Sedang Membaca
Surau, Minang, dan Para Tokoh Negeri
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Surau, Minang, dan Para Tokoh Negeri

Sejarah Indonesia memiliki halaman-halaman tentang tokoh dan tradisi keintelektualan dengan nafas keislaman. Kita bisa lekas ingat sosok Agus Salim dan Mohamad Hatta. Mereka dua ikon intelektual-politisi nasionalistik, sosok fenomenal dari Minangkabau: representasi intelektual dalam kultur surau. Tanggapan atas zaman dilakoni dengan belajar di sekolah modern dan surau. Dua jalan meniti pengetahuan modern dan agama, episode kecil dalam roman modernitas dan religiositas, biografi intelektual dan iman.

Kisah mereka dan kebermaknaan surau adalah nostalgia untuk menilik ulang format pendidikan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pendidikan mirip doktrin dan imperatif negara atas nama pencerdasan tanpa keberakaran. Kita sering silau dan pongah mendefinisikan sekolah adalah bukti misi memartabatkan negeri. Sekolah justru jadi kubangan masalah dan mozaik salah atas pemaknaan murid, guru, ilmu pengetahuan, karakter, dan iman. Sekolah menjelma antologi pengharapan tanpa ada kesadaran atas agenda semaian manusia-manusia cendekia dan memancarkan adab.

Kondisi sekolah ini bisa direnungkan ulang dengan membaca halaman-halaman historis tentang surau. Mahmud Yunus (1983) menduga kultur pendidikan surau muncul pada abad XVII. Tokoh pemula adalah Syekh Burhanuddin dan surau awal ada di Ulakan (Minangkabau) dengan agenda pembelajaran ilmu syariat.

Surau pun pelan-pelan menjadi tanda dari geliat peradaban di Minangkabau. Surau adalah identitas atas nama intimitas adat dan agama. Fungsionalisasi surau untuk pendidikan agama, sosialisasi, dan sebaran nilai-nilai kultural.

Peran surau menentukan arah dan ruh peradaban Minangkabau. Azyumardi Azra dalam Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (2003) mencatat surau sebagai pusat atau titik penting gelombang-gelombang perubahan dalam aroma agama, adat, politik, pendidikan, ekonomi, dan kultural. Surau adalah sistem, institusi, dan karakter untuk menggerakkan perubahan-perubahan signifikan. Surau kadang jadi ruang sengketa paham agama dan nalar kemodernan. Surau adalah saksi atas arus modernitas melalui pendirian sekolah-sekolah modern, kolonial, atau sekuler di Minangkabau. Surau jadi rujukan untuk membekali iman saat bocah-bocah di Minangkabau mengantarkan diri ke episode-episode modern.

Baca juga:  Khasiat Surah Al-Fiil (Bagian 5)

Kita bisa membuka lembaran hidup Mohammad Hatta untuk membaca makna surau. Hatta saat bocah menggerakkan diri belajar di sekolah dan surau. Pagi di sekolah dan malam di surau. Penjadwalan belajar ini memungkinkan Hatta mengenali spirit hidup dalam lumuran ajaran agama dan ilmu pengetahuan modern. Suluh hidup ini jadi bukti dari posisi masyarakat Minangkabau menjelang modernitas tanpa kehilangan ikatan iman dan adat. Hatta adalah representasi dari geliat Minangkabau dalam mendefinisikan diri saat masa kolonial. Hatta tumbuh dalam perbedaan sengit tentang makna sekolah dan mengaji. Ingatan-ingatan ini bisa jadi pembayangan kita tentang alam pikir bocah-bocah Minangkabau awal abad XX dalam pengaruh-pengaruh adat, Islam, dan modernitas.

Jeffrey Hadler (2010) menganggap bocah-bocah di Minangkabau sekolah sebagai agenda transformatif. Egenda kemodernan ini bersaing dengan pembelajaran di rumah dan surau. Destabilisasi nilai berlangsung sengit untuk menentukan identitas, konsep diri, dan pandangan dunia. Pendidikan Islam di surau dan pelajaran-pelajaran praktis menentukan pengalaman masa kecil dalam perjalanan menuju kedewasaan.

Peran itu diimbuhi oleh sekolah dengan nalar dan alur berbeda karena menarik bocah dalam gelimang nilai-nilai kemodernan. Geliat awal abad XX di Minangkabau ditandai dengan pendirian sekolah-sekolah sekuler dan reformis Islam dengan konsekuensi bocah-bocah melonggarkan diri dari ikatan adat di rumah. Surau pun perlahan menjadi dekorasi kultural dan agama untuk menggenapi lakon “kemadjoean”.

Baca juga:  Diaspora Santri (18): Diplomasi Santri Indonesia di Tiongkok

Makna surau juga bisa ditafsirkan dalam biografi Agus Salim. Masa kecil identik dengan surau. Agus Salim menempa diri sebagai manusia berlumuran iman dan ilmu pengetahuan modern. Fondasi dan nafas Islam dalam diri turut memberi ari atas biografi politik-intelektual. Surau dipancarkan sebagai referensi keislaman dan kemodernan.

Taufik Abdullah (1984) menjuluki Agus Salim sebagai kontributor kunci dalam pembentukan tradisi kecendekiaan Islam di Indonesia. Sebutan itu mengesahkan kebermaknaan surau sebagai modal perubahan-perubahan menakjubkan.

Surau memang nostalgia. Kita membaca itu dalam halaman-halaman biografi tokoh dan Minangkabau. Gerakan “kembali ke surau” usai kejatuhan rezim Orde Baru pun mirip romantisme masa lalu. Pembacaan produktif untuk memberi asupan reformulasi model pendidikan mutakhir tampak susah menengok ke surau.

Masa lalu kerap dijadikan lampiran pinggiran karena orientasi pendidikan kita cenderung memakai kadar pembaratan. Sekolah-sekolah distimulus untuk menjadi ruang bias sains, agama, karakter, imajinasi, dan kultural. Sekolah adalah ruang permainan dari nalar kapitalisme dan globalisasi dengan konsensus-konsensus kurikulum, modal, struktur administratif, dan birokratisasi. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0

Magrib di Surau Kecil Ajibarang

Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top