Ahad pagi, 26 Agustus 2018, saya menerima kabar bahwa Hamsad Rangkuti meninggal dunia. Hamsad lahir di Medan pada 1943. Sastrawan ini memublikasikan tulisan sejak 1950-an. Kemudian Hamsad merantau ke Jakarta. Hamsad mengakui bahwa dirinya pelamun yang parah.
Sudah sekian tahun Hamsad tak muncul di publik karena sakit yang ia derita. Saya mengenal pengarang ini pada 2000an di Jakarta. Sebelum Hamsad sakit, sudah lama saya tak bertemu dia. Dulu, pada tahun 2000-2008, saya sering berbincang dengan Hamsad di warung tenda di kompleks TIM yang kami sebut “Warung Alex”, di warung ini rutin hadir presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri.
Saya kerap kebetulan bertemu Hamsad di KRL dan kebetulan pula kami satu tujuan: TIM di Cikini. Kami turun di Stasiun Cikini atau Stasiun Gondangdia, kemudian kami naik bajaj agar lebih cepat dan lebih sering kami berjalan kaki ke arah TIM kira-kira 30 menit.
Hamsad suka mengamati yang ada di sekitarnya. Termasuk penumpang KRL yang berjubel. Ide cerita pendeknya berasal dari realitas sehari-hari yang ia amati dan mengesankannya, lalu dibumbui imajinasi. (Baca tulisan menarik: Lukisan Misterius Gus Dur oleh Danarto)
Sembari bercakap dengan saya di KRL, sesekali Hamsad membuka rahasia dapur ide cerita pendeknya yang belum ditulisnya. Hamsad, sebelum menuliskan cerita pendeknya, sesekali menuturkannya kepada saya. Dia pencerita yang telaten. Sebelum ditulis, sepertinya cerita pendek Hamsad sudah jadi di dalam kepalanya.
Selain di KRL, kerap kali saya berjumpa Hamsad Rangkuti di acara-acara sastra di kompleks TIM atau di tempat-tempat lain di Jakarta. Saya lebih sering bertemu Hamsad di acara diskusi Meja Budaya di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Selain Martin Aleida, AD Donggo dan Sides Sudiyarto DS, sastrawan senior yang sering tampak di acara diskusi Meja Budaya adalah Hamsad. (Baca tulisan Binhad: Cakar Ayam Danarto)
Orang Medan ini jauh dari sikap arogan. Penampilannya sederhana. Tutur katanya santun, agak cedal dan saat berbicara tampak seperti tersenyum. Ayahnya penjaga malam dan guru ngaji, ibunya penjual buah di pasar.
Lantaran tak mampu membeli bacaan, Hamsad yang belia membaca koran tempel di kantor wedana. Koran tempellah yang memerantarai Hamsad mengenal karya sastra Indonesia dan dunia.
Di setiap acara sastra saya melihat Hamsad selalu bersepatu dan mencangklong tas kain. Hamsad sesekali tampil bertopi. Dia selalu berpantalon berbahan kain, bukan jins, serta sering berkemeja panjang yang digulung lengannya hingga ke siku. Kadang dia datang ke acara ditemani istrinya dan lebih sering sendirian. Hamsad dan keluarganya mukim di Depok.
Saya mengenal Hamsad ketika dia sudah tak terlalu sehat, saat dia tak bisa bebas menyantap semua jenis makanan. Saya tak pernah melihat Hamsad merokok. Hamsad lama bekerja di Majalah Sastra Horison, sejak majalah ini berkantor di Balai Budaya hingga pindah ke daerah Utan Kayu, sejak Horison dipimpin HB Jassin hingga dipimpin Taufiq Ismail.
Saya suka beberapa cerpen Hamsad. Mendengar kematiannya, segera saya terkenang tiga cerpen legendaris Hamsad: “Sukri Membawa Belati“, “Sampah Bulan Desember” dan “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?”. Ada kenangan lain yang membuat saya teringat kepada Hamsad: Semua judul cerpen itu diucapkan oleh Hamsad selalu dengan pelafalan “r” yang agak cedal.
Hamsad lelaki yang jujur. Apa adanya. Caranya bercerita realis. Suspens dan kejutan kerap hadir dalam tulisan dan ucapannya. Saat berpidato setelah menerima penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award, Hamsad menyatakan, “Karya sastra mengandung kebohongan yang indah…”. Namun saya tahu Hamsad bukan pembohong.