Sedang Membaca
Aksara Pegon: Dahulu, Kini, dan Nanti
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Aksara Pegon: Dahulu, Kini, dan Nanti

Beberapa waktu yang lalu telah viral di dunia maya unggahan KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) berisi sebuah gambar beliau sedang mengenakan kaos bertuliskan satu kalimat dalam bahasa Arab. Kalimat tersebut diberi terjemahan makna gandul khas pesantren dengan aksara pegon lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dengan aksara latin: “Aku kangen”.

Yang menjadi sorotan dalam unggahan tersebut adalah makna gandul yang digunakannya. Dari respon positif yang muncul dari pengguna sosial media, tampaknya cukup jelas bahwa Pegon mulai mendapat tempat di masyarakat yang awam. Keingintahuan mulai muncul. Hal itu memotivasi mereka yang bertahun-tahun telah mempelajarinya merasa tidak inferior lagi untuk menggunakannya secara luas.

Sebelumnya Gus Mus sendiri khawatir dengan keberlangsungan penggunaan aksara Pegon ini. Dalam sebuah pengantar kitab panduan Pegon karya Kiai Ichsan Sardi dari Pati, beliau mengungkapkan hal ini. Cukup lama kaum santri, mereka di masa lampau yang diyakini sebagai penggagas aksara ini, terutama setelah mereka di masa kini telah lama lulus dari pesantren, meninggalkannya dalam komunikasi tertulis harian mereka.

Lebih sering mereka menggunakan tulisan dengan aksara latin. Hanya setahun sekali mereka mempunyai kesempatan untuk melepas rindu dengan menggunakan kembali pegon, yaitu ketika “ngaji pasanan” diselenggarakan di almamater pesantren mereka.

Namun nampaknya kekhawatiran itu sedikit demi sedikit bisa dipupus. Pegon mulai mendapatkan momentumnya untuk dikenal dan digunakan kembali di masyarakat Indonesia. Akhir-akhir ini muncul gerakan untuk menghidupkan kembali penggunaan aksara pegon di luar proses belajar-mengajar di pesantren.

Di tataran akademisi, sebuah jurnal internasional yang menggunakan aksara Pegon sebagai aksara penyampainya telah lahir, yaitu The International Journal of Pegon: Islam Nusantara Civilitation. Jurnal ini rencananya akan diterbitkan dua kali dalam setahun. Tahun ini “volume 1 issue 1” telah terbit dengan 5 artikel berbaahasa Indonesia dengan aksara Latin, 1 artikel berbahasa Inggris, 1 artikel berbahasa Arab, dan 1 artikel berbahasa Indonesia dengan aksara Pegon.

Tentu akan sangat diharapkan bila di terbitan selanjutnya, semakin bertambah jumlah artikel yang disampaikan dalam aksara Pegon.
Di tingkat yang lebih populer, kita melihat geliat kaum muda Nahdlatul Ulama menyemarakkan penggunaannya di media sosial.

Ambil sebagai contoh munculnya komunitas-komunitas Pegon di jagad Facebook, misalnya Komunitas Pegon yang berbasis di Banyuwangi. Dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah pembuatan kaos dengan menggunakan aksara Pegon yang dipakai Gus Mus yang penulis singgung di muka.

Kejayaan Masa Lampau
Sebuah aksara akan dianggap meraih kejayaannya apabila ia digunakan sebagai media tulis bagi banyak bahasa. Lebih lanjut, ia juga digunakan dalam masyarakat untuk menyampaikan beragam keperluan. Hal paling mudah sebagai pedoman adalah apabila aksara tersebut digunakan secara resmi oleh pemerintahan suatu masyarakat.

Baca juga:  Ulama Kita, Pegon dan Bahasa Melayu

Di masa sekarang, aksara latin adalah satu aksara yang paling luas digunakan untuk menuliskan beragam bahasa. Aksara ini menjadi jaya karena secara sempurna ia dapat menjalankan fungsinya sebagai wujud simbol visual dari beragam bahasa yang berbeda.

Di masa lampau, Pegon telah memenuhi syarat-syaratnya untuk meraih kejayaannya. Pegon sebenarnya adalah bagian dari aksara Arab yang telah dimodifikasi untuk keperluan banyak bahasa di Nusantara, termasuk di antaranya Jawa, Sunda, Madura, Bali, Melayu (dengan sebutan Jawi), dan sebagainya.

Pada awal kemunculannya, ia digunakan sebagai media yang sangat efektif untuk pembelajaran bahasa Arab bagi masyarakat di Jawa, misalnya, paling tidak sejak abad ke-16.

Kemudian pada masa-masa selanjutnya, Pegon digunakan sebagai aksara yang mandiri tanpa harus diikatkan sebagai terjemahan kata bahasa Arab. Dia digunakan sebagai media penulisan kitab-kitab suluk, serat, dan ilmu-ilmu agama pada umumnya, serta kisah-kisah wayang. Oleh karena itu, penyempitan peran Pegon telah terjadi apabila di kalangan masyarakat santri menilai bahwa fungsi dari aksara Pegon dibatasi hanya sebagai penerjemah antar baris pada kitab-kitab berbahasa Arab.

Pegon juga pernah digunakan sebagai aksara resmi oleh pemerintahan yang berkuasa di Nusantara. Bahkan pada masa kekuasaan Hindia-Belanda, aksara Pegon digunakan secara resmi oleh pemerintahan kolonial untuk menuliskan aturan yang ditujukan kepada penduduk tanah jajahan.

Jauh sebelumnya, Pegon telah menjadi aksara resmi beberapa kerajaan Islam di Nusantara, misalnya di Kesultanan Banten.
Kesultanan Banten merupakan salah satu kerajaan Islam yang menggunakan aksara Pegon, selain aksara Jawa, sebagai aksara resmi kerajaan. Banyak manuskrip-manuskrip yang berisi dokumen resmi kerajaan ditulis dalam aksara ini.

Kajian mengenai surat-surat Kesultanan Banten telah dikaji oleh Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten. Contoh lain yang bisa penulis sebutkan adalah sebuah manuskrip berkode LoR. 5598.

Manuskrip ini tersimpan di special collection di Perpustakaan Universitas Leiden. Ia berbahan kertas dengan total halaman 163. Susunan teks sesuai dengan penulisan Arab, yaitu dari kanan ke kiri dengan aksara pada umumnya adalah Pegon dan sebagian lainnya Jawa. Tepatnya yaitu pada total 64 halaman yang disusun dari kanan ke kiri dengan teks seluruhnya ditulis dengan aksara Jawa.

Dalam halaman 109 dan 87 terdapat kolofon bertanggal 1151 H/1738 M. Manuskrip ini pada mulanya adalah koleksi Kiyahi Feqih Najmuddin, hakim agung atau kadi di Kesultanan Banten, yang namanya disebutkan pada halaman depan naskah.
Dalam manusrkip ini terkandung beragam teks yang dikeluarkan secara resmi oleh Kesultanan Banten.

Salah satunya adalah Kitab Undang-Undang Kesultanan Banten. Teks ini terdapat pada halaman 108-163 dalam manuskrip tersebut. Teks ini ditulis dalam aksara pegon dalam bahasa Jawa. Berikut adalah gambar halaman 143 pada paragraf kedua yang mengandung aturan bepergian bagi orang Belanda (wong Walanda).

Baca juga:  Penghargaan Al-Ghazali yang “Dicuri”
Gambar 1 (Dok. Penulis)

Berikut (lihat gambar 1) adalah transliterasi dari teks di paragraph kedua tersebut:

Lan saperkara maning karsa dalem lamun wong walanda iku arep alulungan ing barang panggonaning alunga iku ora kena ora pangulu jejeneng dalem lan risyden iku pada jangji aweh weruh risyden iku ing pangulu jejeneng dalem iku supaya kawaruhana ing lantaraning wong walanda minggat lan wong walanda kang lumaku sabenere maka ora kena ora den anteraken dening Banten saparane lunga sahingga wus bali ing pondoke pajagane.

Artinya:
Dan satu lagi peraturan dari Raja bahwa apabila seorang Belanda hendak bepergian dari tempat tinggalnya, maka wajib bagi “Penghulu Dalem” dan “Residen” membuat perjanjian bahwa “Residen” tersebut akan menginformasikan kepada “Penghulu Dalem” supaya diketahui alasan dari bepergiannya orang Belanda itu. Juga bagi setiap orang Belanda yang hendak melakukan perjalanan maka wajib didampingi oleh (utusan Kesultanan) Banten sejak perginya hingga kembalinya ke tempat tinggalnya.

Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, aksara Pegon juga digunakan secara resmi oleh penjajah untuk menuliskan aturan-aturan yang mereka tujukan kepada penduduk tanah jajahan. Apabila rakyat tanah jajahan telah mengenal aksara latin, maka tentu pemerintahan kolonial tidak perlu bersusah payah untuk menuliskannya dengan aksara Pegon. Apa artinya?

Itu artinya, aksara Pegon telah digunakan luas di tanah jajahan Hindia-Belanda kala itu sehingga mereka mau bersusah payah menuliskan aturan-aturan itu dengan aksara Pegon. Berikut ini adalah sebuah aturan dari pemerintahan Kolonial Belanda yang dikeluarkan pada tahun 1822.

Gambar 2 (Dok. Penulis)

Berikut ini (lihat gambar 2) adalah transliterasi paragraf terakhir dari teks tersebut:

Bahwa pada sembilan hari bulan juli tahun seribu delapan ratus dua puluh dua (9 Juli 1822)/ demikianlah titah perintahnya sri paduka yang dipertuan besar Gurnedur Jenderal yang memegang/ perintah atas segala tanah india nederland bahwa sebab sah dengan nyatanya adalah tanda tangan/ tuan sekertaris jenderal terletaq dibawa(h) surat ini adanya./

Teks aslinya berbunyi:
Dinyatakan pada 9 Juli 1822 atas titah dari Paduka Gubernur Jenderal yang memerintah di seluruh tanah Hindia-Belanda. Surat ini sah dengan adanya tanda tangan dari Sekretaris Jenderal yang terletak di bagian bawah surat ini.

Menjaga Momentum
Momentum yang sekarang ini ada harus terus dijaga oleh mereka yang mencintai pegon. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, memang. Beberapa tahun yang lalu momentum yang sama sempat muncul dengan terbitnya majalah pegon, At-Turots.

Namun sayang majalah satu-satunya di negeri ini yang menggunakan aksara Pegon tersebut tidak bertahan lama. Menurut mantan pimpinan, pencetakan majalah ini menghabiskan dana yang tidak tertutupi ketika majalah itu diedarkan di pesantren-pesantren. Oleh sebab itu, selalu pimpinan kan mengeluarkan uang pribadi untuk menanggung biaya cetak seri berikutnya.

Baca juga:  Makkiyyah-Madaniyyah Versi Kisah Walisongo

Kisah majalah At-Turots tesebut yang akhirnya memutus gelora momentum Pegon tidak perlu terulang. Hal ini terwujud apabila secara filosofis kita mampu menjadikan kesadaran mengenai pentingnya menghidupkan Pegon di masyarakat menjadi kesadaran bersama.

Tentu saja akan sangat ideal bila semua santri ikut andil dalam proses ini, namun nampaknya mereka yang menjaga tradisi penulisan pegon-lah yang bisa diandalkan untuk memulai gerakan ini.

Nahdlatul Ulama yang merupakan organisasi bagi pesantren-pesantren yang masih menggunakan Pegon dalam proses belajar mengajar perlu melakukan pengarus-utamaan (framing) bahwa Pegon adalah salah satu hasil kebudayaan bangsa yang perlu dijaga.

Pada tataran praktis, perlunya penyeragaman tata-cara penulisan pegon untuk menuliskan bahasa Indonesia. Sistem tulis ini idealnya dilandasi atas kajian ilmiah yang kuat (scientifically sound) mengenai manuskrip-manuskrip pegon yang ada di nusantara.

Di dalam bahasa-bahasa daerah yang telah mengenal Pegon sebelumnya, sistem yang padu juga harus dibentuk agar ekspresinya bisa dilanjutkan terus-menerus dari generasi-ke-generasi. Tidak hanya pada tataran pemaknaan bahasa Arab di pesantren seperti yang selama ini terjadi. Hal ini diharapkan akan memungkinkan munculnya, sebagai contoh, cerpen dan puisi, sebagai contoh saja, dalam bahasa Jawa, Madura, Sunda, dan Bali yang hidup di masyarakat dengan aksara pegon sehingga bisa ditangkap oleh anak-anak masa kini.

Pada tataran akademis, apa yang telah dirintis oleh The International Journal of Pegon: Islam Nusantara Civilitation harus terus didukung. Manuskrip-manuskrip yang ditulis dalam aksara Pegon masih membuka peluang yang sangat luas untuk diteliti.

Tentu saja pemerintah daerah juga diharapkan dapat ikut andil dalam hal ini dengan menjadikannya materi pembelajaran yang diberikan sejak tingkat sekolah dasar, karena Pegon adalah wujud dari kebuyaan lokal yang muncul berabad-abad lamanya. Ambil sebagai contoh serat-serat yang lahir pada abad ke-17 di kebudayaan Jawa, seperti Kidung Rumekso Ing Wengi, yang juga dituliskan dalam aksara Pegon.

Pada akhirnya, gerakan ini tidak akan berhasil apabila masyarakat luas sendiri tidak mendukung. Oleh karenanya, usaha-usaha untuk mempopulerkan penggunaan pegon sangat dibutuhkan. Ia dapat mengambil bentuk sebagai aksara bagi penulisan papan penanda jalan dan pengumuman di fasilitas-fasilitas umum. Ia juga bisa diartikulasikan dengan pembuatan desain dekorasi pada pakaian yang menggunakan teks yang dituliskan dengan aksara Pegon.

Mengutarakan apa yang perlu dilakukan memang mudah, namun sangat susah untuk dilakukan, bukan?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Menurut hemat saya tradisi menulis Pegon akan punah. Apa sebab? Pertama, menurunnya perkembangan madrasah Diniyah. Di madrasah Diniyah (sekolah sore) inilah Pegon disosialisasikan k anak2. Sekarang madrasah Diniyah semakin berkurang karena anak2 atau orang tua mencukupkan ngaji di Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ). Sedangkan di TPQ anak hanya baca Qur’an, tdk ada tulis Pegon. Kedua, berubahnya mdrsah Diniyah menjadi sekolah formal (M.I). Ini semakin membuat tradisi Pegon hilang. Karena sekolah-sekolah formal lebih banyak menggunakan buku bertuliskan latin. Ditambah lagi sekolah formal lbh berorientasi pada ujian Nasional drpada penguasaan kitab yg menggunakn tulisan Pegon. Ketiga, berkurangnya tradisi ngaji posonan di kampung kampung. Dulu sewaktu sy kecil masih berlaku ngaji posonan di masjid atau di musholla kampung. Sekarang tradisi itu hilang. Maka menurut hemat saya tradisi Pegon akan surut jika tidak dikatakan akan punah.

Komentari

Scroll To Top