Sedang Membaca
Tanda Tangan Ronggawarsita, Kesombongan tanpa Kontroversi
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Tanda Tangan Ronggawarsita, Kesombongan tanpa Kontroversi

Pameran karya Ronggawarsita di Museum Radya Pustaka Solo (Foto: liputan6.com)

Syahdan, Sang Hyang Wenang yang telah menitis pada Sang Hyang Tunggal ingin memiliki anak. Maka dipujalah sebutir telur, yang dari kulitnya kemudian terciptalah Sang Hyang Antaga atau Tejamaya, dari dagingnya terciptalah Sang Hyang Ismaya, dan dari kuning telur terciptalah Sang Hyang Manikmaya.

Setelah dewasa ketiganya pun mulai memiliki keinginan untuk menggantikan kedudukan ayahandanya. Siapa yang lebih tua akan menjadi sang pengganti ayahanda. Ukuran ketuaan itu adalah kemampuan dalam menelan sebuah gunung.

Antaga mengawali perlombaan itu. Tapi lacur, mulutnya sobek karena tak mampu menelan gunung yang akhirnya menjadikannya buruk rupa. Ismaya mencoba menelan gunung itu. Ia berhasil menelannya, tapi gunung itu tak mampu ia muntahkan kembali. Gunung itu terbenam dalam perut Ismaya yang  menjadikannya laiknya seorang ibu yang tengah mengandung.

Maka, tinggallah Manikmaya yang tak beroleh apa-apa, tapi justru, atas keputusan sang ayahanda, mendapatkan apa-apa: kekuasaan di triloka.

Dari kisah endog jagat tersebut, karena ambisi dan sikap pamer yang melatarinya, siapakah sesungguhnya yang dinilai paling sombong? Logika banyak orang tentu akan menganggap Manikmaya yang paling rendah hati karena tak kebagian pamer.

Tapi ternyata tak demikian adanya, justru saya kira Ismaya adalah yang paling tua. Sebab, dengan ambisi dan kemampuannya untuk menelan gunung, gunung itu menghilang dan tak lagi menjadi sumber perebutan.

Bukankah hanya kesombongan yang dapat menghilangkan kesombongan? Bukankah hanya ambisi yang dapat menghilangkan ambisi?

Demikianlah yang juga menjadi pijakan pilihan sikap seorang pujangga terakbar Jawa, R.Ng. Ronggawarsita (banyak yang menulis Ronggowarsito). Di antara keseluruhan karya Ronggawarsita, saya sangat terkesima pada tanda-tangannya yang berbentuk seperti ular yang melingkar ke atas.

Dari tanda-tangan beraksara Jawa ini dapat terbaca sebuah penanda “Sang Bujangga” yang secara harfiah memiliki arti “ular.” Adakah yang istimewa pada secarik tanda-tangan, di masa silam, sebelum berbagai bukti administratif menjadi sebuah keniscayaan sebagai seorang warganegara yang normal?

Ronggawarsita memang satu-satunya pujangga Jawa klasik yang sudah mempergunakan tanda-tangan. Adakah hal ini pengaruh dari budaya orang-orang Belanda mengingat persingungannya yang rekat dengan orang-orang Belanda?

Yang jelas, tanda-tangan di Jawa pada waktu itu adalah hal yang tak lumrah. Bahkan, untuk menyebutkan nama pengarang saja pada sebuah karya dianggap sebagai sesuatu yang tak elok.

Baca juga:  Menjilbabi Nusantara

Tapi rupanya Ronggawarsita memberontak terhadap tradisi semacam ini. Selain tanda-tangan, “kebengalan” sang pujangga ini adalah dicantumkannya namanya secara tersamar, bersembunyi di sela-sela kata yang dituliskannya.

Nama yang tersamar ini lazim dikenal sebagai “sandi asma”. Para pemerhati kesusastraan Jawa klasik sangat paham akan anonimitas kesusastraan Jawa klasik (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, 2011).

Secara moral, sepertinya mengetengahkan nama pada sebuah karya adalah sebuah hal yang tak patut di masa lalu. Tak sekedar di lingkungan keraton, di luar keraton tradisi ini juga dapat dengan mudahnya ditemui.

Taruhlah Serat Gatholoco dan Serat Darmagandul yang konon ditulis oleh seorang misionaris Kristen yang pernah menjadi salah satu guru dari Kyai Sadrach, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Hal ini tak disebabkan karena kritisisme yang menjadi roh dari dua buah serat yang ditengarai berasal dari daerah Kediri tersebut.

Tradisi dalam kesusastraan Jawa klasik ini seperti halnya ajaran “khumul” dalam tradisi pesantren di masa silam. Secara teoritis, khumul merupakan ajaran yang tertera dalam al-Hikam: “Idfin wujudaka fil ardhi khumuli.”

Secara sederhana, kebiasaan ini seperti halnya seorang pandai atau berdarah luhur tapi dari penampakannya sama sekali tak menonjol. Misalnya Sunan Kalijaga yang pernah menyamar menjadi tukang rumput untuk menyadarkan Adipati Pandanarang. Kesan pertama biasanya akan menyepelekannya.

Dalam tradisi tasawuf kerap kita mendengar tentang kisah Nabi Khidhir ataupun para wali yang menyamar atau berpenampilan tak menyolok dengan alasan-alasan tertentu. Orang-orang seperti itu jamak disebut sebagai “wali mastur” atau wali tersembunyi. Banyak di antara mereka, ketika terbongkar, akan menghindar dan kembali menyembunyikan diri.

Para pujangga Jawa di masa lalu acap berkarya di atas sistem nilai yang mendasari ajaran dan laku khumul tersebut. Apalagi di lingkungan keraton, mereka akan memandang karya mereka sebagai karya-karya pisungsungan atau persembahan.

Banyak karya-karya sastra Jawa klasik yang kemudian dipersembahkan pada rajanya. Hal ini dilakukan karena raja di masa lalu dianggap pula laiknya titising dewa yang membawa berkah.

Ronggawarsita, di balik kejawaannya, sepertinya tercekik dengan tradisi semacam itu. Ia berupaya memberontak pada tradisi pisungsungan dimana, dengan melihat latar-belakangnya yang pernah menjadi seorang santri, memiliki kaitan yang erat dengan ajaran dan laku khumul.

Baca juga:  Membaca Sejarah Singkat Kopi

Karena hal inilah, bagi saya, Ronggawarsita adalah seorang pujangga bohemian laiknya para sastrawan era modern di masa kemudian. Tak sekedar faktor persinggungannya dengan Belanda yang notabene menjadi bagian dari peradaban Barat yang mengakui individualitas dan jeniusitas.

Saya kira jiwa bohemian Ronggawarsita memang merupakan pembawaannya sejak kecil dan kemudian diperkuat dengan pandangan tasawufnya yang bercorak lain.

Masa kecil Ronggawarsita, yang bernama Bagus Burham, sangat terkenal dengan kebengalannya. Ia adalah seorang yang cerdas dan di saat yang bersamaan adalah seorang pemalas yang bengal (Di Balik Gelar Santri dan Nama Besar Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, https://etnis.id).

Dikisahkan, bersama embannya yang setia, Ki Tanujaya, Burham seolah menjadi magnet tersendiri di pesantren Gebang Tinatar terkait dengan kelebihannya di samping sang kyai. Karena hal itulah sang kyai kemudian mengusir mereka berdua dari pesantren yang merupakan pencetak para punggawa keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Dari kisah tersebut sangat tampak bahwa Ronggawarsita kecil tak suka dengan tradisi khumul yang tak pernah ia sadari akan dapat mengancam posisi dan wibawa sang kyai. Dan ia memilih untuk minggat bersama Ki Tanujaya, meski kemudian sang kyai—karena pageblug yang terjadi di wilayah pesantrennya—memanggilnya kembali.

Ketika Ronggawarsita mengabdi pun sikap berontaknya tak surut. Kala itu ketenarannya seperti melebihi sang raja, yang pada akhirnya membuatnya menulis Serat Sabdajati, karya pamungkasnya, ketika ia pamit mati.

Dari kisah ini, tentu sikap Ronggawarsita yang seperti itu akan dinilai sombong dan akan menurunkan kualitas diri dan karyanya. Tapi rupanya takdir berkehendak lain, Ronggawarsita tetap tenar dan karya-karyanya bahkan sangat popular hingga perang kemerdekaan.

Diri dan karya-karyanya tetaplah dianggap bernilai dan bahkah karena “kesombongannya” itulah kesusastraan Jawa klasik menjadi mudah untuk diidentifikasi dan dipelajari. Apa yang disebut sebuah “kesombongan” ternyata sangatlah relatif dan tak selalu buruk terkait dengan akibatnya di masa depan.

Kekeraskepalaan seorang Ronggawarsita untuk diakui ternyata membuahkan hasil. Tak hanya dirinya yang akhirnya mendapatkan gelar sebagai sang pujangga panutup, kesusastraan Jawa era itu pun akhirnya dinilai telah sampai pada puncak masa keemasannya (renaissance).

Sungguh sederhana. “Kesombongan” Ronggawarsita yang berani membubuhkan tanda-tangan dan menorehkan namanya (meski samar) pada karya-karyanya, akhirnya mempermudah pengklasifikasian kesusastraan Jawa klasik yang terbiasa bersifat anonim.

Baca juga:  Ikhtiar Menyusun Pelajaran Tafsir yang Implementatif

Sikap Ronggawarsita yang demikian itu tentunya tak semata berdasarkan keinginan pribadi. Bayangkan, ia mesti melawan pandangan tasawuf tertentu atau sistem nilai pesantren sekaligus sistem nilai Jawa keraton yang telah sejak lama dilembagakan.

Sikap “dhewek” atau mandiri (mandireng pribadi) Ronggawarsita tak pelak lagi juga diperkuat oleh pandangan tasawuf jawanya yang bercorak wujudiyah.

Di Jawa pada dasarnya tak dikenal hirarki konsep diri sebagaimana dalam tasawuf yang tak berasal dari Jawa. Misalnya, konsep diri yang digaungkan oleh kalangan penganut tasawuf “pendatang”, yang diracik dari yang paling rendah hingga paling dianggap luhur.

Banyak orang akan menafsirkannya demikian karena diri-diri itu dimaknai sebagai sebentuk transformasi, sebagaimana konsep “hijrah”. Secara asosiatif, jelas, bahwa ketika orang berbicara tentang hijrah, maka ia tengah berbicara tentang keburukan dan kebaikan. Sebelum hijrah, masa lalunya akan dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan sesudah hijrah akan diidealkan sebagai sesuatu yang baik.

Hal ini, secara logis dan psikologis, tak urung akan menyebabkan perendahan dan penghakiman pada sesuatu yang lainnya. Saya kira pandangan atau penafsiran seperti ini justru terjebak pada konsep diri lawwamah yang suka menyesali dan mencela dirinya sendiri (wis wani wirang) yang sebermulanya ingin diatasi.

Karena hal inilah saya pernah membongkar pandangan dan praktik keagamaan yang secara sekilas, apalagi bagi orang awam, tampak laiknya spiritualitas Islam atau sufisme, padahal hal ini merupakan sebentuk penyamaran radikalisme Islam semacam HTI (Jalan Panjang Moderatisme, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Kebudayaan Jawa sebenarnya tak pernah meletakkan konsep diri seperti halnya dalam sipiritualitas Islam yang selama ini dimaknai. Ia meletakkan diri-diri itu secara sepadan. Kuncinya adalah pada keseimbangan di antara diri-diri tersebut (Kalacakra dan Penghayatan Waktu Orang Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Sebab apa yang disebut sebagai manusia—dan bukannya iblis atau malaikat—pada dasarnya terletak pada keselarasan dalam memfungsikan diri-diri tersebut. Raga memiliki kebutuhan dan penanganannya sendiri, sebagaimana jiwa.

Atas dasar pandangan itulah “kesombongan” seorang Ismaya dan Ronggawarsita yang menolak untuk bersikap khumul, dapatlah dipahami dan tak menjadikannya kontroversi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top