Sedang Membaca
Sekaten Cinta untuk Kanjeng Nabi Muhammad
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Sekaten Cinta untuk Kanjeng Nabi Muhammad

Bulan Rabiul Awal menjadi bulan berkah dan momentum mengungkapkan ekspresi cinta manusia kepada Nabi Muhammad Saw. Wajar saja banyak tradisi dan budaya lokal yang bernuansa religious di bulan ini. Mulai dari muludan, selawatan, burdahan, barzanji di musala/masjid, sekaten, kirab, gregeg, dan dipuncaki pada 12 Rabiul Awal dengan Hari Raya Maulud atau bodo mulud.

Deretan tradisi seperti pembacaan barzanji, burdah, selama 12 hari bukan soal bacaan, lagu, dan nada, melainkan soal cinta. Ya, maulid nabi itu soal ekspresi cinta umat kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Salah satu ekspresi cinta itu adalah sekaten, tradisi di tiap bulan Rabiul Awal atau bulan Maulud yang masih lestari di Jawa, khusus di daerah Surakarta dan Yogyakarta.

Bahkan, sekaten tahun ini berjalan unik dan menjadi daya tarik wisata berbasis religius dan budaya. Sebab, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Yogyakarta mengemas sekaten dalam Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) sejak tanggal 2 hingga 19 November 2018 yang dipusatkan di Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta. PMPS ini merupakan bukti dukungan pemerintah terhadap pelestarian tradisi Islam Nusantara.

Jika Anda tidak mendukung, Anda ini orang mana? Sebab, saat ini banyak orang Jawa kehilangan Jawanya. Mereka inferior terhadap budaya warisan Walisongo dan para ulama terdahulu.

Padahal, warisan-warisan budaya itu termasuk sekaten sangat adiluhung dan memiliki makna suci karena menjadi wahana mendekatkan diri pada Allah dan wahana mencintai Kanjeng Nabi Muhammad.

Makna Tauhid Sekaten

Baca juga:  “Menggambar” Nabi dengan Teks

Sekaten, berasal dari Bahasa Arab, yaitu syahadatain (dua syahadat), yang intinya bersaksi Allah adalah Tuhan, dan Muhammad adalah rasulullah yang wajib diteladani. Makna tauhid ini tidak perlu dianasirkan ke dalam gerakan demo, apalagi hanya berhenti pada bendera saja.

Mengapa demikian? Orang Islam Jawa lebih pandai menyimpan “ketauhidan” pada Allah sejak dalam hati, pikiran, dan diwujudkan dengan budaya. Salah satunya adalah sekaten yang sudah ada sejak zaman Walisongo hingga kini.

KBBI versi V (2018) menyebut sekaten merupakan pasar malam terutama di Yogyakarta dan Surakarta yang diadakan tiap bulan Maulud untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw. Lebih dari itu, sekaten tidak hanya soal pasar malam, melainkan bermakna dalam karena berurusan dengan Allah, yang sangat transendental, tidak sekadar imanen.

Bersyahadat memang tidak cukup di dalam lisan. Namun harus diwujudkan ke dalam ibadah, laku sosial, dan laku budaya. Maka kata syahadatain yang kemudian disebut sekaten, harus diimplementasikan dengan praktik Sahutain atau menghentikan, menjauhi, dan menghindari dua perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng.

Sementara Sakhatain, yaitu dengan cara menghilangkan dua perkara, yaitu watak hewaniyah dan sifat setan. Apakah hanya itu? Tentu tidak.

Ketauhidan seorang Muslim ketika sudah bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad rasulnya, maka harus dapat mengimplementasikan Sakhotain dengan cara menanamkan dalam hati dan pikiran tentang dua perkara, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Allah.

Begitu enigmatisnya makna sekaten, akan lebih eksplisit lagi ketika manusia dapat mengimplementasikan Sekati yaitu dapat menimbang hal-hal baik, dan buruk dan memilih jalan yang makruf. Pada puncaknya, sekaten ini akan sempurna ketika manusia dapat mencapai “Sekat”, yaitu tahu batas antara positivitas dan negativitas yang bermuara pada ketauhidan, baik menyatu dengan Allah maupun Kanjeng Nabi Muhammad.

Baca juga:  Gerakan Islam di Tanah Banjar: Dari “Kaum Tua-Kaum Muda” hingga Otoritas Lain di Tanah Banjar

Sekaten Cinta

Sekaten, tidak hanya soal budaya dan ritus belaka, namun juga wujud cinta dan wahana mendekatkan diri pada Allah. Ibaratnya, ada “segitiga cinta” yang menyatu dalam ritual sekaten ini. Segitiga itu antara manusia, Allah, dan Muhammad yang selalu menyatu dalam pikiran, hati, dan perilaku manusia.

Jika orang sudah memegang segitiga cinta ini, maka otomatis ia menjadi manusia sempurna. Mengapa? Tidak ada orang yang berani berkhianat pada Allah dan Muhammad ketika sudah didasari cinta. Apa saja akan dilakukan ketika orang sudah cinta, khususnya cinta pada Allah dan Muhammad.

Siti Achlah (1998: i) menjelaskan, sekaten merupakan upacara tradisional di Yogyakarta pada bulan Maulud yang bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Upacara sekaten ini diciptakan Sunan Kalijaga bersama dengan para Walisongo yang lain. Sekaten merupakan upaya kreatif Walisongo dalam mentranformasi upacara Asmaweda, Asmaradana dan Sarada yang dilakukan oleh masyarakat sebelum Islam di pulau Jawa.

Dalam tinjauan Islam, sekaten merupakan perayaan memperingati kelahiran Nabi Muhamad Saw yang diwujudkan dalam sebuah tatacara penghormatan dan ungkapan cinta kasih pada Nabi Muhammad. Dalam tinjauan budaya, sekaten adalah perayaan yang dituangkan dalam prosesi yang disesuaikan dengan tradisi budaya yang mengakar kuat di masyarakat Yogyakarta.

Sebagai media dakwah, Walisongo sangat kreatif dan lihai mengenas budaya masyarakat yang ditujukan untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan Kanjeng Nabi Muhammad.

Sejak dulu, Walisongo mewanti-wanti agar semua budaya itu tidak menyimpang, bahkan yang sudah menyimpang diluruskan dengan cara-cara santun dan bernas.

Baca juga:  Pergeseran Makna Tradisi Perang Obor di Jepara

Dalam sejarahnya, penelitian Izzatun (2007: xiv) menyebut, di Kasultanan Yogyakarta pada akhir era Kolonial Belanda tahun 1938, sekaten pada awalnya dijadikan sarana perayaan persembahan atau grebeg. Ketika awal pendudukan Jepang tahun 1942, muncul keramaian ataupun pasar malam. Pengadaan pasar malam sekaten itu mulai semarak usai kemerdekaan Indonesia tahun 1950 yang masih lestari hingga kini.

Meski sebagian orang memaknai sekaten adalah “pasar malam”, namun secara epistemologis, dan tasawuf memiliki akar yang dalam karena wujud cinta pada Nabi. Untuk itu, pemaknaan sekaten harusnya diperkuat lewat pemahaman dasar bahwa sekaten itu wujud cinta. Apa saja yang dilakukan umat Islam asalkan berdasarkan cinta pada Kanjeng Nabi, pasti akan berdampak baik.

Dus, melestarikan sekaten hukumnya wajib dan tidak perlu dikutuk-kutuk sebagai tradisi bidah dan syirik. Sebab, dasar sekaten adalah cinta pada Kanjeng Nabi, jika orang mengaku cinta maka pastinya mendukung dan melestarikan sekaten. Jika tidak mendukung, bahkan tidak paham sekaten dan mengatakannya bidah, apa itu wujud cinta?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top