Pada suatu pagi seorang kawan menyodori sebuah gambar. Gambar buatan yang sebagiamana sering kita temukan menjamur di mana-mana. Kita menyebutnya dengan “meme“. Kata yang beberapa tahun belakangan menjadi sedemikian hilir mudik dari satu mulut ke mulut yang lain. Dari satu individu ke individu yang lain.
Saking dan kelewat populernya kata tersebut, KBBI V memungut dan mengartikannya sebagai; ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya.
Dulu sebelum dipungut oleh KBBI, sebagian atau malah kebanyakan kita merasa ‘wagu’ mengucapkannya meme dengan ejaan mémé, bukan sebagaimana ejaan dalam bahasa Inggris yang berbunyi mim. Bukan apa-apa, sebab meme dengan ejaan mémé itu selama ini lebih populer sebagai lema yang dipakai untuk merujuk pada alat vital perempuan.
Makna ini—meme yang merujuk alat vital peremupuan—memang belum dimasukkan dalam KBBI V. Padahal jikalau pertimbangannya popularitas, tentu saja makna kedua—mémé yang merujuk alat vital perempuan– ini lebih populer dan lebih ‘purba’ dibandingkan makna meme yang belakangan muncul dalam bentuk–rata-rata–gambar itu. Entah mengapa, karena jorok atau bagaimana saya tidak mengerti. Namun, soal urusan jorok ini kita patut mencermati lema berak.
Dalam KBBI IV, lema berak tidak ditemukan. Padahal lema itu adalah lema yang tergolong semua orang tahu. Ia berasal dari fonem “ak”. Orang yang buat hajat biasanya mengeluarkan bunyi ‘ak’, makanya aktivitasnya dinamakan berak. Ada imbuhan ber di sana. Lema ini saat ini sudah tercatat di KBBI V dengan arti: buang kotoran, buang air besar. Artinya kejorokan bukanlah alasan dan parameter yang tepat digunakan untuk menilai mengapa sebuah lema berhasil masuk dan tercatat dalam kamus.
Demikianlah, popularitas sebuah kata atau lema, tidak lantas begitu saja menjadikannya bisa mulus masuk dan terakomodir dalam kamus. Nampaknya ada serangkaian kategori dan juga tahap serta kriteria yang dipakai guna mengakomodir sebuah lema untuk masuk ke dalam kamus.
Kembali pada soal meme kiriman seorang kawan di atas. Meme itu berisi adegan seseorang sedang membeli bendera dan disertai tulisan dengan ukuran yang besar dan tidak simetris “katanya NKRI harga mati, giliran beli bendera masih nawar…”
Pernyataan ini memang sarkas dan tajam menghujam jantung kesadaran. Barangkali. Kawan saya ini rupanya ingin menyindir surplusnya kalimat NKRI harga mati yang belakangan sering kita dengarkan.
Sepasca mengamati meme itu dengan seksama, saya lekas-lekas katakan kepadanya bahwa pola kalimat yang seperti itu bisa kita perpanjang daftarnya. Malah jika dituruti akan menjadi kelewat panjang. Misalnya “katanya pembela Alquran, giliran beli mushaf masih ditawar” atau begini “katanya cinta mampus, giliran disodori mahar oleh calon pasangan masih dinego” dan seterusnya dan sebagainya.
Yang ingin saya katakan kepada kawan saya itu adalah kita hendaknya jangan terlalu mudah mengumbar keyakinan dalam bentuk ucapan dan perkataan. Yang demikian itu, kita tahu, akan sangat mudah dipatahkan oleh siapapun: kawan maupun lawan. Kondisi memerkan ideologi itu muradif dengan memamerkan perkakas batin kita, yang seharusnya kita gamit dalam-dalam, bukan malah diumbar dan diuar-uarkan. Fenomena yang disebut belakangan ini memang sedang marak terjadi di mana-mana.
Ideologi dan keyakinan itu tempatnya jauh di kedalaman hati, bukan di canggihnya retorika dan moleknya bahasa.
Demikianlah, jika keyakina itu sudah terslogankan, maka kita harus bersiap untuk menerima pola kalimat nyinyir berbentuk “katanya…….., giliran…….masih……”
Jikalau ideologi sudah terslogankan, lalu apa bedanya dengan iklan? Isinya bohong dan pembodohan semua kan? Atau bahkan barangkali mirip dengan propaganda.
Jika ideologi sudah semukabalah dan tidak ada bedanya dengan iklan dan propaganda maka orang akan sulit memercayai kewingitan dan juga taji ideologi itu sendiri. Atau bahkan ia akan dicampakkan dan direcehkan sebagaimana nasib iklan-iklan.
Katanya B*dr*x bisa diminum kapan saja, toh nyatanya ndak demikian. B*dr*x tetap membatalkan puasa jika diminum di siang bolong bulan Ramadan. Kalau mendapatkan pernyataan semecam ini, maka bisa dipastikan mampuslah kita bukan karena—meminjam Cahiril Anwar—dikoyak-koyak sepi, namun karena terberak-berak dengan ideologi-ideologi yang kita slogankan sendiri.