menyebarkan informasi. Ringkas, padat, jelas dan terlihat begitu meyakinkan.
Ketiga, masyarakat kita belum dewasa dalam mencerna informasi. Ketika ia melihat informasi dari sebuah media, mereka tidak sabaran untuk bereaksi. Tidak berusaha untuk riset, melakukan cek dan ricek. Padahal di zaman seperti ini, hal tersebut bisa dilakukan dengan mudah. Tinggal menggerakkan tangan untuk memegang smartphone, membuka browser, kemudian ketikkan saja informasi yang akan diriset.

Dari kasus sederhana tersebut kita jadi tahu bahwa di Indonesia wajar-wajar saja jika bias informasi sangat mudah terjadi. Dan wajar-wajar saja jika banyak sekali akun sosmed dan media-media terntu yang jika kita lihat dari postingan, status, tweetnya, tulisan atau videonya secara mudah kita bisa memastikan bahwa mereka buzzer—entah bekerja untuk siapa—yang menjadi pemain utama untuk membentuk opini masyarakat dengan memanfaatkan celah-celah berupa bias informasi tersebut.

Baca juga:  Pegon Jerman: Luput dari Penelitian

Bukan bermaksud menimpakan beban ke masyarakat. Namun, lingkaran setan tersebut akan bisa terpotong kalau masyarakat dewasa dalam menyikapi informasi. Karena apalagi yang bisa dilakukan masyarakat? Masyarakat tidak bisa sumber informasi, apalagi jika sumber informasinya dari pemerintah, juga tidak bisa mendikte media untuk menampilkan informasi seperti apa.

Saya sangat bahagia ketika dalam sebuah pelajaran Akidah Akhlak kelas VIII MTs ada tema Adab Bermedia Sosial. Bahagia karena ada semacam optimisme bahwa ke depannya masyarakat akan semakin dewasa dalam menyikapi informasi, karena sudah didik sedari sekolah. Dan optimisme itu semakin terlihat karena ada ternyata sudah dimasukkan dalam kurikulum yang diajarkan di lembaga pendidikan. Kendati spesifik ke media sosial, saya kira itu bisa dijadikan pintu masuk untuk menjelaskan tentang bagaimana menyikapi berbagai informasi yang kita lihat dari internet, entah dari media sosial atau bukan.

Namun, saya kira itu belum cukup. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah guru-guru yang mengajar sudah dewasa dalam bermedia sosial? Apakah orangtua mereka di rumah sudah dewasa dalam bermedia sosial? Kalau belum, tak gunanya ada pelajaran tentang adab bermedia sosial.

Maka selain siswa, saya kira guru-guru perlu dipastikan dulu untuk dewasa dalam bermedia sosial. Juga secara bertahap, orang tua siswa pun harus diberi pengertian supaya bisa bermedia sosial secara dewasa. Karena bagaimana pun, baik orang tua maupun guru, adalah pihak-pihak paling mungkin untuk membentuk generasi baru yang lebih baik dari generasi-generasi sebelumnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top