Idul Adha di Sumatra Barat, dalam pengertian tertentu, adalah hari raya para penikmat kuliner. Semenjak hari pertama Idul Adha sampai paling tidak dua minggu setelahnya, setiap rumah adalah restoran. Semua orang memasak berbagai macam makanan Minang di rumahnya. Di mana pun berdiri, kita dengan mudah menghirup aroma rendang, dendeng lambok hingga dendeng paru, tunjang hingga cincang, sate hingga gulai kepala kambing dan seterusnya.
Semua orang, baik kaya berlimpah ataupun miskin melarat, sama-sama menikmati makan enak. Untuk menghindari kebosanan, antar sanak-saudara pun acapkali bertukar-ganti menu. Keluarga A bikin yang bergulai saja sementara keluarga B bikin yang balado, keluarga C bikin yang berendang dan begitu seterusnya. Nanti, antar keluarga itu akan saling bertukar, sehingga mereka bisa merasakan berbagai masakan tanpa perlu repot-repot membuatnya sekaligus.
Selain itu, di hari Idul Adha juga menjadi momen untuk belajar meramu berbagai masakan dalam beberapa hari, selayaknya kursus kuliner masakan Minang populer. Apalagi di momen libur hari raya ini, orang-orang memasak dalam jumlah besar, maka anak-anak perempuan ataupun laki-laki yang masih remaja atau belum menikah ikut membantu orang tua mereka. Ini menjadi momen untuk mempelajari mulai dari komposisi bumbu, cara meracik, proses mengolah daging, tata-cara mencampurkan santan dan rempah-rempah dan seterusnya.
Suatu suka-cita yang dirasakan banyak orang, setidaknya sekali dalam setahun, berkumpul dengan keluarga sekaligus ikut merasakan keseruan memasak bersama. Biasanya, dalam perilaku umum, setiap anggota keluarga—apalagi yang muda-muda, berebut satu sama lain untuk merasakan sendiri tahap-tahap memasak suatu jenis masakan: merebus tunjang, menyayat daging tipis-tipis atau menokoknya untuk dendeng batokok, mengaduk gulai kalio hingga jadi rendang dan seterusnya.
Namun begitu, bagaimana pun juga, suka-cita Idul Adha sebagai hari raya kuliner punya batasnya sendiri. Perlahan namun pasti, hari demi hari, aroma masakan yang awalnya berjalin-kelindan di udara itu tak kentara lagi.
Semua yang penuh-sesak bakal segera sepi-lengang. Sanak-keluarga kembali dengan aktivitas rutin masing-masing. Segala yang pekat mulai jadi pudar. Kuah gulai pun tak lagi sekental dulu. Dan setiap yang tersedia begitu saja mulai menyusut satu per satu. Makanan yang bercambung-cambung kini tinggal sepiring-duapiring.
Ada satu perumpamaan Minangkabau yang lahir dari momen tersebut: “rendang tinggal dedak”. Mari kita telisik terlebih dahulu asal-muasalnya.
Komposisi utama untuk membuat rendang adalah daging dan santan. Dari proses awal, ketika santan dicampur dengan segala rempah dan dimasukkan daging, hingga rata-rata tiga jam kemudian, barulah jadi kalio. Kadang ada pula yang menyebutnya sebagai rendang basah.
Meskipun gulai kalio ini sudah bisa dinikmati, tapi belum bisa disebut rendang. Dalam pengertian umum dan tradisional, rendang bersifat kering, seperti hangus, hitam pekat. Orang Minang menyebut santan yang sudah mengering dan berwarna hitam itu sebagai dedak rendang.
Biasanya, daging rendang akan habis-tandas lebih dahulu sementara dedaknya tersisa banyak. Tapi, dedak rendang tidak dibuang begitu saja. Selain karena tidak mudah basi dalam waktu cepat, juga karena dedak itu berasal dari santan bercampur rempah-rempah, sehingga masih enak dinikmati, meski tanpa daging sekalipun.
Makan nasi hanya dengan dedak rendang, bagi orang Minang kebanyakan, tetaplah sebuah kenikmatan tiada duanya. Semakin dedak itu dihangatkan kembali, maka semakin nikmatlah rasanya. Namun begitu, senikmat-nikmatnya dedak, tentu lebih nikmat dagingnya. Makan nasi hanya dengan dedak rendang tak akan senikmat makan nasi dengan rendang itu sendiri.
Dalam konteks seperti itulah perumpamaan “rendang tinggal dedak” cenderung muncul dalam makna miris. Ia digunakan untuk menandai momen menuju masa-masa penghabisan setelah melewati masa-masa perayaan, momen menuju masa ‘apa adanya’ setelah masa ‘segalanya ada’: tak hanya untuk merujuk momen menuju ‘makan sederhana seperti sediakala’ setelah melewati masa-masa ‘makan dengan banyak jenis makanan’, tetapi juga untuk mengartikulasikan berbagai fenomena sosial yang lebih luas.
Contohnya, kita bisa menggunakan untuk menunjukkan kondisi masyarakat Sumatra Barat sekarang. Mereka tak henti-henti membangga-banggakan masa lalu; menyebut nama-nama besar seperti Hatta, Sjahrir, Yamin, Tan Malaka dll sambil menepuk-nepuk dada. Sementara itu mirisnya di saat yang sama tingkat intoleransi semakin tinggi dan kualitas demokrasi semakin menurun, padahal tokoh-tokoh yang disebut namanya itu merupakan para kosmopolit dan pejuang demokrasi di Indonesia.
Kini, rendang (kemunculan para pendiri bangsa) memang hanya tinggal dedak (kebanggaan-kebanggaan). Dedak memang punya kenikmatan tersendiri, tapi dedak tetaplah dedak. Sekali lagi, makan nasi hanya dengan dedak rendang, bagi orang Minang kebanyakan, tetaplah sebuah kenikmatan tiada duanya. Bahkan tak jarang lebih nikmat dibanding makan dagingnya. Mabuk dedak. (SI)