Sedang Membaca
Tafsir Ulama Mesir Tentang Islam Kaffah, dari Sayid Quthub hingga Syekh Mutawwali Sya’rawi
Avatar
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di bidang Tafsir dan Ilmu Tafsir, Univesitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Mengajar di beberapa kampus. Sekarang tinggal di Kediri, Jawa Timur.

Tafsir Ulama Mesir Tentang Islam Kaffah, dari Sayid Quthub hingga Syekh Mutawwali Sya’rawi

Terma “Islam Kaffah” jamak dimaknai dengan menjalankan Islam secara total. Makna tersebut adalah sebuah simplifikasi (baca: mencari gampangnya saja) dari terma muslim kaffah yang merujuk kepada pemeluk agama Islam yang menjalankan agamanya secara total, bulat, atau sempurna.

Al-Qur’an surah al-Baqarah Ayat 208 ditengarai sebagai asal muasal dari makna ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (Terjemah Kemenag).

Tidak ada yang salah ketika kata as-silm dimaknai dengan (agama) “Islam”. Karena hampir semua penafsir memberikan penafsiran seperti itu atau paling tidak memberian peluang pemaknaan untuk itu, di samping makna lain, yakni “perdamaian”.

Demikian juga, bukan suatu kesalahan ketika diksi “masuk Islam secara keseluruhan” dimaknai menjalankan ajaran-ajaran Islam dengan utuh. Seorang ulama besar Al-Azhar, Syekh Mutawwali Sya’rawi dalam tafsirnya dalam memaknai ayat ini mengilustrasikan sebuah bangunan yang berdasarkan teori engineering berpilar lima, apakah mungkin bisa berdiri sempurna kalau pilarnya hanya tiga? Demikian juga pelaksanaan ajaran agama yang perintahnya misalnya lima kewajiban tapi yang dilaksanakan cuma tiga. Alih-alih bangunan itu berdiri tegak, justru dia akan roboh.

Bahkan secara lebih tegas, Syekh Azhar Al-Imam Muhammad Sayid Thanthawi dalam tafsirnya al-Wasith mengatakan bahwa ayat tersebut menyeru orang-orang yang beriman agar konsisten dalam melaksanakan semua ajaran Islam. Tidak melaksanakan sebagian, meninggalkan sebagian ajaran yang lain.

Yang salah adalah ketika ayat tersebut dimaknai sebagai titik pemisah antara Islam dan bukan Islam, sebagai parameter seorang muslim masih bisa dimasukkan dalam barisan Islam atau sudah keluar dari Islam, sebagaimana penafsiran Sayid Quthub dalam Fi Zhilalil Qur’an. Beliau mengatakan:

“Ketika Allah menyeru orang-orang beriman agar masuk Islam secara ‘kaffah’, Dia mengancam mereka agar jangan mengikuti langkah-langkah setan. Tidak ada pilihan kecuali dua. Masuk Islam secara ‘kaffah’ atau mengikuti langkah setan; hidayah atau kesesatan; Islam atau jahiliyah; jalan Allah atau jalan setan. Muslim harus tegas dalam bersikap, tidak boleh ragu, maju mundur di depan banyak jalan dan pandangan. Bagi mukmin tidak ada satu pilihan pun dari berbagai jalan hidup yang ada. Tidak pula mencampuradukkan satu jalan hidup dengan jalan hidup yang lain. Sama sekali tidak ada. Mukmin yang tidak masuk Islam secara total, tidak menyerahkan dirinya murni pada bimbingan dan syari’at Allah, orang yang tidak lepas dari bentuk apapun, jalan hidup apapun, syari’at apapun (selain Islam) maka dia telah menapaki langkah-langkah setan. Tidak ada jalan tengah, ada antara ini dan itu, tidak ada garis yang sebagian dari sini sebagian dari sana. Yang ada hanya haq atau kebatilan, hidayah atau kesesatan, Islam atau jahiliyah, jalan Allah atau kesesatan setan.”

Baca juga:  Renungan Surah An-Nasr: dari Urasan Politik hingga Jelang Ajal

Kenapa penafsiran demikian adalah salah? Paling tidak ada tiga alasan untuk itu.

Pertama, lafad musytarak (satu kata yang bermakna lebih dari satu) harus diakomodir jika tidak bertentangan. Kata “as-Silm”, di samping mempunyai makna Islam, juga mempunyai makna “perdamaian”. Karena dua-duanya tidak bertentangan baik dari makna leksikal maupun konteks ayat, maka memilih salah satu dengan meninggalkan yang lain tidak bisa dibenarkan. Apalagi kalau pemaknaan kata “As-Silm” diarahkan pada Islam yang antonim dengan “Jahiliyah”. Oleh karena itu, penafsiran kata “as-Silm” yang ideal adalah Islam yang damai.

Demikian juga kata “Kaffah”. Para mufasir menerangkan bahwa kata tersebut bisa menjadi hal (adverb/keterangan) dari orang-orang beriman atau keterangan dari Islam/perdamaian. Untuk kemungkinan pertama maka yang dimaksudkan dan ditekankan adalah kebersamaan orang-orang yang beriman dalam berislam dan berdamai. Sementara kemungkinan makna yang kedua artinya masuk Islam dengan menjalankan seluruh ajaran-ajarannya. Dua kemungkinan makna ini benar adanya, oleh karena itu ayat tersebut bisa dimaknai sebagai perintah kepada orang-orang mukmin agar bersama-sama, bahu-membahu, saling mengisi dalam menjalankan semua ajaran Islam yang damai.

Al-Imam Muhammad Sayid Thanthawi (1928-2010) demi memadukan dua makna ini menafsiri bahwa maksud dari ayat tersebut adalah seruan kepada orang-orang mukmin agar berpegang pada semua ajaran-ajaran Islam dengan tetap menjaga tali persaudaraan yang telah diikatkan oleh Allah kepada mereka karena agama ini, saling mencintai bukan saling membenci. Demikian juga kepada orang-orang non-muslim, mereka diwajibkan untuk menebar kedamaian.

Kedua, perintah masuk secara total ke dalam Islam dan larangan mengikuti setan bukanlah hubungan sebab akibat. Dalam artian kalau tidak masuk ke dalam Islam secara total maka berarti mengikuti langkah setan. Penghubung dua kalimat dalam ayat tersebut (Al-Baqarah : 208) adalah huruf “wawu” yang berfungsi sebagai “athaf” (kata hubung). Artinya dua kalimat tersebut mempunyai kedudukan yang sama: sama-sama dikehendaki untuk dilaksanakan, baik dalam bentuk mengerjakan (untuk yang pertama) atau meninggalkan (untuk yang kedua).

Baca juga:  Mengapa Ustaz Abdul Somad Dicekal UGM

Para mufasir, semisal Syekh Tantawi menengarai bahwa kalimat kedua berfungsi sebagai sarana atau pelengkap supaya kegiatan masuk dalam Islam bisa berjalan dengan baik. Similar dengan itu adalah firman Allah Swt dalam surah Al-Baqarah ayat 168:

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”

Apa makna dari ayat tentang perintah makanan di atas? Artinya supaya kegiatan makan yang halal dan baik bisa sukses, manusia dilarang mengikuti langkah-langkah setan. Bukan kalau kamu tidak makan yang halal dan baik berarti kamu mengikuti setan. Ada dalam barisan Allah dengan makan makanan yang halal dan baik, atau ada dalam barisan setan.

Ketiga, melaksanakan Islam tidak hitam putih. Tidak dipungkiri bahwa Islam adalah agama yang mengatur semua aspek kehidupan. Baik secara tersurat terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, atau hasil dari ijtihad para ulama yang tersinari oleh kedua sumber utama Islam tersebut. Akan tetapi, melaksanakan ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang lain. Rasulullah saw sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim bersabda, “Binasalah mutanatthi’un”, beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. Imam Nawawi mensyarahi bahwa yang dimaksud “mutanatthi’un” adalah orang yang mendalam-dalamkan masalah agama, berlebihan dan melampaui batas, baik dalam ucapan atau perbuatan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw bersabda, “Agama Islam adalah mudah, Tidak seorang pun yang memaksakan diri untuk melaksanakan agama kecuali agama akan mengalahkannya. Tepatlah dalam melaksanakan agama (tidak berlebihan tidak pula abai), lakukanlah pendekatan (jika tidak bisa mengambil yang sempurna maka kerjakan yang mendekati), berikan kabar gembira.”

Ajaran Islam adalah maha luas. Tak seorang pun atau satu kelompok pun yang mampu melaksanakan semua ajaran Islam. Ketika ada kelompok yang merasa sudah melaksanakan ajaran Islam secara total (Kaffah) dengan menerapkan hudud jinayat (hukuman-hukuman untuk tindak kriminal) misalnya, maka bisa jadi mereka meninggalkan ajaran Islam yang lain, seperti mencegah kerusakan, toleransi, kesabaran.

Baca juga:  Gagasan Menyempurnakan Terjemah Alquran

Ketika suatu perintah Allah hendak dilaksanakan, maka harus dilihat adakah perintah lain yang harus dilakukan dalam waktu dan tempat yang sama, sehingga orang harus memilih salah satunya? Adakah pelaksanaan perintah itu berhadapan dengan madarat yang beresiko besar sehingga orang harus memutuskan untuk meneruskan pelaksanaan perintah itu atau mengurungkannya?

Maka demikianlah, perintah menjalankan agama secara total tidak berarti memaksakan diri untuk bisa melaksanakan semuanya. Apalagi kalau dilanjutkan dengan men-judge orang lain dengan keluar dari barisan Islam ketika tidak melaksanakan agama secara total. Itu adalah ideal, tapi realitanya manusia tidak mampu menjangkau semuanya. Bahkan di balik ketidakmampuannya, manusia juga bertingkat-tingkat kesalehannya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surah Fathir ayat 32:

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS Fathir : 32).

Inilah sistem jagat raya yang diciptakan oleh Allah Swt, supaya di sana ada orang yang berdosa lalu memohon ampun dan bertobat; dan Allah Yang Maha Pengampun mengampuni, supaya di sana ada orang yang giat beribadah sehingga Allah Yang Maha Kaya dan Pemurah memberikan kepadanya ganjaran, supaya di sana ada amar ma’ruf nahi mungkar antar manusia; supaya di sana ada jiwa sabar dan lembut dalam menghadapi pihak-pihak yang perlu disadarkan.

Sebagai penutup, ada ungkapan bagus dari Syekh Sya’rawi tentang ayat tersebut:

“Jadilah kamu orang yang masuk dalam kedamaian dengan semesta di mana kamu hidup. Dengan langit, dengan bumi, dengan hewan, dengan tumbuhan. Jadilah kamu berdamai dengan semua makhluk, karena mereka pada dasarnya ditundukkan untuk mentaatimu. Janganlah kamu berbuat menyimpang yang membuat mereka marah dan menjauhimu.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top