Abdul Majid
Penulis Kolom

Guru ngaji di Madrasah Diniyah Majalengka, Penerjemah buku-buku keislaman.

Idul Adha: Antara Keimanan Dan Penglihatan

Akhir-akhir ini, saya teringat sebuah film bagus Jerman-Turki berjudul Auf der anderen Seite (2007). Film itu menampilkan secuil adegan yang menurut saya dramatis tentang hari raya kurban—lebih tepat tentang pemaknannya. Berawal dari mengamati orang-orang berduyun-duyun mendatangi masjid untuk salat Id, Najet yang Muslim memberitahu Susanne yang Kristen bahwa sekarang adalah hari Bayram (Idul Adha).

Dia ceritakan kisah yang terjadi antara Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Kemudian Najet mengenang bahwa dirinya takut mendengar cerita itu ketika masih kecil. Dia ingat pernah bertanya kepada ayahnya apakah akan melakukan hal serupa bila Tuhan memerintahkan. “Bahkan aku akan menjadikan Tuhan sebagai musuhku untuk melindungimu,” kenang Najet menirukan jawaban sang ayah.

Bersyukurlah kita, sebagai kaum muslimin, dikaruniai Allah Swt. Idul Adha. Dengan tibanya hari penuh berkah itu, umat Islam saling berbagi daging kurban. Alangkah bertambah rasa syukur itu, bila kita lengkapi dengan merenungkan makna yang terdapat di dalamnya. Salah satunya, lewat cuplikan adegan film di atas, saya ingin berbagi satu permenungan: Idul Adha adalah pertarungan seorang hamba antara keimanan hatinya dengan penglihatan matanya.

Lantas, mengapa perbedaan antara beriman dan melihat jadi begitu penting?

Betapa tidak, Nabi Ibrahim as. di satu sisi mengimani bahwa mimpi menyembelih anaknya adalah kebenaran wahyu dan di sisi lain, dia akan melihat anaknya terputus urat lehernya disembelih oleh tangannya sendiri. Tapi Nabi Ibrahim memenangkan keimanannya. Betapa pun tidak masuk di akal perintah itu, dia hiraukan. Siapapun yang menolak, bahkan setan sekalipun, akan dia lawan demi menjalankan titah Allah Swt.

Baca juga:  Jaga Jarak; Antara Sindrom dan Kompetensi Budaya

Iman (percaya) tidaklah sama dengan melihat. Yang percaya belum tentu melihat dan yang melihat belum tentu percaya. Sebagai tamsil, bila saya sodorkan selembar uang kepada Anda lalu saya tanyakan, “Apakah Anda percaya ini uang?” kemudian Anda menjawab, “Iya, saya percaya,” maka Anda baru saja keliru paham. Itu bukan percaya, tapi melihat. Namun bila uang itu saya masukkan ke saku, lalu saya lemparkan pertanyaan serupa dan Anda menjawab, “Aku percaya di dalam sakumu ada uang,” maka barulah tepat jawaban itu.

Anda melihat sakuku saja tapi percaya ada uang di dalamnya. Persis ibarat kita—alhamdulillah—mengimani Muhammad sebagai utusan Allah walaupun tidak melihatnya. Sebaliknya, dalam sirah diceritakan betapa banyak fakta yang meneguhkan kenabian Muhammad Saw. namun kendatipun demikian, hati orang seperti Abu Jahal dkk tetap ingkar tidak mengimani.

Sering kali apa yang tampak oleh mata berbeda dari apa yang diimani hati. Sekali penglihatan mata tertipu, tertutuplah pintu iman di dalam hati. Kehidupan dunia yang kita jalani sekarang sejatinya hanyalah permainan, senda gurau dan perhiasan belaka. Namun ternyata tidak sedikit manusia terlihat bahagia larut di pusarannya.

Dunia bukan tempat bersenang-senang tetapi banyak orang yang terbuai oleh gemerlap kesenangannya. Dunia diciptakan sebagai tempat lapang untuk berladang bekal hidup di akhirat, namun tidak sebanding dengan jumlah penggarapnya.

Banyak sekali perumpamaan di dalam al-Qur’an yang menggambarkan ketragisan mereka yang terlena kenikmatan duniawi. Antara lain Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yunus: 24)

Baca juga:  Sejarah Arafah, Mudzdalifah, dan Mina

Dalam surat yang lain, Allah Swt. juga berfirman, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Tak dipungkiri, hidup dengan memegang kuat perintah agama terlihat begitu berat—apalagi pada zaman sekarang. Sampai-sampai Rasulullah Saw. pun mengumpamakan kaum yang teguh pada agamanya bagaikan “orang yang menggenggam bara api”. Tampak sakit memang, tapi iman berkata lain.

Bagi kaum beriman, hidup menjadi jalan yang harus ditempuh untuk sampai kepada kehidupan kekal di akhirat. Tentu saja, kehidupan kekal yang bahagia. Seterjal bagaimanapun jalan itu, ia tetap harus dilalui. Harta benda harus berani diinfakkan, tenaga harus tega dikuras, dan jiwa harus siap dikurbankan bila memang itu yang diperintahkan.

Pun demikian, Allah melarang kita melupakan nasib kebahagiaan kita selama hidup di dunia. Allah berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77).

Baca juga:  Idul Adha dan Tiga Sifat Orang Indonesia

Lantas bagaimana meneladani pengorbanan Nabi Ibrahim?

Jawaban kuncinya ada pada keimanan seperti Nabi Ibrahim mengimani perintah Tuhannya. Jangan lupakan bahwa setelah lulus ujian pengorbanan ini, dalam akhir kisahnya di surat ash-Shaffat, beliau baru diberi gelar penghormatan sebagai mukmin sejati. Allah berfirman, “Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang mukmin.” (QS. Ash-Shaffat: 111).

Sepintas dengan gemar bersedekah, berinfak dan berkurban pada hari raya Idul Adha, tampak nyata berkurangnya harta. Tapi iman menunjukkan bahwa syukur menjanjikan ganti yang berlipat-lipat dan bahwa kelak semua yang kita kurbankan akan berbiak karena sudah tersiram keberkahan—sesuatu yang tidak mudah dipahami penglihatan mata kepala.

Semoga Idul Adha tahun ini menjadikan iman kita sejengkal lebih tebal. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top