Sedang Membaca
Bom Mengerikan di Afghanistan dan Nalar Kekerasan dalam Islam
Irfan L Sarhindi
Penulis Kolom

Penulis lepas dan Guru di Pesantren Cianjur, Jawa Barat.

Bom Mengerikan di Afghanistan dan Nalar Kekerasan dalam Islam

Pada Rabu 21 November 2018, suatu peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di Kabul, Ibu Kota Afghanistan, mengalami serangan bom bunuh diri. Serangan mengerikan tersebut menewaskan tak kurang dari 50 orang serta lebih dari 82 orang mengalami luka-luka.

Dilansir dari CCN Indonesia, ledakan terjadi sekitar pukul 06.15 dan melahirkan asumsi belum tuntasnya kerja panjang Pemerintahan Afghanistan dalam mengakhiri perang selama 17 tahun di sana. Serangan ini juga semakin memperkuat label Kabul sebagai kota yang ‘berbahaya’ bagi warga sipil.

Saksi mata menyebutkan bahwa pelaku masuk ke ruangan yang diisi tak kurang dari 1000 orang, termasuk di antaranya para ulama dan cendekiawan Muslim Afghanistan, dan meledakkan diri di tengah lantunan ayat suci Alquran. Taliban membantah keterlibatan dan mengutuk aksi tersebut. ISIS yang memang persekusif dengan Syiah sebagai target sasaran juga belum terindikasi keterlibatannya. Sementara itu Presiden Ashraf Ghani menetapkan hari terjadinya pengeboman bunuh diri tersebut sebagai hari berkabung nasional.

Dus, serangan bom bunuh diri di perayaan Maulid Nabi menambah deret panjang catatan berdarah perjalanan ‘dakwah Islam’ dan peradaban komunitas muslim, tidak hanya di Afghanistan secara khusus, tetapi di dunia secara umum.

Kalau kita menengok pada sejarah Baitullah, misalnya, Pusat Masjid Suci dan kiblat seluruh umat Islam lintas-mazhab, perjalanan panjang Baitullah juga dinodai oleh tragedi kekerasan yang tidak kalah membasuh Kakbah dengan darah. Dan semuanya tidak dilakukan oleh orang kafir terhadap muslim, tetapi antar-sesama muslim.

Baca juga:  Sajian Khusus: Tradisi Natal dan Catatan Toleransi Umat Beragama

Taruhlah ketika terjadi konflik perebutan kekuasaan antara Ibnu Zubair dengan Yazid bin Marwan yang menyebabkan Ka’bah roboh oleh serangan pasukan Dinasti Umayyah. Atau pengepungan Masjid al-Haram pada 1979 oleh sebab ketidakpuasan terhadap rezim Ibnu Saud. Dan seterusnya. Belum lagi konflik Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah yang menjadi titik awal gesekan berabad-abad antara Sunni dan Syiah, yang tentu saja dalam satu dan lain hal mengakibatkan pertumpahan darah. Jangan lupa juga, dalam hal ini, cucu Nabi dibunuh secara keji.

Situasi demikian membawa narasi Islam ke dalam paradoks yang tidak terelakkan. Di satu sisi Islam menawarkan rahmat bagi semesta, cinta-kasih, pemaafan, kasih sayang, dan seterusnya. Tetapi di sisi lain, perjalanan panjangnya dipenuhi catatan kekerasan yang tidak jarang berdarah-darah. Jawaban yang biasanya ditawarkan untuk menenangkan kita adalah: Islam memang menawarkan cinta kasih dan keselamatan, tetapi perjalanan dakwahnya dipenuhi kekerasan dan darah oleh sebab ketidaksempurnaan muslim dalam menanggung beban moral dakwahnya.

Selain itu, munculnya nalar kekerasan juga biasanya dilekatkan pada bagaimana Islam kemudian dijadikan komoditas politik. Islam dijadikan alasan bagi seseorang atau suatu kelompok untuk melakukan sesuatu yang sifatnya persekusif dengan tujuan kekuasaan atau penguasaan.

Ambil contoh golongan Khawarij yang dengan dalih membela Tuhan dan membela Islam, melakukan kekejian dan pembunuhan yang tidak berpri kemanusiaan. Dalam konteks hari ini kita melihat bagaimana kelompok teroris semisal al-Qaeda, ISIS, hingga Laskar Jihad, menggunakan Islam sebagai justifikasi tindakan teror dan pembunuhan yang mereka lakukan.

Baca juga:  Mengapa Alquran Mengizinkan Perang dan Kekerasan?

Dalam sejarah panjang komunitas muslim dari Dinasti ke Dinasti, kita juga kerap melihat bagaimana perebutan kekuasaan dilakukan, salah satunya, dengan mengkonfrontir narasi kekerasan berjustifikasi dalil Islam. Ketika Abasyiah hendak ‘mengambil alih’ tahta dari Umayyah, narasi yang dibangun adalah bahwa kekuasaan politik pada mulanya adalah milik dzurriyah Nabi dan mesti dikembalikan lagi kepada dzurriyah Nabi. Masing-masing mengklaim sebagai ‘pilihan/wakil’ Tuhan dalam mengemban kekuasaan, dan merasa berhak merebut secara paksa kalau perlu dari pihak lawan.

Pertanyaannya kemudian, apakah benar nalar kekerasan Islam hanya dan/atau selalu berhubungan dengan politisasi Islam? Ataukah sesungguhnya ada celah yang memungkinkan nalar kekerasan tersebut dapat terus dimunculkan kendati sifat rahmatan lil alamin-nya Islam sudah menjadi jargon yang sangat, dan bahkan terlalu, umum sehingga dianggap klise dan gombal? Dapatkah Islam dimurnikan kembali kemoderatannya sehingga tidak menyisakan kembali ruang bagi seseorang untuk berpikir bahwa melakukan bom bunuh diri akan dihadiahi surga dan bidadari cantik jelita?

Jika kita melihat lima dimensi religiusitas Islam ala Charles Y. Glock, kita akan menemui bahwa semangat religiusitas seseorang itu diekspresikan sejak keyakinan, pengetahuan, pengalaman, ketaatan ritualistik, serta konsekuensi sekuler.

Kebetulan dalam Islam, religiusitas harus diekspresikan secara kaffah, tidak hanya dalam pelaksanaan ibadah mahdah tetapi juga aktivitas sehari-hari yang ghairu mahdah. Alhasil, prilaku Muslim dalam dimensi kegiatan sehari-hari (konsekuensi sekuler) itu akan senantiasa digerakkan, atau setidak-tidaknya diinspirasi, oleh dimensi keyakinan, pengetahuan, pengalaman, serta ketaatan ritualistik.

Baca juga:  Indonesia Tanpa Islam

Persoalannya adalah: dalam Islam, keempat dimensi penggerak dan penginspirasi tersebut tidak mono-wajah; tidak satu ekspresi tunggal dan manunggal. Alih-alih, ia memiliki beragam spektrum gagasan, ideologi, dan keyakinan, yang tidak selalu beririsan dan bahkan dalam banyak hal, bergesekan dan berpotensi menghasilkan tindakan ‘konsekuensi sekuler’ yang persekusif satu sama lain. Bahkan ketika dimensi-dimensi di atas tidak dipolitisasi.

Ambil contoh: bagi sebagian kalangan Sunni yang meyakini bahwa Syiah dan Ahmadiyah sesat, berbekal fatwa MUI, maka melakukan penyerangan dan (barangkali pembunuhan?) kepada mereka dianggap sebagai sesuatu yang baik, sebagai jihad, dan bukan kejahatan.

Dengan demikian, butuh upaya holistik menawarkan narasi alternatif untuk menggubah dan mengatur ulang konsep yang kadung dikultivasi dan didoktrinkan kepada generasi muda muslim. Salah satu caranya ya dengan mengimbangi narasi sejarah Islam dengan narasi-narasi sejarah yang sifatnya konstruktif bagi akhlakul karimah, dan jangan terlalu berfokus pada sejarah perang demi perang yang cenderung dijelaskan secara ahistoris dan tanpa penekanan fikih siyasah yang ketat dan pro-kemanusiaan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top