Sedang Membaca
Arab Saudi yang Semakin “Metro-Profan” (1)
Junaidi Abdul Munif
Penulis Kolom

Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Semarang

Arab Saudi yang Semakin “Metro-Profan” (1)

Arab Saudi kini berubah semakin metropolis. Negara ini di masa depan tidak hanya akan dikenal sebagai tempat ibadah haji dan umrah di Mekkah dan Madinah (baitul haramian), melainkan juga sebagai negara modern yang berbalut gemerlap lampu metropolitan.

Pada Maret 2017 Raja Salman berkunjung ke Indonesia. Kunjungan kenegaraan supermewah itu selain untuk bertemu Presiden Joko Widodo, adalah untuk liburan ke Bali. Raja Salman membawa 1500 orang, termasuk sejumlah menteri dan pangeran, dengan dua pesawat jumbo, lima pesawat badan lebar, dan sebuah pesawat Hercules yang mengangkut ratusan ton peralatan. Pesawat Raja Salman bahkan dilengkapi fasilitas khusus: eskalator dan lift (http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39171502).

Tepat setahun setelah kunjungan itu Arab Saudi akan menggelar 5.000 perhelatan di 56 kota. Total anggaran yang akan dihabiskan adalah Rp 882 triliun untuk satu dekade ke depan. Tujuannya agar warga Saudi tidak mencari hiburan di luar. Sebelumnya setiap tahun warga Saudi menghabiskan 20 milyar USD demi pelesir ke luar negeri (Kompas, 12/3/2018).

Perubahan arah ini terbilang “telat” dibandingkan negara Timur Tengah lain, seperti Qatar, Bahrain, Dubai yang jauh sebelumnya telah menyasar pariwisata. Qatar bahkan menjadi salah satu penyelenggara kejuaraan Moto GP dan Bahrain untuk ajang Formula 1. Namun, keterlambatan itu akan mampu disaingi oleh Arab Saudi karena mereka memiliki Mekkah dan Madinah yang akan selalu dikunjungi oleh umat Islam seluruh dunia.

Baca juga:  Menghormati Keturunan Nabi?

Minyak bumi sebagai sumber kekayaan negara itu suatu saat akan habis. Mengandalkannya sebagai sumber pendapatan utama negara tentu kesalahan besar. Lambat laun negara akan kolaps seandainya terus bergantung pada “emas hitam” (minyak bumi). Pendapatan dari kunjungan haji dan umrah dapat dimaksimalkan untuk semakin memantapkan posisi negara itu dalam kancah metropolisme dunia.

Maka pemasukan dari sumber lain dirancang matang. Sebuah hotel bernama Abraj Kudai yang dipastikan menjadi hotel terbesar di dunia memiliki 10.000 kamar, 12 menara, 70 restoran, convention hall, dan helipad di atap hotel (http://lifestyle.liputan6.com/read/2829583/mekkah-hadirkan-hotel-terbesar-di-dunia-dengan-10-ribu-kamar). Memandang Kakbah dari puncak hotel akan semakin terlihat kecil.

Wahhabisme  sebagai “modal”

Negara dengan Wahhabisme sebagai mazhab resmi tersebut selama ini dikenal dengan konservatisme keberislaman. Mereka melarang ziarah kubur, tawasul, perayaan maulid nabi, dan sufisme (tarekat). Di bidang muamalah (kehidupan sosial), mereka memberlakukan aturan yang ketat pada perempuan dengan membatasi kiprah mereka di ruang publik.

Sejarah memperlihatkan Dinasti Bani Saud dibangun dari puing-puing penghancuran situs-situs Islam. Hamid Algar dalam Wahhabisme; Sebuah Tinjauan Kritis (2011) mencatat aliansi antara Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabi) dan Muhammad bin Saud, -dibantu Inggris, memberontak pada pemerintahan Usmani. Ekspansi Wahhabi di semenajung Arab memakan korban 400.000 orang terbunuh dan luka-luka. Para gubernur melakukan amputasi terhadap 40.000-350.000 orang demi mengukuhkan kekuasaan keluarga Saud.

Baca juga:  Masyumi Reborn dan Romantisme Masa Lalu yang Selalu Gagal

Atas nama melindungi kaum muslimin dari kemusyrikan, makam-makam sahabat nabi dihancurkan. Bahkan kubah di makam Nabi di kompleks masjid Nabawi pun hendak dihancurkan. Namun secara misterius orang-orang yang akan menghacurkannya terjatuh dan mati. Vandalisme brutal ini yang turut menginspirasi ulama-ulama di Jawa membentuk Komite Hijaz yang dipimpin KH. Wahab Hasbullah. Implikasi dari Komite Hijaz adalah lahirnya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.

Di luar Arab Saudi, Islam yang dijalankan di negara itu oleh sebagian muslim dianggap sebagai Islam yang “benar” dan “murni” sesuai Alquran dan sunah. Pengagumnya di Indonesia menolak apa pun yang dinisbatkan pada budaya. Islam Nusantara yang tumbuh di Indonesia dianggap sebagai Islam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah saw.

Sumanto Al-Qurtuby, dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals Dhahran Saudi Arabia, ketika diundang Universitas Wahid Hasyim Semarang mengisahkan bagaimana Arab Saudi tidak lagi menggenggam nilai-nilai konservatif Islam. Masyarakat kita banyak meniru Arab Saudi dari sisi luarnya saja. Padahal masyarakat Arab Saudi kini mulai meninggalkan konservatisme dengan menghargai perempuan yang ambil bagian di ruang publik. Banyak perempuan Arab Saudi kini yang menjadi anggota konsul, pengacara, pemimpin redaksi.

Mungkin dari Wahhabisme-lah apa yang kita sebuat sebagai fundamentalisme Islam bermula, sebagai gejala programatik menjadikan doktrin agama tertentu sebagai satu-satunya dasar dan prinsip pengaturan seluruh bidang kehidupan masyarakat. Kondisi ini menegaskan tesis B. Herry Priyono sebagai titik temu fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Keduanya merupakan nafsu dalam diri manusia yang akan dijinakkan oleh nafsu lain. Yang dipuaskan melalui ketergantungan pada orang/bangsa/kelompok lain, -bahkan yang dianggap musuh-, melalui transaksi yang diakumulasikan dalam bentuk uang (Maarif, Vol. 6, No. 1, April 2011).

Baca juga:  India yang Kami Kenal

Boom minyak pada abad keduapuluh di Timur Tengah memberi berkah pada negara-negara kaya di semenanjung Arab. Dan Arab Saudi adalah contoh dimana dijalankan kapitalisme negara. Sumber kekayaan alam yang dieksploitasi negara, hasilnya dipakai untuk kesejahteraan rakya. Kapitalisme jenis ini menyebabkan rakyatnya menjadi “manja” dan tidak produktif karena kebutuhan mereka dipenuhi oleh negara (Ian Bremmer, 2011).

Wahhabisme menjadi “modal” bagi Arab Saudi untuk melenggang mulus menuju negara “metro-profan.” Ketiadaan situs-situs sejarah awal Islam membuat mereka tak memiliki “beban sejarah” untuk merawat nilai-nilai masa lalu. Pun dengan penolakan sufisme, -antara lain mengajarkan hidup zuhud (menjaga jarak dengan kehidupan duniawi)-, mereka tak perlu risau untuk mengejar/mencintai dunia (hubbuddunya).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top