Dodik Harnadi
Penulis Kolom

Dosen Sosial Humaniora di Universitas Nurul Jadid Probolinggo. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Sumber Bunga, Seletreng, Situbondo, Jawa Timur. Sarjana Hukum Islam Unuja Probolinggo, Magister Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya

Nalar Kritis Ibnu Kaldun untuk Masa Kini

Ibnu Khaldun adalah seorang dari banyak sosiolog-sejarawan muslim abad 14 yang reputasinya harum ke antero dunia. George Ritzer (2011) meletakkan Khaldun dan pandangannya sebagai bukti otentik  bahwa sosiologi bukanlah produk eksklusif dunia barat. Hingga kini, nalar kritis Khaldun tetap tepat untuk dipakai dan diikuti. 

Gagasan-gagasan Ibnu Khaldun dianggap mendahului dan –sekaligus- berkesesuaian dengan teori-teori sosiologi kotemporer. Atas dasar ini, Ritzer memberikan kredit terhadap Ibnu Khaldun sebagai being of greater historical significance.

Allen James Fromherz menulis buku khusus tentang sarjana kelahiran Afrika Utara tersebut berjudul Ibnu Khaldun: Life and Times. Di dalam buku terbitan University Press 2011 (termasuk buku baru) ini, Fromherz kurang lebih menempatkan Ibnu Khaldun sebagai pemikir jenius di eranya, son of his age.

Mengkritik pembacaan konvensional yang selalu memberi arti Ibnu Khaldun dalam kaitannya dengan pemikiran barat modern, Fromherz mengetengahkannya sebagai ‘produk’ dialektika lingkungan kesejarahan yang distingtif.   

Sebagai sarjana, Ibnu Khaldun dapat diletakkan sebagai pemikir kritis di zamannya. Gagasannya acapkali menjadi antitesis dari tesis-tesis yang dianggap mapan sebelumnya. Perlawanannya terhadap kemapanan turut andil membawanya ke penjara Maroko selama dua tahun atas kritiknya terhadap status suci para pemimpin negara (the divine leaders).

Sikap kritis Ibnu Khaldun terekam jelas di dalam master piece muqaddimah. Ibnu Khaldun, misalnya, dengan tegas mengkritik sejarawan muslim Al Mas’udi yang pandangan kesejarahannya banyak menjadi rujukan para pemerhati sejarah.

Salah satu catatan Al Mas’udi yang menjadi sasaran kritik Ibnu Khaldun berkaitan dengan kisah Iskandar Zulkarnain ketika menyertakan ilustrasi sosok jin secara antropomorfistik. Padahal, demikian menurut Ibnu Khaldun, jin tidak memiliki bentuk atau rupa tertentu seperti digambarkan Al Mas’udi. Kesangsian ini jelas menciderai validitas cerita sejarawan asal Bagdad tersebut.  

Baca juga:  Ilmuwan Muslim Cum Musisi (5): Ikhwan al-Shafa Mengatakan, Musik Itu Barang Curian dari Surga

Gagasan kritis Ibnu khaldun bukan kebetulan semata (chaotic). Sedari awal, seperti tertuang dalam muqaddimah, Ibnu Khaldun membangun sikap kritisnya secara sistematis dan terukur. 

Ini bisa kita pahami dengan membaca konstruksi metodologis yang dia tawarkan untuk melakukan pembacaan terhadap pelbagai fenomena sejarah secara objektif. 

Kekuatan gagasan Ibnu Khaldun sendiri memang terletak dalam pendasaran teori sosiologinya terhadap observasi sejarah. Karena itu, perhatian Ibnu Khaldun terhadap sejarah sangat besar. 

Tawaran metode kritis Ibnu Khaldun diawali dengan melakukan identifikasi pelbagai penyebab yang melatari munculnya sejarah dan kabar bohong (fake news). Dengan mentabulasi daftar identifikasi dimaksud, Ibnu Khaldun selanjutnya menawarkan perspektif analisis yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Berpijak dari beberapa faktor yang dia identifikasi, lima prinsip berikut dapat kita simpulkan sebagai metode kritis Ibnu Khaldun membaca sejarah:

Pertama, melepaskan keberpihakan terhadap satu pandangan (tamadzhub) yang berpotensi mengontaminasi kejujuran dalam melakukan pembacaan sejarah. Ada banyak sekali sikap penerimaan terhadap satu pandangan – termasuk konsepsi tertentu-yang secara tidak jujur diterima atas dasar semata kesesuaiannya dengan mazhab (school of thought) yang sudah diyakini sebelumnya. 

Persis seperti fenomena saat ini, di mana kebenaran diterima bukan karena kebenaran itu sendiri, melainkan sejauh mana sejalan atau tidak dengan posisi politik personal dan afiliasi golongan. Pasca kebenaran (post truth) adalah kristalisasi dari sikap semacam ini pada tahap lebih lanjut.  

Baca juga:  Akhi, Ukhti, Mari Kita Kuliah: Apa Itu Peradaban?

Prinsip pertama ini mirip – untuk tidak mengatakan sama- dengan metode epoche para fenomenolog. Epoche adalah memurnikan pikiran dari segala prakonsepsi subjektif untuk menghindari bias interpretasi – meski subjektivitas dan kesejarahan penafsir tidak akan benar-benar sirna. 

Epoche memungkinkan setiap orang untuk melihat secara jernih dan leluasa fenomena yang menampakkan diri kepada kesadaran tanpa terkungkung oleh segala jenis prakonsepsi. Karena itu, mengikuti pikiran Edmun Husserl, epoche adalah a free act of mind (Moran, 2005). 

Kedua, ada banyak data sejarah yang diterima begitu saja atas dasar keyakinan yang berlebihan terhadap kejujuran para penyalur sejarah, sementara pembacaan kritis terhadap reputasi dan rekam jejak mereka diabaikan. Hal yang sama juga sering kali terjadi saat figur tertentu kadung menjadi idola, sehingga apapun yang muncul dari bibirnya diterima secara aksiomatis.

Karena itulah, sikap kritis dengan mempertanyakan setiap sumber adalah keharusan untuk mereduksi kebohongan kabar sejarah. Jujur tidaknya sumber tertentu, harus lahir dari proses penelusuran secara kritis terhadap rekam jejak integritas (aljarhu wat ta’dil) masing masing. 

Ketiga, menelusuri konteks serta tujuan dari sebuah peristiwa sejarah adalah metode selanjutnya. Menurut Ibnu Khaldun, ada banyak pihak yang sekadar mengetahui peristiwa sejarah lantas mentransmisikan, namun jahil terhadap konteks tujuan di belakangnya. 

Akibatnya, muncul cerita sejarah yang disusupi beragam narasi menyimpang dari konteks sebenarnya. Ini sama seperti kebiasaan gerombolan HTI yang seringkali mengutip sejarah nabi untuk menyokong pandangan khilafah tanpa memahami konteks kesejarahannya. 

Baca juga:  Abu Hurairah Pernah Berburuk Sangka pada Rasulullah Saw

Konteks ini penting. Terutama karena begitu banyak peristiwa sejarah yang seolah dapat dihidupkan kembali di lain masa, padahal sejarah adalah peristiwa unik dengan latar sosial budaya yang tidak persis sama. 

Ibnu Khaldun menentang paradigma sebagian sejarawan yang mengabaikan keunikan konteks tiap peristiwa sejarah. Justru karena keunikan inilah setiap peristiwa sejarah menjadi bermakna. 

Keempat, Ibnu Khaldun memberikan tempat terhadap posisi common sense untuk membaca validitas peristiwa sejarah. Menurunya, salah satu bentuk kabar atau sejarah bohong adalah yang sarat peristiwa mustahil di dalamnya. Disebut mustahil, karena kacamata umum (common sense) tidak bisa menerima kebenarannya.

Untuk menilai validitas suatu peristiwa, nalar publik dapat menjadi lensa. Peristiwa yang nalar publik sulit menerima, patut diduga mengandung potensi kebohongan. Tentu dengan tidak memungkiri adanya peristiwa tertentu yang menyimpang dari kebiasaan (khariqul li al-‘adat) sebagaimana mukjizat bagi para nabi, maupun karamah bagi para wali.   

Formulasi metode kritis Ibnu Khaldun menempatkan posisi pentingnya dalam konstelasi dunia pemikiran Islam. Meski polemik kritis cukup jamak dijumpai dalam sejarah Islam, namun meletakkan seperangkat formula secara sistematik sebagai panduan (guidance) pembacaan kritis, seperti dilakukan Ibnu Khaldun, adalah sebuah kebaruan (novelty)

Hemat saya, warisan inilah yang membuat nama Ibnu Khaldun akan selalu cemerlang. Terutama di era “tanda pagar (tagar)” kini di mana perbedaan kabar benar dan bohong tidak lagi terang benderang. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top