Sedang Membaca
Mengarungi Nusantara Bahari
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Mengarungi Nusantara Bahari

Mengarungi Nusantara Bahari

Bangsa Indonesia adalah bangsa maritim. Cita-cita menjadi negara maritim yang mandiri, kuat dan maju, mutlak membutuhkan bangsa yang berjiwa maritim. Langkah pertama dan utama adalah mengubah secara revolusioner mental budaya bangsa kontinental (daratan) menjadi bangsa maritim (lautan).

Sejak dini semua anak Indonesia, termasuk yang tinggal di pegunungan, harus dikenalkan dengan laut. Dalam mind-set bangsa maritim, “maritim” dimafhumi bukan sekadar sebagai realitas geografis, melainkan harus menjadi realitas jiwa dan karakter bangsa Indonesia.

Nahkoda sejarah maritim Indonesia, A.B. Lapian dalam karya klasiknya, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut (2009), telah tegas menyatakan bahwa Indonesia disatukan oleh laut, bukan dipisahkan oleh laut. Laut merupakan jembatan dan jalan raya (tol) yang menyatukan wilayah-wilayah dan kepulauan yang jumlahnya lebih dari 17.800 di negeri ini. Dengan demikian, mental budaya maritim menjadi identitas manusia Indonesia seutuhnya, yang menyatu dengan laut, bukan direduksi oleh nalar daratan.

Istilah ‘negara kepulauan’ merupakan padanan dalam bahasa Indonesia dari pengertian archipelagic state. Jika kita menyimak arti sesungguhnya dari kata archipelago, maka (menurut kamus Oxford dan Webster) kata ini berasal dari bahasa Yunani, yakni arch (besar, utama) dan pelagos (laut). Jadi, archipelagic state sebenarnya harus diartikan sebagai ‘negara laut utama’ yang ditaburi dengan pulau-pulau, bukan negara pulau-pulau yang dikelilingi laut.

Dengan demikian, paradigma tentang negara kita seharusnya terbalik, yakni negara laut yang ada pulau-pulaunya (Lapian, 2009: 2). Oleh sebab itu, perhatian terhadap aspek maritim bukan lagi merupakan hal yang pantas dilakukan, melainkan wajib mendapat prioritas istimewa.

Samudera Globalisasi

Seiring dengan globalisasi, perspektif kekinian kita tentang bumi pun berubah. Jika dulu bumi adalah bulat, kini bumi adalah rata (Friedman, 2006). Rata?

Ya, rata. Tapi bukan rata dalam pengertian para kaum“bumi datar”. Melainkan dalama pengertian bahwa kini hampir tak ada bagian di muka bumi yang luput dari jangkauan informasi yang begitu cepat. Nyaris semua terlihat, nyaris berlaku lagi sekarang frase “bumi bagian sana”. Semuanya berkat teknologi informasi.

Baca juga:  Sejarah Umat Islam: Wabah Semakin Parah Setelah Berkumpul untuk Doa Bersama

Dalam sudut pandang sejarah, globalisasi semacam itu bukanlah baru terjadi sekarang. Pertemuan budaya (cultural encounters) dengan Barat telah berlangsung seperti telah diperlihatkan ‘dunia’ Asia Tenggara, khususnya dalam abad ke-15 sampai ke-17. Sebagai konsekuensi dari perjumpaan kebudayaan itulah yang melahirkan pola peradaban Asia Tenggara terutama yang digerakkan oleh aktivitas perdagangan dan disebut sebagai ‘masa modern awal’ (Reid, 2004).

Dikatakan “modern awal” karena dalam periode itulah Asia Tenggara masuk ke dalam proses modernisasi, kemajuan dan globalisasi dengan karakteristik kapitalisme Barat.

Jika kita meneroka, sebenarnya aktivitas pelayaran bangsa kepulauan ini sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang kita. Wilayah kepulauan Nusantara yang terletak pada titik silang jaringan lalu lintas laut dunia, secara tidak langsung, merupakan penghubung antara dunia Barat dan Timur. Berbagai hasil bumi dari kepulauan ini, merupakan barang-barang yang menjadi komoditi oleh pasaran dunia. Hal ihwal itu, mengakibatkan munculnya aktivitas pedagangan dan pelayaran yang cukup ramai dari dan ke Nusantara.

Kepulauan Indonesia juga merupakan bagian dari suatu kesatuan daerah lalu lintas barang. Hubungan ini merupakan salah satu benang merah pemersatu wilayah Asia Tenggara. Kepulauan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia, sering diumpamakan sebagai sebuah jembatan antara kedua benua itu. Peran yang dilakukan oleh para pelaut Indonesia sangat signifikan bagi perkembangan bangsa Indonesia seperti adanya era kiwari (‘zaman now’).

Sebagai negara bahari, Indonesia tidak hanya memiliki satu “laut utama” atau heartsea. Setidaknya ada tiga laut utama yang membentuk Indonesia sebagai sea system, yaitu Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Banda (Lapian, 1991).

Baca juga:  Rasulullah Saw Bukan Pemarah, Tetapi Pemurah

Hall menyatakan ada lima zone komersial di Asia Tenggara pada abad XIV dan awal abad XV.

Pertama, zone Teluk Benggala yang mencakup India Selatan, Sailan, Birma, dan pantai utara Sumatera. Kedua, kawasan Malaka.

Ketiga, kawasan Laut Cina Selatan yang mencakup pantai timur Semenanjung Malaysia, Thailand dan Vietnam Selatan. Keempat, kawasan Sulu yang mencakup daerah pantai barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pantai utara Kalimantan.

Kelima, kawasan Laut Jawa. Kawasan Laut Jawa ini terbentuk karena perdagangan rempah-rempah, kayu gaharu, beras, dan lain-lain antara barat dan timur yang melibatkan Kalimantan (Selatan), Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara (Hall, 1985: 20-5).

Peranan kawasan Laut Jawa dan jaringan Laut Jawa masih bisa dilihat sampai hari ini. Jadi, bisa dikatakan bahwa Laut Jawa merupakan Mediterranean Sea bagi Indonesia, bahkan bagi Asia Tenggara. Sebagai “Laut Tengah”-nya Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, Laut Jawa menjadi jembatan yang menghubungkan pelbagai komunitas yang berada di sekitarnya, baik dalam kegiatan budaya, politik, ekonomi, maupun persebaran agama. Dengan demikian, Laut Jawa tentu memiliki fungsi kohesif yang mengintegrasikan pelbagai elemen kehidupan masyarakat yang melingkunginya.

Dalam konteks itu bisa dimengerti jika sejak awal abad masehi, manusia kepulauan ini, sudah terlibat secara aktif dalam pelayaran dan perdagangan internasional antara dunia Barat (Eropa) dengan dunia Timur (Cina) yang melewati Selat Malaka. Mereka, manusia kepulauan ini, bukanlah sekadar menjadi objek aktivitas perdagangan itu, tetapi telah mampu menjadi subjek aktif dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan tersebut. Bahkan, pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, Selat Malaka sebagai pintu gerbang pelayaran dan perdagangan dunia dapat dikuasai oleh, kelak bernama, bangsa Indonesia.

Pada zaman kerajaan Islam, jalur perdagangan antarpulau di Indonesia (antara Sumatera-Jawa, Jawa-Kalimantan, Jawa-Maluku, Jawa-Sulawesi, Sulawesi-Maluku, Sulawesi-Nusa Tenggara, dan sebagainya) menjadi bagian inheren dalam konteks perdagangan internasional. Bahkan negeri ini, sempat menjadi tujuan utama perdagangan internasional, bukan negeri Tiongkok. Keadaan ini lebih berkembang ketika orang Eropa mulai datang, menginjakkan kakinya ke ribuan pulau, untuk mencari rempah-rempah.

Baca juga:  Lika-liku 1500 Tahun Hagia Sophia: Kisah 4 Penguasa

Negeri ini mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi pedagang dari penjuru dunia. Sebagai konsekuensi logis, jalur perdagangan dunia menuju Indonesia berubah (rute tradisional melalui Selat Malaka, menjadi rute alternatif, karena ada rute baru, yaitu dengan mengelilingi benua Afrika, kemudian menyeberangi Samudera Hindia, langsung menuju Indonesia. Bangsa Spanyol juga berusaha mencapai Indonesia dengan menyeberangi Atlantik dan Pasifik (Maclntyre, 1972: 1-48).

Dari sekian banyak rute pelayaran dan perdagangan di perairan Nusantara, rute yang melintasi Laut Jawa-lah yang merupakan jalur hiruk-pikuk. Ini mudah dipahami karena Laut Jawa berada di tengah kepulauan Indonesia. Laut Jawa hanya memiliki ombak yang relatif kecil, dibandingkan dengan laut lain yang ada di Indonesia dan sekitarnya, sebut saja Laut Cina Selatan, Samudera Hindia, Samudera Pasifik, Laut Arafuru, Laut Banda, dan lain-lain.

Dalam konteks itu, Laut Jawa berfungsi sebagai jembatan penghubung pusat perdagangan di sepanjang pantai yang berkembang karena pelayaran dan perdagangan melalui Laut Jawa. Kota-kota perdagangan yang berkembang saat itu, antara lain: Banten, Batavia, Cirebon, Semarang, Demak, Rembang, Tuban, Pasuruan, Gresik, Surabaya, Probolinggo, Panarukan, Pamekasan, Buleleng, Lampung, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Sampit, Sambas, Makassar, Kupang, Larantuka, dan sebagainya.

Sir Watter Ralleigh (1554-1618) menandaskan bahwa barang siapa menguasai lautan maka akan dapat menguasai perdagangan. Barang siapa yang menguasai perdagangan pasti akan menguasai kekayaan dunia, sehingga pada akhirnya akan dapat menguasai dunia. Melalui kajian sejarah maritim, kita dapat memberi “Wawasan Nusantara” bagi penguatan jatidiri bangsa. Selain itu, kejayaan di lautan akan berdampak kepada kesejahteraan rakyat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top