Sedang Membaca
Sufi dalam Bahaya

Sufi dalam Bahaya

Permusuhan mazhabi dan tidak adanya toleransi terhadap suatu ajaran, telah meminta banyak korban jiwa, dan telah menciptakan daftar martir yang cukup panjang dalam Islam abad pertengahan. Titik kulminasi atas penolakan terhadap kaum Sufi tentulah pada apa yang dikenal sebaga Sufi-Martir — sebutan yang diperkenalkan oleh Louis Massignon, pakar tasawuf asal Prancis, penyingkap-terpelajar tragedi yang menimpa Al-Hallaj yang dihukum mati secara mengerikan di Baghdad pada 26 Maret 922. 

Korban lainnya dari kekolotan yang kejam itu adalah Ayn Qudhat Al-Hamadhani (7 Mei 1131) di Hamadhan dan As-Suhrawardi Maqtul (1191) di Aleppo. Tetapi jangan pernah dilupakan, bahwa pembunuhan sufi juga terjadi di negeri sendiri yaitu Syekh Siti Jenar di Cirebon (atau Demak) pada akhir abad ke-15, Abdul Hamid Abulung di Banjar Kalimantan Selatan yang dieksekusi atas nasihat Muhammad Arsyad Al-Banjari kepada sultan Banjar Tahmidullah II, dan seorang pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani di Aceh yang dibakar sampai mati atas fatwa Nuruddin Ar-Raniri, mufti kerajaan Aceh saat itu (1638-44).

Bila dicermati, jarak waktu antara martirnya Al-Hallaj dengan Ayn Qudhat tak kurang dari 209 tahun, dan antara Ayn Qudhat dengan As-Suhrawardi Maqtul adalah 60 tahun. Jarak waktu ini menunjukkan tidak begitu kerapnya pembunuhan para sufi pada abad pertengahan.

Namun, fenomena mutakhir pembunuhan para sufi justru sangat mencengangkan, karena jarak waktunya kian mendekat dan bukan mustahil memang terdapat upaya sistematis dan terencana untuk membunuhi para sufi atas nama permusuhan mazhabi dan tiadanya toleransi atas kaum sufi.

Data menunjukkan, pada 24 November 2017, 305 jamaah Salat Jumat di Masjid Rawda di kota Bir Al-Abd, Sinai utara, Mesir, yang dikenal sebagai masjid sufi, tewas, dan 128 luka-luka. Pelakunya adalah kelompok ISIS (Negara Islam).

Baca juga:  Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan Rumi

Pada akhir 2016, Ansar Beit Al-Maqdis mengaku bertanggungjawab atas pembunuhan tokoh sufi tertua di Sinai Soliman El-Harez serta penghancuran dua tempat peribadatan kaum sufi.

Februari 2017, bom meledak di makam seorang sufi, Lal Shahbaz Qalandar, di Pakistan tenggara. Pada 2016, militan ISIS membagikan gambar tentang eksekusi seorang sufi. Pada tahun yang sama, Taliban, membunuh seorang penyanyi sufi Pakistan yang terkenal, Amjad Sabri. Pada tahun 2010 makam orang sufi lainnya Data Ganj Bakhsh (Al-Hujwiri, penulis kitab Kasyf al-Mahjub) dibom di Pakistan.

Seorang pemimpin muslim sufi, Mohammad Sahidullah, dicincang sampai mati dekat kota Rajshahi, Bangladesh utara pada 6 Mei 2016. Dia tampaknya dibunuh karena dianggap tidak sejalan dengan pemahaman Islam kaum ekstremis.

Nurjahan Begum, seorang perempuan sufi berusia 91 tahun digorok di rumahnya di Dhaka, Bangladesh, pada akhir Januari 2017. Kejadian ini merupakan kejadian yang ke-14 kalinya di Bangladesh seorang pemimpin sufi dibunuh sejak tahun 2013 dalam serangan-serangan yang didorong motif keagamaan.

Kaum sufi, yang mengikuti suatu bentuk mistikal Islam yang sudah dipraktikkan di Pakistan selama berabad-abad, telah diserang oleh para militan muslim Sunni garis keras. Seorang pengebom bunuh diri di salah satu dari tempat-tempat sufi yang tertua dan sangat populer di Pakistan menewaskan sedikitnya 10 orang di antaranya Muhammad Shahid, dan melukai 24 orang di timur kota Lahore di dalam suatu serangan yang diklaim oleh Taliban Pakistan.

Baca juga:  Bagaimana Kolonial Belanda Generasi Awal Melihat Islam Nusantara?

Rangkaian pembunuhan ratusan sufi itu terjadi antara 201o-2017. Jika pembunuhan atas Al-Hallaj atau Ayn Qudhat Al-Hamadani tidak melulu beralasan agamawi karena di dalamnya terdapat unsur politik, maka alasan keagamaan menjadi satu-satunya alasan yang diusung oleh kelompok ekstremis yang membunuhi ratusan sufi di antara 2010-2017. 

Peter Gottschalk, seorang cendekiawan dari tradisi Islam dan Hindu, menuturkan banyak muslim dan non-muslim di seluruh dunia merayakan orang-orang kudus atau sufi dan berkumpul untuk beribadah di rumah ibadah dan kuil mereka. Praktik semacam itu, bagaimanapun, tidak sesuai dengan ideologi Islam dari kelompok revivalis yang tidak toleran seperti ISIS. Sebaliknya, ISIS menemukan praktik-praktik ini mengancam ideologi mereka. 

Banyak sufi dilatih dalam “tarekat” di mana seorang mursyid dengan hati-hati membentuk murid. Rumi, misalnya, mendirikan tarekat Mawlawiyah yang terkenal sebagai “Whirling Dervishes” alias para Penari Sama’, sebagai ciri untuk penampilan khas mereka. Ini adalah ritual di mana praktik ini dipercaya dapat memperdalam hubungan mereka dengan Tuhan melalui tarian yang berputar-putar yang dimaksudkan untuk membangkitkan pengalaman religius.

Ketika beberapa dari para sufi ini wafat, rakyat biasa datang untuk menziarahi makam mereka sebagai tempat yang memancarkan “baraka,” sebuah istilah yang berkonotasi “berkat”, “kekuatan” dan “kehadiran.” Beberapa jamaah menganggap baraka sebagai pendorong doa mereka, sementara yang lain menganggapnya sebagai sebuah energi ajaib yang bisa diserap dari dekat sebagai sebuah tempat suci.

Mengapa kelompok seperti ISIS dengan keras menentang mereka? Gottschalk berpendapat, ada dua alasan: Pertama, beberapa sufi sengaja mengabaikan konvensi Islam dari rekan-rekan mereka, yang menyebabkan banyak orang di komunitas mereka mengutuk pandangan dan praktik mereka yang tidak ortodoks.

Baca juga:  Tiga Tingkatan Ulama Sufi Menurut Syekh Abdul Wahab Asy-Sya'rani

Kedua, banyak umat Islam, tidak hanya para militan, menganggap pengabdian suci yang dilakukan sufi hanya sebagai takhayul dan menyamakannya dengan penyembahan berhala. Popularitas di kalangan umat Islam dan non-muslim terhadap pemujaan makam telah memberi peringatan kepada banyak muslim konservatif. Sementara bagi kaum sufi, situs makam sufi menawarkan ungkapan dari Islam tentang apa artinya mencintai Tuhan.

Di Asia Selatan, lagu pujian khusus — ”qawwali “— dinyanyikan di kuil-kuil ini yang mengekspresikan nilai-nilai Islam dengan menggunakan citra dan dilakukan sebagai sebuah pengabdian. Di daerah lain, tradisi pengabdian lainnya telah muncul, sementara dzikir (memuja Tuhan dengan menyebut nama-nama Allah dan kata pujian) menjadi sangat populer.

Namun, terlepas dari ideologi dan tujuan yang berbeda yang membedakan mereka satu sama lain, kelompok Islam yang tidak toleran seperti Taliban dan ISIS menolak pemujaan yang mempratikkan tarian dan nyanyian sebagai praktik yang tidak Islami (oleh karena itulah alasan pembunuhan oleh Taliban, atas penyanyi qawwali terkenal di dunia Amjad Sabri). Dalam pandangan mereka, doa kepada makam sufi adalah penyembahan berhala.

Berkat ekspansi global dari kelompok revivalis Islam pada abad yang lalu, dorongan untuk mencapai keberagaman mutlak telah menjadi begitu kuat dan meluas. Keganasan serangan di Mesir, Bangladesh, dan Pakistan seperti tergambar di atas tidak hanya menunjukkan kekuatan keyakinan, tapi juga bagaimana ISIS dan ekstremis lainya sangat berpengaruh di dalam menilai keunggulan dan popularitas tradisi sufi.

Dengan satu kalimat pendek dapat ditandaskan bahwa: Sufi dalam bahaya!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top