Sedang Membaca
Temali Sang Mahayogi: Tentang Aliran Kepercayaan
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Temali Sang Mahayogi: Tentang Aliran Kepercayaan

Hampir 15 tahun lalu saya berkenalan dengannya. Kini usianya telah seabad lebih, 101 tahun. Ingatannya masih tajam, khususnya perihal prinsip dan paham ajaran yang ia pegang. Suaranya masih canthas. Dahulu beberapa kali saya memboncengnya dengan motor butut saya ke kali, 1 km dari kediamannya, untuk mandi menjelang pukul 12 malam, sebuah laku yang menjadi kebiasaannya selama ini.

Sekitar empat tahun lalu, ia pernah dilaporkan oleh pihak yang ia sebut sebagai orang fanatik. Dan kediamannya, yang sekaligus menjadi padepokan, ia pernah difitnah sebagai palonthen (tempat prostitusi).

Ia pun segera diinterograsi pihak kepolisian, ditanya perihal paham yang ia anut. Seingatnya, sang polisi itu juga menyeksamai setiap dinding kediamannya yang berhiaskan simbol paguyuban, foto-foto para pendiri dan pengurus paguyuban. Hingga matanya menatap satu foto yang menyebabkannya segera menelepon sosok yang bersangkutan.

“Mbah Niti itu guru saya,” jelas sosok yang tak lain dan tak bukan adalah seorang guru besar fakultas filsafat UGM dan pembicara publik: (Alm.) Prof. Dr. Damardjati Soepadjar.

Harda Pusara merupakan satu di antara beberapa aliran spiritual berbasis budaya Jawa yang pertama kali terbentuk sebagai organisasi. Adalah Ki Somacitra, seorang demang pembangkang asal Kemanukan, Purworejo, yang membidani aliran ini lahir.

Tercatat, seusai melakukan retreat sembari sembunyi dari buruan Belanda, ia turun gunung. Dan pernah singgah di Blitar, di kediamaan R. Soekemi, ayah sang proklamator RI, Ir. Soekarno.

Menurut Mbah Niti, kawruh yang dibabarkan oleh Ki Somacitra disebut sebagai “kawruh kasunyatan” yang kemudian diturunkan ke Gusti Pangeran Harya Natapraja dan berganti nama menjadi Harda Pusara. Adapun R. Soekemi beserta seorang yang saya sebut sebagai filosof Jawa, R. Soedjanareja, penulis Serat Kacawirangi, merupakan anak murid dari sang pujangga bohemian ternama asal Pakualaman Yogyakarta: R.P. Natarata.

Baca juga:  Fenomena “Nginggris” dan Politik Bahasa Kita

Ki Somacitra pun sebenarnya, sebelum memperoleh wahyu dan berganti nama menjadi Ki Kusumawicitra, sejak usia sepuluh tahun telah berguru pada R.P. Natarata. Jadi, R. Soekemi dan R. Soedjanaredja mendapatkan kawruh R.P. Natarata dari jalur Ki Somacitra.

Seperti kaum pergerakan di era kemerdekaan, Ki Kusumawicitra aktif pula di Masyarakat Teosofi. Dalam catatan, ia pernah berpidato di depan forum yang beranggotakan baik orang Indonesia maupun orang Barat. Tak hanya Mahatma Gandhi, ia pun juga pernah bersinggungan dengan Madame Blavatsky melalui Annie Besant.

Barangkali, banyak orang akan mengira apa yang dilakukan oleh sebagian orang Indonesia yang tergabung dalam Masyarakat Teosofi sebagai sebentuk sikap pro-Barat. Saya tak bertepuk ide dengan pendapat ini. Memang, tak terpungkiri, Masyarakat Teosofi kerap dicitrakan sebagai salah satu alat untuk menancapkan dominasi Barat di nusantara.

Saya kira orang mesti meletakkan keterlibatan Ki Kusumawicitra, dan kemudian penerusnya, Gusti Pangeran Harya Natapraja, setara dengan Soekarno, Hatta, ataupun Tan Malaka, perihal keterlibatan mereka dengan dunia dan khazanah Barat. Siapa yang tak pernah mengalami besutan tangan Henk Sneevlit, seorang komunis pertama di Indonesia? Orang mesti memandang, rasa internasionalisme mereka pada akhirnya justru melahirkan rasa nasionalisme.

Tengoklah Gandhi, persentuhannya dengan dunia dan orang Barat—termasuk dengan Annie Besant—justru menginspirasinya untuk membuat gerakan perlawanan atas penjajahan Inggris. Dan jelas, gerakan Gandhi berpijak pada ajaran spiritual tertentu. Dengan kacamata inilah saya kira orang mesti meletakkan Masyarakat Teosofi sekaligus kiprah Paguyuban Harda Pusara di masa kemerdekaan.

Dengan suara yang masih laras, sore itu saya juga berkesempatan untuk mendengarkan Mbah Niti nyekar (mendendangkan tembang) tentang hal-hal yang bersifat eksperiental.

Reregede dahana kang wus ngemasi
Welut wana kang mawa wisa
Sun kawula selawase
Ulerkambang araningsun
Ora betah pisah sesasi
Gelem pisah semaya mbesuk
Yen wis ana mahesa manak sangsang
Bayi lahir kang bisa sisi
Perawan anak sedasa

Sepupuh tembang bermetrum dhandhanggula yang penuh dengan kata-kata paradoks itu mengisahkan apa yang oleh para pertapa, wong akawruh, sanyasin, sufi, dan para pencari lainnya, disebut sebagai tirta amarta—yang sejatinya tak pernah hilang dan musnah, yang akhirnya istilah “mencari” dan “menemukan” pun menjadi tak bermakna lagi.

Baca juga:  Bagaimana Mendidik Anak Beribadah? Ini Jawaban Imam al-Ghazali

Dan barangkali beranjak dari hal-hal yang bersifat spiritual-eksperiental itulah kalangan penghayat kerap dicitrakan sebagai eskapis dan cenderung “lembek” ketika menghadapi penindasan ataupun ketakadilan.

Persepsi awam selalu mengaitkan aliran-aliran penghayat sebagai kawruh-kawruh kasepuhan, yang identik dengan orang-orang tua yang tak lagi punya daya gebrak untuk memberontak.

Ada satu kekhasan dari Paguyuban Harda Pusara: sifat klandestin yang terpatri hingga kini. Setiap anggota resmi mesti memiliki daya ingat yang kuat, sebab wirid-wirid yang merupakan warisan Ki Kusumawicitra dan Gusti Pangeran Harya Natapraja tak boleh ditulis, dan ada pula beberapa wirid yang mesti dideras dalam dan dengan kondisi khusus. Ada pantangan dan bendu seandainya paugeran (seperangkat pedoman) itu dilanggar.

Sifat klandestin tersebut merupakan kebiasaan ketika dahulu mereka selalu saja diintai oleh pihak Belanda. Maka boleh diartikan, sifat klandestin yang terpatri hingga kini merupakan bukti bahwa Paguyuban Harda Pusara sangat anti terhadap penindasan.

Ada satu cerita dari (Alm.) Prof. Dr. Damardjati Soepadjar, ia mesti berkali-kali menemui Mbah Niti di atas jam 10 malam. Keperluannya hanya satu: menghapal dan merunut kembali wirid-wirid yang telah diterima. Pada satu titik, itulah jejer dari seorang Mbah Niti di lingkungan Paguyuban Harda Pusara, khususnya di Yogyakarta.

Ajaran-ajaran khusus dari Sang Mahayogi Ki Kusumawicitra dan Gusti Pangeran Harya Natapraja hanya boleh berlangsung dalam ingatan (tulis tanpa papan). Padahal boleh dibilang, Paguyuban Harda Pusara merupakan salah satu aliran tertua di mana dahulu sebelum memperoleh “wahyu,” R.Ng. Soekinohartono—pendiri Paguyuban Sumarah—dan Pakdhe Narto—pendiri Paguyuban Pangestu—pernah menjadi salah satu anggotanya (Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah, LKiS, Yogyakarta, 2009: 30).

Baca juga:  Tunas GUSDURian (5): Gus Dur, Cadar, dan Cinta

Saya pun, ketika lama bersinggungan dengan aliran-aliran penghayat di Jawa, banyak menemukan persambungan antara satu aliran dengan aliran lainnya. Semisal, Gusti Pangeran Harya Natapraja, nama ini juga menggema di Paguyuban PAMU (Purwa Ayu Mardi Utama) yang berpusat di Banyuwangi. Dan yang perlu diketahui, Sang Mahayogi Ki Kusumawicitra juga melakukan retreat di belantara hutan Banyuwangi.

Aliran-aliran penghayat yang saya sebut di atas hampir semuanya bertolak dari sikap antipenindasan. Mereka semua melawan penjajahan dan memeiliki kontribusi nyata terhadap kemerdekaan Indonesia baik secara langsung maupun tidak. Aliran PDKK dan PAMU, keduanya didirikan pula oleh orang-orang buruan Belanda: Eyang Jimat Suryangalam Tambaksegara dan Kyai Ageng Jayapoernomo (“Matahari dan Rembulan Kemanusiaan”, Heru Harjo Hutomo, Majalah Adiluhung edisi 15).

Dengan menengok fakta-fakta sejarah tersebut, maka benarkah aliran-aliran penghayat yang berbasis budaya Jawa bersifat “lembek” dan berpangkutangan atas terjadinya segala ketakadilan? Upaya-upaya menutupi andil aliran-aliran penghayat dalam kemerdekaan Indonesia selalu saja dilakukan hingga kini. Tak pernah kontribusi mereka terekam dalam buku-buku sejarah mainstream. Alih-alih mengapresiasinya secara layak, dalam perjalanannya mereka justru sering mendapatkan diskriminasi, intimidasi, dan caci-maki (Agama Sipil dan Pecah Belah Ukhuwah Wathaniyah-Basyariyah, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org).

Akan sampai kapan negara-bangsa ini menganaktirikan orang-orang yang justru dahulu turut ikut melahirkannya? Tepat dua bulan lalu, Mbah Niti Pawiro resmi tutup usia, seturut dengan sedya-nya—di mana dalam Paguyuban Harda Pusara, seluhur-luhurnya sedya adalah Urip woring gaib.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top