Sedang Membaca
“Jene-jene Sappara”, Upacara Adat yang Mengajak Bergotong-royong, Bersatu, dan Bertawakal
Hijrah Lail
Penulis Kolom

Dosen. Instagram @hijrahlailjentosela, FB: Hijrah Lail. Email ayoberhijrah8@gmail.com. Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat

“Jene-jene Sappara”, Upacara Adat yang Mengajak Bergotong-royong, Bersatu, dan Bertawakal

Jenejene1

Pengantar: Komunitas Generasi Literat yang didirikan aktivis Milastri Muzakkar menginisiasi kegiatan bertajuk #MerayakanMerdekaDariRumah. Kegiatan ini mengajak anak muda dari berbagai daerah untuk menggali kembali dan menuliskan nilai-nilai persatuan dalam kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia, yang sangat penting untuk dipraktekkan di masa pandemi.  Maka itu,  mereka disebut “Guide (virtual) Indonesia”, yang mengajak para pembaca untuk berwisata ke berbagai daerah. Generasi Literat memilih cara ini untuk merayakan merdeka dari rumah sebab kegiatan ini memiliki dua kekuatan: anak muda dan kearifan lokal. Keduanya adalah modal besar yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan maju. Nah, mulai Minggu, 16 Agustus 2020 hingga sepuluh hari ke depan, alif.id akan memuat karya para Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat. Dirgahayu Republik Indonesia. Salam literasi.

Di masa kini, di zaman ketika teknologi makin berpenetrasi dengan kehidupan manusia sehari-hari, kita semua harus beradaptasi. Banyak contoh kasus yang menunjukkan terjadinya pergeseran pola pikir dan sikap masyarakat  akibat globalisasi. Akan tetapi, seperti kata pendiri bangsa Bung Karno, Indonesia harus tetap berkepribadian dalam kebudayaan.

Kebudayaan adalah kekuatan bangsa dengan segala ragam kekayaan nilai, satu di antaranya dapat kita lihat dalam upacara adat dan kesenian. Oleh karena itu, kita perlu membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan keaslian kebudayaan tradisional bangsa, agar tidak “dilengserkan” oleh kebudayaan asing.

Keberagaman budaya Indonesia memiliki  daya tarik tersendiri. Kita tahu bahwa kebudayaan menjadi tolok ukur kreativitas dan produktivitas manusia dalam kehidupannya. Pembangunan kebudayaan ditujukan untuk mengingatkan harkat dan martabat  manusia, jati diri, kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri, kebanggaan nasional, serta memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan bangsa sebagai cerminan pembangunan yang berbudaya dan menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan.

Kali, ini saya ingin mengajak pembaca untuk mengenal tradisi di satu Kabupaten di Sulawesi Selatan, yakni Kabupaten Jeneponto. Jarak tempuh dari kota Makassar sekitar 90 km. Kabupaten Jeneponto memiliki kearifan lokal yang sangat terkenal, yaitu “jene-jene sappara”.

Upacara adat jene-jene sappara (artinya: mandi-mandi di bulan Safar) merupakan satu di antara  rangkaian ritual adat yang dilakukan dengan cara menceburkan diri secara bersama-sama di pantai Balangloe Tarowang. Ritual yang dilaksanakan sebelum masuk waktu salat zuhur ini telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu.

Baca juga:  Misteri Keris: Perpaduan antara Keperkasaan dan Kelembutan 

Awalnya, tradisi ini dilakukan sesuai dengan keyakinan masyarakat yang menganutnya secara turun-temurun. Upacara adat ini dilakukan sebagai  ungkapan rasa syukur masyarakat Desa Balangloe Tarowang atas segala limpahan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa.

Jene-jene sappara dilaksanakan selama satu pekan, ditambah dengan persiapanpersiapan upacara adat tersebut. Puncaknya dilaksanakan pada tanggal 14 Safar tahun Hijriah. Seluruh warga Desa Balangloe Tarowang, mengikuti upacara ini. Bahkan warga desa yang sudah merantau ke daerah lain pun akan pulang,  supaya bisa menghadiri kemeriahan upacara ini.

Lalu apa makna simbolik dalam jene-jene sappra ini? Tokoh masyarakat Desa Balalngloe Tarowang, Asiz Genda, mengungkapkan bahwa  jene-jene sappara merupakan salah satu ikon Kabupaten Jeneponto. Upacara adat ini terdiri atas serangkaian ritual, yakni a’muntuli riballa karaenga, a’lili, a’rurung kalompoang, dan pakarena. 

Rangkaian Jene-jene Sappara

Mari kita lihat satu per satu, termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam jene-jene sappara. Pertama, ammuntuli, yaitu mendatangi para karaeng-karaenga (bangsawan), turunan raja-raja Tarowang, dan para petinggi pemerintah Kabupaten Jeneponto, dengan tujuan memohon kesedian mereka untuk menghadiri upacara adat jene-jene sappara.

Jenejene2
Ammuntuli, satu di antara rangkaian ritual jene-jene sappara yang dilakukan dengan mendatangi para bangsawan (karaengkaraenga), turunan raja-raja Tarowang dan juga para petinggi pemerintah (Dok Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jeneponto)

Orang yang melakukan ritual ini biasanya adalah para gadis remaja yang menggunakan pakaian adat berupa baju bodo dan sarung sutera, atau yang dikenal dengan sebutan lipak sabbe.

Dalam perspektif interaksionisme simbolik, ritual ini merupakan simbol tersendiri bagi masyarakat. Ritual ammuntuli  adalah sebentuk penghargaan bagi para turunan raja-raja Tarowang atau para petinggi dari pemerintahan Kabupaten Jeneponto karena mereka diundang secara istimewa melalui tradisi ini.

Kedua, a’lili’, adalah ritual yang diadakan oleh pemuka adat yang disebut ta’bi, dengan melilitkan benang pada batang kayu yang telah ditancapkan ke dalam tanah sebanyak 12 buah. Batang kayu yang digunakan adalah kayu khusus yang dikenal dengan sebutan kayu baranak oleh masyarakat setempat.

Batang kayu ini ditancapkan di area upacara adat, tepatnya di pesisir pantai Balangloe Tarowang. Batang kayu baranak tersebut kemudian dililitkan sebanyak dua belas kali dengan benang yang telah disediakan oleh Sang tabbi.

Baca juga:  Merti Dusun, Metode Orang Jawa Berwudu dari Dosa

Sosok yang tidak hanya dikenal sebagai pemuka adat, namun juga dikenal sebagai dukun atau orang pintar oleh masyarakat setempat karena memiliki kemampuan untuk mengobati penyakit. Meskipun masih menggunakan metode tradisional berupa penggunaan obat dan ramuan dari alam.

Batang kayu baranak yang berjumlah 12 batang dan ditancapkan secara melingkar di atas tanah area acara ini diibaratkan sebagai manusia. Sementara rangkaian benang yang dililit pada sekeliling lingkaran batang kayu tersebut diibaratkan sebagai alat pemersatu masyarakat setempat sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan kelompok masyarakat yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas di antara mereka.

Ritual tersebut menggambarkan nilai integrasi sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Melalui pelaksanaan ritual itu, secara tidak langsung masyarakat mendapatkan pesan tentang pentingnya menjaga nilainilai integrasi di antara mereka. Sehingga  masyarakat sadar dan memahami bahwa mereka adalah sebuah sistem yang perlu menjunjung tinggi nilai solidaritas sosial di antara anggota masyarakat, khususnya yang berdomisili di Desa Balangloe Tarowang.

Ketiga, a’rurung Kalompoang, merupakan roh dari upacara adat jene-jene sappara. Ritual ini dianggap sangat penting. Dari segi bahasa, “a’rurungkalompoang” berarti pawai kebesaran. Sementara menurut istilah,  “a’rurungkalompoang” adalah  ritual yang dilaksanakan dalam bentuk pawai mengelilingi area upacara dan berakhir pada lingkaran batang kayu baranak.

Pawai ini diikuti oleh para pemuda desa setempat. Mereka yang terpilih sebagai peserta biasanya para pemuda yang berasal dari keturunan Kerajaan Tarowang. Pawai ini dilaksanakan pada puncak jene-jene sappara dengan menggunakan 7 hingga 9 ekor kuda sebagai tunggangan.

Para pemuda melakukan pawai dengan membawa bendabenda pusaka peninggalan Kerajaan Tarowang. Pawai ini berakhir pada prosesi mengelilingi kayu baranak yang telah melalui proses ritualisasi oleh tabbi. Ritual ini dikenal dengan istilah niburai.

Mereka berkeliling sebanyak tujuh kali hingga akhirnya berhenti pada area baruga adat (baruga panggadakkang), tempat pelaksanaan upacara adat tersebut. Benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Tarowang yang dibawa oleh para pemuda dalam tunggangan kudanya terdiri dari beraneka ragam benda pusaka, alat perang atau benda tajam hingga perlengkapan sehari-hari kerajaan.

Baca juga:  Kopi Hitam dan Islam Indonesia

Benda pusaka tersebut antara lain keris sang raja. A’rurung kalompoang sebagai salah satu rangkaian ritual merupakan bentuk pengejawantahan kepekaan sosial masyarakat untuk senantiasa menjaga stabilitas sosial masyarakat desa Balangloe Tarowang.

Jenejene3
Tari pakarena ditampilkan pada acara puncak jene-jene sappara. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sekelompok penari perempuan yang diiringi alat musik daerah yang disebut pui’-pui’ (Dok Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jeneponto)

Keempat, “pakarena” ditampilkan pada acara puncak jene-jene sappara. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sekelompok penari perempuan yang diiringi alat musik daerah yang disebut pui’pui’. Selain itu, tarian ini juga diiringi oleh tabuhan gendang dari para pemusik yang disebut pa’ ganrang.

Pakarena biasanya dilaksanakan di halaman rumah adat yang disebut baruga panggadakkang, yang terletak di pesisir pantai Desa Balangloe Tarowang, pada tanggal 14 Safar tahun Hijriah. Sebagai tarian tradisional, tari pakarena biasanya diselingi pula dengan lagu tradisonal yang berjudul pakarena.

Tarian ini dimainkan dalam 12 bagian. Tiap gerakannya mempunyai makna dan filosofi masing-masing. Posisi duduk menjadi tanda awal dan akhir dari tarian ini. Gerakan berputar yang mengikuti arah jarum jam menggambarkan siklus kehidupan manusia yang terus berputar. Sementara naik-turun melambangkan irama kehidupan yang tidak pernah mulus.

Ada saatnya seseorang berada di atas dan ada saatnya berada di bawah. Pola gerakan ini mengingatkan kita akan pentingnya kesabaran dan kesadaran manusia dalam menghadapi kehidupan, bahwa hidup tidak selamanya senang, bahagia, beruntung, dan sebagainya. Namun, manusia juga terkadang berada dalam kondisi sedih, susah, rugi,  sehingga manusia harus memiliki kesabaran tatkala  berada dalam

posisi yang tidak mengenakkan. Dan sebaliknya, tidak sombong ketika berada dalam posisi yang menguntungkan. Jadi, tawakal dapat dikatakan makna yang sesungguhnya dalam gerakan naik turun tarian pakarena.

Serangkaian ritual upacara adat jene-jene sappara, mulai dari ammuntuli, a’lili’, a’rurung kalompoang, dan pakarena mengajarkan tentang nilai-nilai gotong royong, saling menghargai, kebersamaan, suka duka, solidaritas, dan yang paling penting adalah filosofi tawakal dalam mengarungi kehidupan ombak kehidupan.

Hal ini juga bisa direalisasikan di tengah pandemi Covid-19 sebagai bentuk dari pengejawantahan kearifan lokal yang ada di Indonesia. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top